Sabtu, Januari 17, 2009

KESALAHAN-KESALAHAN DALAM THOHARAH

1. Melafadzkan niat di awal berwudhu.
Hal ini tidak diperbolehkan, karena niat tempatnya adalah di hati sedangkan melafadzkan niat tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan suri tauladan kita -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Niat yang syar’iy adalah munculnya di dalah mati orang yang berwudhu bahwa ini wudhu untuk sholat, atau untuk menyentuh mushaf, atau untuk mengangkat hadats, atau yang semisalnya, inilah niat. Dan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menganjurkan untuk memulai ibadah wudhu dengan bacaan basamalah bukan dengan ucapan lainnya, maka memulai wudhu dengan mengeraskan bacaan niat merupakan penyelisihan terhadap tuntunan dan perintah beliau.

2. Tidak punya perhatian terhadap cara wudhu dan mandi (junub) yang syar’i, bergampangan dalam bersuci, dan tidak punya perhatian untuk mempelajari hukum-hukum seputar thoharoh (bersuci).
Ini termasuk perkara yang seharusnya dijauhi oleh seorang muslim, karena sesungguhnya, thoharoh, berwudhu, dan mandi (junub) merupakan syarat syahnya sholat bagi orang yang berhadats, dan barangsiapa yang bergampangan terhadapnya maka sholatnya tidak syah karena dia melalaikan kewajiban dan syarat (dari bersuci).
Dan sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda kepada sahabat Laqith bin Saburoh:
“Sempurnakanlah wudhu”. Riwayat Ashhabus Sunan dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah.
Dan dalam Ash-Shohihain (Kedua kitab Ash-Shohih) :
“Celakalah bagi tumit-tumit dari api Neraka”.
Hal ini karena tumit adalah tempat yang kadang terlupakan (untuk dicuci), maka hadits ini menunjukkan bahwa selain tumit sama hukumnya dengan tumit. Karenanya, wajib untuk menyempurnakan wudhu terhadap seluruh anggota-anggota wudhu dengan cara mencuci semuanya dengan air, kecuali kepala karena kepala sudah teranggap syah jika mengusap sebagian besar darinya, yaitu mengusap sebagian besar dari kepala bersama kedua telinga, karena kedua telinga termasuk bagian dari kepala sebagaimana yang tsabit dari beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
“Kedua telinga adalah bagian dari kepala”.
Maka hendaknya seorang muslim mempelajari hukum-hukum berwudhu dan hendaknya dia berwudhu dengan sempurna dengan mencucinya sebanyak tiga kali dalam rangka mencontoh Nabinya Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan agar dia mendapatkan keutamaan sholat. Imam An-Nasa`i dan Ibnu Majah telah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shohih dari ‘Utsman -radhiallahu ‘anhu- dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa yang menyempurnakan wudhu sebagaiman yang Allah perintahkan, maka sholat-sholat wajib (yang lima) adalah penghapus dosa (yang terjadi) di antaranya”.
Dan hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan menyempurnakan wudhu dan bahwa dia menghapuskan dosa-dosa sangatlah banyak.

3. Perasaan was-was dan ragu-ragu dalam berwudhu dengan cara menambah jumlah cucian melebihi tiga kali.
Ini adalah was-was dari setan, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak pernah menambah cucian dalam wudhu lebih dari tiga kali, sebagaimana yang tsabit dalam Shohih Al-Bukhary bahwa [Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam- berwudhu tiga kali-tiga kali]. Maka yang wajib atas seorang muslim adalah membuang semua was-was dan keragu-raguan (yang muncul) setelah selesainya wudhu dan jangan dia menambah lebih dari tiga kali cucian untuk menolakj was-was yang merupakan salah satu dari tipuan setan.

4. Boros dalam penggunaan air.
Ini adalah terlarang berdasarkan keumuman firman Allah -Ta’ala-:
“Dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al-An’am: 141 dan Al-A’raf: 31)
Dan semakna dengan keumuman ini adalah hadits Sa’ad tatkala Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melewati beliau ketika beliau (Sa’ad) sedang berwudhu, maka beliau bersabda kepadanya:
“Janganlah kalian boros dalam (penggunaan) air”, maka beliau (Sa’ad) berkata, “Apakah dalam (masalah) air ada pemborosan?”, beliau bersabda, “Iya, walaupun kamu berada di sungai yang banyak airnya”. Riwayat Ahmad.

5. Menyebut nama Allah di dalam WC atau masuk ke dalamnya dengan membawa sesuatu yang di dalamnya terdapat dzikir kepada Allah.
Ini adalah hal yang makruh maka sepantasnya bagi seorang muslim untuk menjauhinya. Dari Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- beliau berkata:
“Ada seorang lelaki yang berlalu sementara Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sedang kencing. Maka orang itu pun mengucapkan salam tapi Nabi tidak membalas salamnya”. Riwayat Muslim.
Hal ini karena menjawab salam adalah termasuk dzikir.

6. Mengusap kepala lebih dari satu kali.
Ini bertentangan dengan petunjuk Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- karena beliau selalu mengusap kepalanya hanya satu kali, sebagaimana yang tsabit dalam hadits ‘Ali -radhiallahu ‘anhu- tentang sifat wudhu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau berkata:
“Beliau mengusap kepalanya satu kali”. Riwayat At-Tirmidzy dan An-Nasa`i dengan sanad yang shohih. Imam Abu Daud berkata, “Hadits-hadits yang shohih dari ‘Utsman seluruhnya menunjukkan bahwa pengusapan kepala hanya satu kali”.

7. Mengusap tengkuk (leher bagian belakang).
Ini termasuk dari sejumlah kesalahan bahkan sebagian ulama menganggapnya sebagai bid’ah karena tidak adanya satupun hadits yang tsabit dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, yang ada hanya diriwayatkan dalam hadits-hadits yang palsu dan mungkar. Sebagian ulama ada yang menyebutkan (disyari’atkannya) mengusap tengkuk akan tetapi dia tidak mengetahui bahwa haditsnya tidak shohih, karenanya tidak disyari’atkan untuk mengusapnya, dan wajib untuk mengingatkan hal ini sebagai bentuk penjagaan terhadap syari’at dari penambahan.

8. Mengusap bagian bawah dari khuf (sepatu) dan jaurab (kaus kaki) ketika mengusap di atas khuf.
Ini merupakan kesalahan dan kejahilan karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengusap bagian atas khuf, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzy dari Al-Mughirah bin Syu’bah beliau berkata:
“Saya melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengusap bagian atas kedua khufnya”.
Dan Imam Abu Daud juga meriwayatkan dari ‘Ali -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata:
“Seandainya agama itu dengan akal, niscaya bagian bawah khuf yang lebih pantas daripada bagian atasnya. Sungguh saya telah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengusap bagian atas kedua khuf beliau”.

9. Beristinja` (mencuci dubur) dari buang angin (kentut).
Tidak ada istinja` ketika kentut, istinja` hanya pada kencing dan buang air besar, maka tidak disyari’atkan bagi orang yang kentut untuk beristinja` sebelum berwudhu sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang, karena dalil-dalil syari’at tidak ada yang menjelaskan akan istinja` dari kentut, yang ada hanyalah penjelasan bahwa kentut adalah hadats yang mengharuskan wudhu, dan segala puji hanya milik Allah atas kemudahan dari-Nya. Imam Ahmad -rahimahullah- berkata, “Tidak terdapat dalam Al-Kitab, tidak pula dalam sunnah Rasul-Nya adanya istinja` dalam kentut, yang ada hanyalah wudhu”.

[Al-Minzhar fi Bayan Al-Akhtha` Asy-Syai'ah karya Asy-Syaikh Saleh bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh]

Jumat, Januari 16, 2009

Suskses Menangani Siswa

Kadang Anda sebagai guru direpotkan dengan seorang siswa yang berperilaku susah diatur. Mungkin berbagai macam cara sopan untuk menegur siswa tersebut sudah pernah dilakukan, tapi tidak pernah berhasil. Ada baiknya Anda memulai jalan lain untuk menyadarkannya, tanpa harus mengurangi rasa sayang kepadanya.

Jalan tersebut adalah dengan menerapkan kedisiplinan dan juga ketegasan. Namun, jangan sampai berbagai masalah yang ada melupakan profesi Anda sebagai pengajar. Misi dan penghargaan terbesar bagi seorang guru adalah mampu menumbuhkan kecintaan belajar pada setiap siswanya.

Mengajari bagaimana caranya menangkap ikan tentu lebih bermanfaat ketimbang hanya memberi ikannya saja. Begitu juga dalam pembelajaran. Sebaiknya siswa tidak hanya diberi materi pelajaran saja, namun yang terpenting adalah membangun rasa keinginan untuk selalu belajar. Siswa berhak mengetahui apa makna dan tujuan dari belajar selain untuk mendapatkan nilai yang bagus. Begitu siswa sudah menangkap makna tersebut, penyampaian materi tentu terasa akan lebih mudah dan menyenangkan.

Berikut kiat-kiat yang dapat Anda gunakan dalam memberikan materi pembelajaran kapada para siswa, termasuk yang bermasalah sekalipun :

- Bersikaplah terbuka.

Tekadkan dalam hati bahwa yang akan Anda pergunakan adalah solusi saling menguntungkan (win-win solution) bukan pertempuran untuk saling mengalahkan. Perilaku murid mungkin dapat memberi Anda jalan untuk menyelesaikan masalah itu sendiri. Yakinlah kalau setiap masalah selalu ada solusinya, kecuali Anda memilih untuk menyerah.

- Berpikir objektif. Hindari mempermasalahkan perbedaan sikap antara Anda dengan siswa. Ingatlah lagi kalau ini bukan medan pertempuran pribadi. Siswa harus mengetahui nilai permasalahan dan solusi tepat untuk mengatasinya.

- Mau mendengar.

Apa yang dikatakan, diminta atau dibutuhkan murid? Kadang murid cenderung bersikap tertutup dengan gurunya. Ada baiknya Anda menanyai langsung mereka atau memberikan semacam kuesioner / angket.

- Membangun sikap positif.

Temukan sisi baik dari setiap murid atau setidaknya segi positif yang Anda sukai. Bahkan sebenarnya dari siswa yang bermasalah sekalipun bisa diketahui adanya keberanian untuk mengambil resiko atau menjadi berbeda dengan yang lain. Terjemahkan perilaku negatif tersebut menjadi sesuatu yang bernilai positif dengan mengarahkan atau membimbing mereka untuk sesuatu yang benar.

Apa sebenarnya yang didapat siswa apabila selalu menimbulkan masalah? Ketahui konsekuensinya. Apakah mereka membutuhkan perhatian? Kalau begitu, mungkin mereka justru mengharapkan kemarahan Anda supaya mendapat perhatian lebih. Bagaimana kalau Anda mengubah perhatian tersebut menjadi sesuatu yang sehat. Caranya dengan mengarahkan atau menyalurkan potensi mereka pada berbagai kesempatan, proyek atau acara yang diminati. Mungkin saja permasalahan bersumber pada keinginan mereka untuk menjadi populer dan sukses di bidang olah raga, musik atau hobi.

Dukung sepenuhnya siswa dengan memberikan arahan supaya mereka dapat mengekspresikan kemampuan mereka secara positif. Dengan demikian Anda tidak saja dapat memberikan perhatian yang mereka butuhkan, namun yang terpenting memberi kesempatan bagi siswa untuk maju.

- Kaji ulang pengharapan Anda.

Ada baiknya Anda mengecek ulang pengharapan dan keyakinan terhadap setiap siswa. Apakah yang Anda harapkan sebenarnya dari mereka? Bertukar pikiran dengan mengajak siswa, terutama yang bermasalah, untuk berdiskusi adalah jalan yang bijaksana. Ketahui dulu kebutuhan atau keinginan siswa yang mungkin selama ini dipendam. Musyawarah mencari jalan keluar tidak akan pernah merugikan siapa pun, bahkan bisa merubah cara pandang siswa selama ini.

- Hargai siswa.

Setiap manusia ingin selalu dihargai, begitupun siswa. Ajaklah mereka bekerja sama demi kebaikan. Ini lebih baik ketimbang selalu melakukan perlawanan atau pertahanan terhadap kebutuhan siswa. Jadikan diri Anda sebagai guru pembimbing yang selalu terbuka dengan para siswanya.

Jangan segan-segan untuk memberi pujian dan perhatian apabila memang siswa telah melakukan sesuatu yang positif. Kenali semua perbuatan yang telah dilakukan siswa dan juga Anda. Pujian atau penghargaan bisa diungkapkan melalui kata, perbuatan atau cukup dengan perhatian yang mendalam.

Peliharalah terus perhatian Anda terhadap siswa. Kekuatan Anda sebagai pengajar akan hilang apabila timbul perasaan frustasi, kemarahan, benci atau dikorbankan. Dengan memperlihatkan dan mengekspresikan sikap positif kepada para siswa, secara langsung Anda telah membuat contoh teladan bagi mereka untuk bersikap sama terhadap Anda, dan juga para guru lainnya.

Anak dan Masa Depan Umat Islam

Anak adalah harapan di masa yang akan datang. Kalimat ini seringkali kita dengar dan amat lengket di benak kita. Tak ada yang memungkiri ucapan itu, karena memang ia sebuah kenyataan bukan hanya sekedar ungkapan perumpamaan, benar-benar terjadi bukan sebatas khayalan belaka. Karenanya sudah semestinya memberikan perhatian khusus dalam hal mendidiknya sehingga kelak mereka menjadi para pengaman dan pelopor masa depan umat Islam.

Lingkungan pertama yang berperan penting menjaga keberadaan anak adalah keluarganya sebagai lembaga pendidikan yang paling dominan secara mutlak lalu kemudian kedua orangtuanya dengan sifat-sifat yang lebih khusus. Sesungguhnya anak itu adalah amanat bagi kedua orangtuanya. Di saat hatinya masih bersih, putih, sebening kaca jika dibiasakan dengan kebaikan dan diajari hal itu maka ia pun akan tumbuh menjadi seorang yang baik, bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya jika dibiasakan dengan kejelekan dan hal-hal yang buruk serta ditelantarkan bagaikan binatang, maka akan tumbuh menjadi seorang yang berkepribadian rusak dan hancur. Kerugian mana yang lebih besar yang akan dipikul kedua orangtua dan umat umumnya apabila meremehkan pendidikan anak-anaknya.

Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah, “Bila terlihat kerusakan pada diri anak-anak, mayoritas penyebabnya adalah bersumber dari orangtuanya.” Maka Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan kita dengan firmanNya, “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At Tahrim: 6).

Berkata Amirul Mukminin Ali radhiyallahu ‘anhu, “Ajarilah diri-diri kalian dan keluarga-keluarga kalian kebaikan dan bimbinglah mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dipertanggungjawabkan, seorang imam adalah pemimpin akan dipinta pertanggungjawabannya, seorang laki-laki pemimpin atas keluarganya dan akan dipinta pertanggungjawabannya, seorang wanita pemimpin dalam rumah suaminya dan ia bertanggungjawab, dan seorang budak adalah pemimpin dalam hal harta tuannya dan ia bertanggungjawab. Ketahuilah bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan dipinta pertanggungjawabannya.” (HR Bukhori dan Muslim dari sahabat Abdullah ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu).

Dari sahabat Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala akan mempertanyakan pada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaganya ataukah menyia-nyiakannya? Hingga seseorang akan bertanya kepada keluarganya.” (HR Ibnu Hibban, Ibnu Ady dalam Al Kamil, dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah dan dishohihkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath 13/113).

Demikian pula dalam Shohih Bukhori dan Muslim, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anakmu.” Sikap adil dan kasih sayang terhadap anak adalah dengan mengajari mereka kebaikan, para orangtua menjadikan dirinya sebagai madrasah bagi mereka.

Keluarga, terlebih khusus kedua orangtua dan siapa saja yang menduduki kedudukan mereka adalah unsur-unsur yang paling berpengaruh penting dalam membangun sebuah lingkungan yang mempengaruhi kepribadian sang anak dan menanamkan tekad yang kuat dalam hatinya sejak usia dini.

Seperti Zubair bin Awam misalnya. Ia adalah salah seorang dari pasukan berkudanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinyatakan oleh Umar ibnul Khattab, “Satu orang Zubair menandingi seribu orang laki-laki.” Ia seorang pemuda yang kokoh aqidahnya, terpuji akhlaqnya, tumbuh di bawah binaan ibunya Shofiyah binti Abdul Mutholib, bibinya Rosulullah dan saudara perempuannya Hamzah. Ali bin Abi Tholib sejak kecil menemani Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan dipilih menjadi menantunya. Ia tumbuh sebagai seorang pemuda sosok teladan bagi para pemuda seusianya di bawah didikan ibunya Fathimah binti Asad dan yang menjadi mertuanya Khodijah binti Khuwailid.

Begitu pula dengan Abdullah bin Ja’far, seorang bangsawan Arab yang terkenal kebaikannya, di bawah bimbingan ibunya Asma binti Umais. Orangtua mana yang tidak gembira jika anaknya tumbuh seperti Umar ibnu Abdul Aziz. Pada usianya yang masih kecil ia menangis, kemudian ibunya bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Aku ingat mati.” - waktu itu ia telah menghafal Al Qur’an - ibunya pun menangis mendengar penuturannya. Berkat didikan dan penjagaan ibunya yang sholihah Sufyan Ats Tsauri menjadi ulama besar, amirul mukminin dalam hal hadits. Saat ia masih kecil ibunya berkata padanya, “Carilah ilmu, aku akan memenuhi kebutuhanmu dengan hasil tenunanku.” Subhanallah! Anak-anak kita rindu akan ucapan dan kasih sayang seorang ibu yang seperti ini, seorang ibu yang pandangannya jauh ke depan. Seorang ibu yang super arif dan bijaksana.

Para pembaca -semoga dirahmati Allah- lihatlah bagaimana para pendahulu kita yang sholih, mereka mengerahkan segala usaha dan waktunya dalam rangka mentarbiyah anak-anaknya yang kelak menjadi penentu baik buruknya masa depan umat. Jangan sampai seorang pun di antara kita berprasangka mencontoh para pendahulu yang sholih adalah berarti kembali ke belakang, kembali ke zaman baheula (istilah orang Sunda). Di saat orang-orang berlomba-lomba meraih gengsi modernisasi, ketahuilah bahwa mencontoh sebaik-baik umat yang dikeluarkan ke tengah-tengah manusia adalah berarti satu kemajuan yang pesat, teknologi canggih dalam membangun aqidah yang benar, memperbaiki moral yang bejat serta membendung semaraknya free children, sehingga menghantarkan kepada apa yang telah diraih oleh generasi yang mulia yang tiada tandingannya.

Meniti jalannya mereka dalam rangka mentarbiyah / mendidik anak berarti tengah mempersiapkan konsep perbaikan umat di masa yang akan datang, dimana tidak akan pernah menjadi baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang menjadikan baik generasi umat pertama. Allah berfirman, “Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu, maka apakah kamu tiada memahaminya.” (QS Al Anbiyaa: 10).

Perhatian serius dan tarbiyah yang benar kini sangatlah dibutuhkan di zaman yang dipenuhi berbagai fitnah, fitnah syahwat dan syubhat yang terus memburu anak-anak kita dari segala arah dihembuskan oleh da’i-da’i sesat yang berada di pintu-pintu neraka jahanam. Allah berfirman, “… sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).” (QS An Nisaa: 27).

Benarlah apa yang dikatakan dalam sebuah syair:

Siapa menggembala kambing di tempat rawan binatang buas

Kemudian lalai darinya, singa akan merebut gembalaannya.

Para pembaca -semoga dirahmati Allah- Islam sebagai agama yang universal tentu tidaklah mengesampingkan tarbiyah anak, bahkan tarbiyah anak adalah sorotan utama dalam Islam sebab Islam adalah agama tarbiyah. Dengan posisi tarbiyah anak yang demikian pentingnya, maka Allah subhanahu wa ta’ala mengabadikan wasiat Luqman, seorang hamba yang sholih, kepada anaknya sebagai acuan bagi para murobbi / pendidik, begitu pula dengan sosok pribadi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang rosul sekaligus menjadi imam para murobbi dunia.

Perhatian dan kecintaannya terhadap anak-anak sangatlah tinggi, terlihat saat beliau mengajari Ibnu Abbas di usianya yang muda belia sehingga tampillah Ibnu Abbas menjadi sosok pemuda yang berilmu, bertaqwa, dan memiliki keberanian yang luar biasa. Salah satu bentuk kasih sayangnya terhadap anak, beliau selalu mencium anak-anak bila berjumpa, sebagaimana dalam Shohih Bukhori dari sahabat Abu Hurairoh, ia berkata, “Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Hasan …”, juga diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Shohihnya dari sahabat Aisyah radliyallahu ‘anha berkata, “Seorang badui datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: Kalian selalu menciumi anak-anak, sedangkan kami tidak pernah menciuminya.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kami menginginkan agar Allah mencabut kasih sayang dari hatimu.”

Tidak ada bahan pengajaran yang paling baik dan sempurna kecuali yang bersumber dari kitab dan sunnah, karena disitulah adanya ilmu yang mencakup segala bidang, seperti ungkapan Imam Syafi’i:

Ilmu itu adalah ucapan Allah dan ucapan rosulNya

Sedang selain dari itu adalah bisikan-bisikan syaithon.

Alangkah baik bila penulis uraikan beberapa langkah dasar dalam mendidik anak yang disarikan dari Al Kitab dan Sunnah.

Pertama: mengajarkan tauhid kepada anak, mengesakan Allah dalam hal beribadah kepadaNya, menjadikannya lebih mencintai Allah daripada selainNya, tidak ada yang ditakutinya kecuali Allah. Ini pendidikan yang paling urgen di atas hal-hal penting lainnya.

Kedua: mengajari mereka sholat dan membiasakannya berjama’ah.

Ketiga: mengajari mereka agar pandai bersyukur kepada Allah, kepada kedua orangtua, dan kepada orang lain.

Keempat: mendidik mereka agar taat kepada kedua orangtua dalam hal yang bukan maksiat, setelah ketaatan kepada Allah dan rosulNya yang mutlak.

Kelima: menumbuhkan pada diri mereka sikap muroqobah merasa selalu diawasi Allah. Tidak meremehkan kemaksiatan sekecil apapun dan tidak merendahkan kebaikan walau sedikit.

Keenam: memberitahu mereka akan wajibnya mengikuti sabilul mukminin al muwahhidin (jalannya mukminin yang bertauhid), salafush sholih generasi terbaik umat ini, dan memberikan loyalitas kepada mereka.

Ketujuh: mengarahkan mereka akan pentingnya ilmu Al Kitab dan Sunnah.

Kedelapan: menanamkan pada jiwa mereka sikap tawadlu, rendah hati, dan rujulah serta syaja’ah (kejantanan dan keberanian).

Dan masih banyak lagi selain apa yang penulis uraikan di sini. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita anak-anak yang sholih. Amin ya Mujiibas sailiin. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al Furqoon: 74).

Para pembaca -semoga dirahmati Allah- begitulah memang seharusnya pendidikan anak ini menjadi kewajiban nomor satu bagi para orangtua, menelantarkannya berarti menelantarkan amanat dan kepercayaan Allah, membiarkannya adalah berarti membiarkan kehancuran anak, orangtuanya, umat, bangsa, dan negara. Sedangkan mendidiknya adalah cahaya masa depan umat yang cerah yang berarti juga mengangkat derajat sang anak dan derajat kedua orangtuanya di surga.

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan diangkat derajat seorang hamba yang sholih di surga. Lalu ia akan bertanya-tanya: Wahai Rabb apa yang membuatku begini?” Kemudian dikatakan padanya, “Permohonan ampun anakmu untukmu.” (HR Ahmad dari sahabat Abu Hurairoh).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka, tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS Ath Thuur: 21). Allah-lah yang memberi taufiq kepada apa yang dicintaiNya dan diridloiNya.

Walhamdulillahi robbil ‘alamin. Wal Ilmu indallah.

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Abu Hamzah Al Atsari. Bulletin al Wala` wal Bara` Edisi ke-14 Tahun ke-1 / 21 Maret 2003 M / 18 Muharrom 1424 H. URL sumber http://fdawj.atspace.org/awwb/th1/14.htm)

http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=137

Ada Apa denganmu Perempuanku?

Tidakkah kau lihat langit begitu cerah? Tidakkah kau rasakan udara yang berhembus perlahan, sungguh segar dan membuat nyaman. Bukankah kau selalu jatuh cinta pada pagi yang hangat? Rasakan, pagi ini matahari pun mengajakmu kembali dalam pelukannya yang hangat, burung-burung bernyanyi riuh, seakan rindu akan senandungmu. Tapi, mengapa kulihat kabut dimatamu?

Duh, seandainya saja kau membutuhkan tempat untuk berbagi, mengapa tidak kau percayai aku? Berbagilah denganku, jangan ragu untuk berbagi duka itu, jangan sungkan untuk membagi nestapa itu.

Perempuanku, aku ingin melihatmu tersenyum, aku ingin mendengarmu tertawa. Aku ingin melihat kau bercanda kembali seperti hari-hari lalu yang pernah terlewati. Tersenyumlah padaku, tertawalah bersamaku, bercandalah denganku, karena luka itu akan segera berlalu.

Bukankah setiap kita tak pernah luput dari salah dan khilaf, lalu mengapa kau salahkan diri atas semua duka yang kini singgah dalam kehidupanmu? Tak ada gunanya untuk bersikap seperti itu terus menerus, berjuanglah untuk bangkit. Ia tahu jika kau menyesal, Ia paham kau merasa berdosa, dan kau pun tahu bahwa Ia Maha Pengampun.

Percayalah, Ia sangat menyayangimu, seperti ia menyayangi yang lainnya. Jangan merasa diperlakukan tidak adil, jangan merasa hina, dirimu adalah pribadi yang mandiri yang tidak bisa disamakan dengan orang lain. Kau mungkin tidak memiliki kecantikan, mungkin juga tidak punya kepandaian, atau bahkan kau mungkin tidak berharta, bisa juga kau tidak bergelar apapun, tapi bukankah kau selalu berusaha untuk mencintaiNya, kau selalu belajar agar selalu dekat denganNya?

Aku tahu kau tak pernah berhenti mengingatNya, dalam setiap napas selalu kau sebut namaNya. Adakah yang lebih penting dari mencintaiNya dengan sungguh-sungguh? Adakah yang lebih penting dari mendapatkan cintaNya?

Karena itu perempuanku, saat hatimu terluka, atau saat hidupmu terasa sempit, aku tahu kau mengerti bagaimana menghadapi luka, bagaimana cara menyikapi kesempitan, meski saat ini kau merasa terpuruk, merasa sendiri, merasa tak ada yang peduli, tak ingatkah kau? Bahwa Ia selalu bersamamu.

Ayolah perempuanku, saatnya kini untuk bangkit, untuk berjuang melawan kesempitan, saatnya kembali tersenyum ketika pagi tiba, saatnya kembali memulai hari dengan semangat. Biarkan luka itu menempa dirimu menjadi kuat, menjadi tegar, menjadi tangguh.