Jumat, Juli 31, 2009

Cari Jodoh

Aktivitas cari jodoh itu ada dan sudah sejak zaman dahulu banyak budaya melakukannya Konon budaya valentin didasari budaya semacam itu.

Apa ada aktivitas cari jodoh? Atau…apakah jodoh memang harus dicari? Yang pasti, setiap orang normalnya ingin menikah. Meskipun ada yang karena satu dan lain hal menjadi tak ingin atau tidak ditakdirkan berjodoh di dunia.

Aktivitas cari jodoh itu ada dan sudah sejak zaman dahulu banyak budaya melakukannya. Konon budaya valentin didasari budaya semacam itu.

Apakah Islam juga menyediakan aktivitas ini untuk muda-mudi kita? Sejujurnya penulis belum pernah menemukan sebuah ritual resmi atas nama Islam tentang ini, yang ada dan cukup banyak adalah berbagai arahan tentang mencari jodoh, memilih, dan memutuskan yang mana.

Mencari jodoh:
Ada sebuah tuntunan sangat praktis langsung dari Allah SWT.

” Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).” (An Nur 26).

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT sudah menjodohkan setiap orang bersesuaian jiwanya satu sama lain, mereka yang ”sesuai” akan cenderung betah satu sama lain dan karenanya akan mudah berjodoh. Jika kita masih lajang dan ingin cari jodoh, maka jika kita ingin mendapat jodoh yang baik berarti kitalah yang lebih dahulu harus menjadikan diri kita baik, maka Insya Allah kita akan dijodohkan dengan yang baik oleh Allah. Mudah ’kan? Itu langkah adalah langkah pertama.

Langkah pertama ini jika diyakini dengan sepenuh hati Insya Allah menjadi doa sekaligus usaha yang diajukan kepada Allah SWT tentang calon pendamping seperti apa yang kita inginkan.
Apakah kriteria ”baik” itu? Bagaimanakah kita ingin jodoh yang baik dengan cara kita berusaha menjadi baik terlebih dahulu?

Ketaqwaan adalah ukuran baku dari Allah SWT. Kadar ketaqwaan ini berdampak luas kepada semua sisi kehidupan seorang manusia. Ketika ia sedang diuji dengan kesenangan, ia akan bersyukur dengan pas, tepat, akurat, sehingga Allah menambah nikmat dariNya. Ketika ia diuji dengan musibah dan kesulitan, ia bersabar, sehingga Allah bertambah menyayanginya dan memberikan pahala yang banyak.

Hanya saja angka ketaqwaan tak dapat ditera manusia. Hanya Allah-lah yang Maha Tahu kadar ketaqwaan manusia. Bahkan si manusia itu sendiri tak pernah tahu berapa derajat ketaqwaannya, sebab ia sebagai manusia selain sarat dengan khilaf, lupa dan lalai, juga seringkali tidak mempertajam matahatinya sehingga semakin buta hakikat.

Manusia hanya mampu ”khawatir tak diterima Allah” (khouf) dan berharap ”agar ia diterima oleh Allah” (roja’). Khouf dan Roja’ ini seyogyanya ada dalam diri manusia yang sadar ia manusia yang sangat mungkin salah. Panjang lebar berbagai ulama modern maupun ulama salaf membahas dalam topik-topik tentang taqwa dan manajemen hati. Di situlah taqwa dibina.

Orang yang terbiasa mengelola hatinya Insya Allah juga mampu memprogram dirinya untuk maju menjadi lebih baik setiap harinya tanpa terjebak rasa sombong dan pongah bahwa ia sudah sampai kepada ”maqom” taqwa padahal sesungguhnya belum. Alah bisa karena biasa. Pepatah ini benar adanya.

Hendaknya kaum muda sibuk mengelola hatinya, sibuk meningkatkan taqwanya dengan keyakinan itulah kelak tiketnya ke surga dan ke pelaminan. Janganlah kaum muda muslim harapan ummat malah sibuk ”te-pe te-pe” (tebar pesona) di berbagai mal maupun layar kaca atau media lain dalam rangka membangun masa depan mereka.

Ada yang pernah bertanya kepada penulis: kalau begitu kapan berkesempatan berkenalan dengan orang banyak? Kalau sibuk menata hati kapan berjumpa orang-orang yang potensial menjadi calon? Bukankah harus ”gaul”?

Tergantung apa makna ”gaul”. Jika ”gaul” bermakna harus ikut segala tren dan mode, segala hura-hura dan pesta-pesta, maka itu tak perlu. Berapa banyak remaja dan anak muda justru terjebak mendapat jodoh buruk di tempat pergaulan semacam itu, dan bahkan bertemu dengan narkoba!

Bergaul normal, sebagaimana aktivitas sehari-hari, itu cukup. Bahkan aktivitas zaman ini tidak terbatas di lingkungan fisik belaka, ada dunia maya yang juga dapat menjadi ajang silaturahim. Sejak ketemu di dunia maya, lanjut ke dunia nyata, maka selanjutnya terserah anda.

Itu cukup, asalkan dalam bergaul sehari-hari, patokan bergaul terus dipegang sesuai aturan Islami. Ini sangat penting.

Dalam pergaulan, cara seseorang bergaul akan menentukan siapa selanjutnya kawannya. Seorang gadis yang berhati-hati dalam bergaul maka sikapnya akan menyingkirkan pemuda mata-keranjang sebab gadis ini ogah diperlakukan sembarangan. Sebaliknya jika si gadis selalu memberi ”lampu hijau” bagi teman-teman prianya untuk memperlakukan dirinya dengan sembarangan, maka dirinya hanya akan dipermainkan kemudian dicampakkan.

Jangan khawatir sikap yang ”penuh aturan” ini akan menjauhkan teman, sebaliknya, akan menseleksi dengan baik. Lagipula, buat apa punya teman yang hanya ingin mempermainkan?
Allah SWT tak pernah lupa dan tak pernah tidur. Allah SWT selalu memberikan kita bimbingan dan petunjuk, asal saja kita mau melihatnya.

Allah juga selalu menguji kita, hanya saja kita sering tak sadar. Kadang kita menyangka sedang ditawarkan sesuatu yang baik karena seolah indah dan baik (tampaknya), padahal sesungguhnya itu adalah ujian yang harus kita hindari dan jauhi karena di balik itu ada keburukan tersembunyi dan bahaya kepada agama.

Ada banyak anak muda muslim dan muslimah yang tertipu dengan manusia-manusia penuh misi pemurtadan. Para misionaris ini memang sengaja menjadi ”kawan terbaik” bagi calon sasarannya. Tujuannya adalah menjadi kawan akrab, kemudian, pacar, kemudian menikahi, kemudian memurtad-kan.

Entah ini memang sebuah gerakan terselubung atau hanya aktivitas pribadi, yang pasti fenomena ini sudah sangat banyak dan sudah berlangsung sejak puluhan tahun di bumi pertiwi ini. Ahh, andai saja setiap pemuda-pemudi muslim tetap berpegang pada aturan Islam dalam bergaul, berteman, bersahabat apalagi mencari jodoh, niscaya segala kisah pemurtadan seperti itu tak pernah terjadi. Waspadalah.


Sumber : Eramuslim

Rabu, Juli 22, 2009

Amalan Terlarang Seputar Do’a

  • Kepada selain Allah

وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ

Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, Maka Sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim

Meminta keburukan

“Janganlah kalian mendoakan diri kalian kecuali sesuatu kebaikan, sesungguhnya melaikat itu akan mengamini apa yang kalian katakan” (HR.Muslim)

  • Memohon kematian

“Janganlah salah seorang dari kalian berangan-angan untuk mati karena bahaya yang menimpanya. Jika harus berangan-angan aka hendaklah ia mengatakan “Ya Allah hidupkanlah aku apabila kehidupan ini baik bagiku dan matikanlah aku apabila keatian itu baik bagiku” (HR.al-Bukhari dan Muslim)

  • Mengharap bertemu musuh

“Wahai manusia janganlah engaku berharap bertemu dengan musuh dan mintalah kepada Allah keselamatan, jika kamu bertemu mereka (para musuh) maka bersabarlah dan ketahuilah bahwa surga itu berada di bawah naungan pedang” (HR. Muslim)

  • Berlebihan dalam berdoa

ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas

  • Tetap bermaksiat

“… kemudian ia menyebut seorang laki-laki yang sedang dala perjalanan jauh, badannya penuh debu dan rambutnya kusut, ia enengadahkan tangannya ke langit seraya berkata`Wahai Rob, Wahai Rob` sementara makanannya haram, minumannya haram dan apa yang ia pakai haram, bagaimana doanya dikabulkan?” (HR Muslim)

Rabu, Juli 08, 2009

Siapakah Mahrammu?

Al-Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain

Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan susuan atau karena ada ikatan perkawinan. Lihat Ahkam An-Nazhar Ila Al-Muharramat hal.32.

Adapun ketentuan siapa yang mahram dan yang bukan mahram telah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 23, “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak-anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuai yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa: 32).

Di dalam ayat ini disebutkan beberapa orang mahram yaitu:

Pertama: Ummahatukum (ibu-ibu kalian). Ibu dalam bahasa arab artinya setiap yang nasab lahirmu kembali kepadanya. Defenisi ini akan mencakup :

1. Ibu yang melahirkanmu.

2. Nenekmu dari ayah maupun dari Ibumu.

3. Nenek ayahmu dari ayah maupun ibunya.

4. Nenek ibumu dari ayah maupun ibunya.

5. Nenek buyut ayahmu dari ayah maupun ibunya.

6. Nenek buyut ibumu dari ayah maupun ibunya.

7. dan seterusnya ke atas.

Kedua: Banatukum (anak-anak perempuan kalian). Anak perempuan dalam bahasa arab artinya setiap perempuan yang nisbah kelahirannya kembali kepadamu. Defenisi ini akan mencakup:

1. Anak perempuanmu.

2. Anak perempuan dari anak perempuanmu (cucu).

3. Anaknya cucu.

4. dan seterusnya ke bawah.

Ketiga: Akhwatukum (saudara-saudara perempuan kalian). Saudara perempuan ini meliputi :

1. Saudara perempuan seayah dan seibu.

2. Saudara perempuan seayah saja.

3. dan saudara perempuan seibu saja.

Keempat: ‘Ammatukum (saudara-saudara perempuan ayah kalian). Masuk dalam kategori saudara perempuan ayah :

1. Saudara perempuan ayah dari satu ayah dan ibu.

2. Saudara perempuan ayah dari satu ayah saja.

3. Saudara perempuan ayah dari satu ibu saja.

4. Masuk juga di dalamnya saudara-saudara perempuan kakek dari ayah maupun ibumu.

5. dan seterusnya ke atas.

Kelima: Khalatukum (saudara-saudara perempuan ibu kalian). Yang masuk dalam saudara perempuan ibu sama seperti yang masuk dalam saudara perempuan ayah yaitu :

1. Saudara perempuan ibu dari satu ayah dan ibu.

2. Saudara perempuan ibu dari satu ayah saja.

3. Saudara perempuan ibu dari satu ibu saja.

4.Saudara-saudara perempuan nenek dari ayah maupun ibumu.

5. dan seterusnya ke atas.

Keenam: Banatul akhi (anak-anak perempuan dari saudara laki-laki). Anak perempuan dari saudara laki-laki mencakup :

1. Anak perempuan dari saudara laki-laki satu ayah dan satu ibu.

2. Anak perempuan dari saudara laki-laki satu ayah saja.

3. Anak perempuan dari saudara laki-laki satu ibu saja.

4. Anak-anak perempuan dari anak perempuannya saudara laki-laki.

5. Cucu perempuan dari anak perempuannya saudara laki-laki.

6. dan seterusnya ke bawah.

Ketujuh: Banatul ukhti (anak-anak perempuan dari saudara perempuan). Ini sama dengan anak perempuan saudara laki-laki, yaitu meliputi :

1. Anak perempuan dari saudara perempuan satu ayah dan ibu.

2. Anak perempuan dari saudara perempuan satu ayah saja.

3. Anak perempuan dari saudara perempuan satu ibu saja.

4. Anak-anak perempuan dari anak perempuannya saudara perempuan,.

5. Cucu perempuan dari anak perempuannya saudara perempuan.

6. dan seterusnya ke bawah.

Catatan penting:

Tujuh yang tersebut di atas adalah mahram karena nasab. Sehingga kita bisa mengetahui bahwa ada empat orang yang bukan mahram walaupun ada hubungan nasab, mereka itu adalah :

1. Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ayah (sepupu).

2. Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibu (sepupu).

3. Anak-anak perempuan dari saudara perempuan ayah (sepupu).

4. Anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibu (sepupu).

Mereka ini bukanlah mahram dan boleh dinikahi.

Kedelapan : Ummahatukum al-laati ardha’nakum (ibu-ibu yang menyusui kalian). Yang termasuk ibu susuan adalah :

1. Ibu susuan itu sendiri.

2. Ibunya ibu susuan.

3. Neneknya ibu susuan.

4. dan seterusnya keatas.

Catatan penting:

Kita melihat bahwa dalam ayat ini Ibu susuan dinyatakan sebagai mahram, sementara menurut ulama pemilik susu adalah suaminya karena sang suamilah yang menjadi sebab isterinya melahirkan sehingga mempunyai air susu. Maka disebutkannya ibu susuan sebagai mahram dalam ayat ini adalah merupakan peringatan bahwa sang suami adalah sebagai ayah bagi anak yang menyusu kepada isterinya. Dengan demikian anak-anak ayah dan ibu susuannya baik yang laki-laki maupun yang perempuan dianggap sebagai saudaranya (sesusuan), dan demikian pula halnya dengaan saudara-saudara dari ayah dan ibu susuannya baik yang laki-laki maupun yang perempuan dianggap sebagai paman dan bibinya. Karena itulah Nabi ? menetapkan di dalam hadits beliau yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim dari hadits ‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-, “Sesungguhnya menjadi mahram dari susuan apa-apa yang menjadi mahrom dari nasab”.

Kesembilan: Akhwatukum minar radha’ah (dan saudara-saudara perempuan kalian dari susuan). Yang termasuk dalam kategori saudara perempuan sesusuan adalah :

1. Perempuan yang kamu disusui oleh ibunya ( ibu kandung maupun ibu tiri).

2. Atau perempuan itu menyusu kepada ibumu.

3. Atau kamu dan perempuan itu sama-sama menyusu pada seorang perempuan yang bukan ibu kalian berdua.

4. Atau perempuan yang menyusu kepada istri yang lain dari suami ibu susuanmu.

Kesepuluh: Ummahatu nisa`ikum (dan ibu isteri-isteri kalian). Ibu isteri mencakup ibu dalam nasab dan seterusnya keatas dan ibu susuan dan seterusnya keatas. Mereka ini menjadi mahram bila/dengan terjadinya akad nikah antara kalian dengan anak perempuan mereka, walaupun belum bercampur.

Tidak ada perbedaan antara ibu dari nasab dan ibu susuan dalam kedudukan mereka sebagai mahram. Demikian pendapat jumhur ulama seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Jabir dan Imran bin Husain dan juga pendapat kebanyakan para tabi’in dan pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Ashhab Ar-ro’y yang mana mereka berdalilkan dengan ayat ini, oleh karena itu kita tidak bisa menerima perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menyatakan bolehnya seorang lelaki menikah dengan ibu susuan isterinya dan saudara sesusuan istrinya. Wallahu A’lam.

Kesebelas: Anak-anak istrimu (Ar-Raba`ib) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.

Ayat ini menunjukkan bahwa Ar-Raba`ib adalah mahram. Dan menurut bahasa arab Ar-Raba`ib ini mencakup :

1. Anak-anak perempuan istrimu.

2. Anak-anak perempuan dari anak-anak istrimu ( cucu perempuannya istri).

3. Cucu perempuan dari anak-anak istrimu.

4. dan seterusnya ke bawah.

Tapi Ar-Raba`ib ini dalam ayat ini menjadi mahram dengan syarat apabila ibunya telah digauli adapun kalau ibunya diceraikan atau meninggal sebelum digauli oleh suaminya maka Ar-Raba‘ib ini bukan mahram suami ibunya bahkan suami ibunya itu bisa menikahi dengannya. Dan ini merupakan pendapat Jumhur Ulama seperti Imam Malik, Ats-Tsaury, Al-Auza’y, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan lain-lainnya. Hal ini berdasarkan dzhohir ayat di ayat, “Dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.”

Adapun yang tersebut di ayat (Ar-Raba`ib yang dalam pemeliharaanmu) kata “dalam pemeliharaanmu” dalam ayat ini bukanlah sebagai syarat untuk dianggapnya Ar-Raba`ib itu sebagai mahram. Semua Ar-Rabaib baik yang dalam pemeliharaan maupun yang diluar pemeliharaan adalah mahram menurut pendapat jumhur ulama. Jadi kata “dalam pemeliharaanmu” hanya menunjukkan bahwa kebanyakan Ar-Raba`ib itu dalam pemeliharaan atau hanya menunjukkan dekatnya Ar-Raba`ib tersebut dengan ayahnya. Dengan demikian nampaklah hikmah kenapa Ar-Raba`ib menjadi mahram. Wallahu A’lam.

Keduabelas: Istri-istri anak-anak kandungmu (menantu).

Ini meliputi :

1. Istri dari anak kalian.

2. Istri dari cucu kalian.

3. Istri dari anaknya cucu.

4. dan seterusnya kebawah baik dari nasab maupun sesusuan.

Mereka semua menjadi mahram setelah akad nikah dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam hal ini.

Lihat pembahasan di atas dalam :

Al-Mughny 9/513-518, Al-Ifshoh 8/106-110, Al-Inshof 8/113-116, Majmu’ Al-Fatawa 32/62-67, Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah 2/589-592, Zadul Ma’ad 5/119-124, Taudhil Al-Ahkam 4/394-395, Tafsir Al-Qurthuby 5/105-119, Taisir Al-Karim Ar-Rahman.

Peringatan:

Demikian mahrom dalam surah An Nisa. Tapi perlu diingat, pembicaraan dalam ayat ini walaupun ditujukan langsung kepada laki-laki dan menjelaskan rincian siapa yang merupakan mahrom bagi mereka, ini tidaklah menunjukkan bahwa di dalam ayat ini tidak dijelaskan tentang siapa mahrom bagi perempuan. Karena Mafhum Mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari ayat ini menjelaskan hal tersebut.

Misalnya disebutkan dalam ayat : “Diharamkan atas kalian ibu-ibu kalian”, maka mafhum mukhalafahnya adalah : “Wahai para ibu, diharamkan atas kalian menikah dengan anak-anak kalian.”

Misal lain, disebutkan dalam ayat : “Dan anak-anak perempuan kalian.” Maka mafhum mukhalafahnya adalah : “Wahai anak-anak perempuan diharamkan atas kalian menikah dengan ayah-ayah kalian.” Dan demikian seterusnya.

Sebagai pelengkap dari pembahasan ini, kami sebutkan ayat dalam surah An Nuur ayat 31, “Janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki mereka yang tidak mempunyai keinginan (kepada wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang ‘aurat.”

Demikianlah, mudah-mudahan jawaban ini bermanfaat. Wa akhiru da’wana wal hamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

[Majalah An-Nashihah]

HUKUM MEMANDANG DAN BERJABAT TANGAN DENGAN SELAIN MAHRAM

Sungguh agama telah mengatur segala aspek kehidupan dan menatanya dengan keimanan dan ketundukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Perbedaan begitu banyak terjadi dalam kehidupan, termasuk kontraversi tentang haram dan tidak haramnya memandang dan berjabat tangan dengan selain mahram. Fenomena ini terus mencuat, lalu bagaimanakah sebenarnya analisa ilmiah tentang hal tersebut?

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia, maka tentunya Allahpun telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk didalamnya bagaimana hukum yang berlaku bagi laki-laki dan wanita yang tidak semahram dalam memandang dan berjabat tangan. Olehnya kita simak uraian dalil Al-Quran dan Sunnah tentang masalah ini, agar hati kita tenang dan dapat mengamalkannya sesuai dengan perintah agama.

· Adapun dalil dari Al-Qur`an :

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah An- Nuur : 31

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menundukkan pandangannya”.

Ayat ini menunjukkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan pandangannya dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah haramkan, maka jangan mereka memandang kecuali apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah halalkan baginya.

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah : “Kebanyakan para ulama menjadikan ayat ini sebagai akan haramnya wanita memandang laki-laki selain mahramnya apakah dengan syahwat atau tanpa syahwat”. (Tafsir Ibnu Katsir 3/345).

Berkata Imam Al-Qurthuby rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini : “Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai dengan perintah menundukkan pandangan sebelum perintah menjaga kemaluan karena pandangan adalah pancaran hati. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang tidak halal. Oleh karena itu tidak halal bagi wanita-wanita mu’minah untuk memandang laki-laki selain mahramnya”. (Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an 2/227).

Berkata Imam Asy-Syaukany rahimahullah : “Ayat ini menunjukkan haramnya wanita memandang kepada selain mahramnya”. (Tafsir Fathul Qodir 4/32).

Berkata Muhammad Amin Asy-Syinqithy rahimahullah : “Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa yang menjadikan mata itu berdosa karena memandang hal-hal yang dilarang berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Ghofir ayat 19 :

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati”.

Ini menunjukkan ancaman bagi yang menghianati matanya dengan memandang hal-hal yang dilarang”.

Al-Imam Al-Bukhary rahimahullah berkata : “Makna dari ayat (An-Nuur : 31) adalah memandang hal yang dilarang karena hal itu merupakan pengkhianatan terhadap mata”. (Adhwa` Al-Bayan 9/190).

Dalil-dalil dari Sunnah :

  • Dari Abi Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam bersabda :

إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ فِي الطُّرُقَاتِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا لَنَا بُدٌّ مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوْا الطَّرِيْقَ حَقَّهُ قَالُوْا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Hati-hatilah kalian dari duduk di jalan-jalan, mereka bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah ada apa-apanya (bahayanya) dari majlis-majlis yang kami berbicara didalamnya ?, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam menjawab : “Apabila kalian tidak mau kecuali harus bermajlis maka berikanlah jalan itu haknya”, mereka bertanya : “dan apa hak jalan itu ?, Rasulullah menjawab : “Tundukkan pandangan, Manahan dari mengganggu, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi mungkar”.

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (11/11) : “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam melarang duduk di jalan, hal ini untuk menjaga timbulnya penyakit hati dan fitnah dari memandang laki-laki atauipun wanita selain mahramnya”.

Berkata Syamsuddin Al-‘Azhim Al-Abady sebagaimana dalam ‘Aunul Ma’bud (13/168) : “ghodhdhul bashor (menundukkan pandangan) yaitu menahan pandangan dari melihat yang diharamkan”.

  • Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam menegaskan :

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan”.

Imam Bukhary dalam menjelaskan hadits ini menyatakan bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina, sebagaimana beliau sebutkan dalam sebuah bab bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina.

Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menukil dari Ibnu Baththol, beliau berkata bahwa : “mata, mulut dan hati dinyatakan berzina karena asal sesungguhnya dari zina kemaluan itu adalah memandang kepada hal-hal yang haram”. (Fathul Bary 11/26).

Maka dari pernyataan ini menunjukkan bahwa hukum memandang kepada selain mahram adalah haram karena memandang adalah wasilah (jalan) yang mengantar kita untuk berbuat zina kemaluan yang mana hal itu termasuk dosa besar.

  • Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata :

يَتَحَقَّقُ رَجُلٌ مِنْ جُحْرٍ فِيْ حُجَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَمَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مدري يحك به رأسه فقال لو أعلم أنك تنظر لطعنت به في عينك إنما جعل الاستئذان من أجل البصر

“Seseorang dari satu celah mengamati kamar-kamar Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam dan bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam sisir menggaruk kepalanya, maka beliau berkata : “Sekiranya saya tahu engkau memandang (kekamarku) maka akan kutusukkan sisir ini ke matamu, sesungguhnya meminta izin itu berlaku hanya karena memandang”. (HR. Bukhary-Muslim).

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya meminta izin disebabkan karena hal memandang dan adapun larangan memandang ke dalam rumah orang tanpa memberitahu pemiliknya karena dikhawatirkan ia akan melihat hal-hal yang haram”. (Fathul Bary : 11/221).

  • Dari Jarir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu :

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِيْ

“Aku bertanya kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam tentang memandang secara tiba-tiba, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam memberi perintah kepadaku : “Palingkanlah pandanganmu”. (HR. Muslim).

Syeikh Salim Al-Hilaly hafizhohullah berkata : “Hadits ini menjelaskan bahwa tidak ada dosa memandang kepada selain mahram secara tiba-tiba (tidak disengaja) akan tetapi wajib untuk memalingkan pandangan berikutnya, karena hal itu sudah merupakan dosa”. (Bahjatun Nadzirin 3/146).

Imam An-Nawawy mengatakan : “Memandang kepada selain mahram secara tiba-tiba tanpa maksud tertentu pada pandangan pertama maka tak ada dosa. Adapun selain itu, bila ia meneruskan pandangannya maka hal itu sudah terhitung sebagai dosa”. (Syarh Shohih Muslim 4/197).

HUKUM MEMANDANG SELAIN MAHRAM MENURUT PENDAPAT PARA ULAMA

Dari uraian dalil Al-Qur`an dan Sunnah di atas menunjukkan bahwa hukum memandang kepada selain mahram adalah haram. Dan tidak terjadi khilaf di antara para ulama akan hal itu.

Al-Imam An-Nawawy telah menukil kesepakatan para ‘ulama tentang haramnya memandang kepada selain mahram dengan syahwat. (Syarh Shohih Muslim oleh An-Nawawy 6/262).

Adapun khusus wanita bila memandang dengan tanpa syahwat maka terjadi perselisihan pendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, bahwa : “Kebanyakan para ulama menyatakan haram bagi wanita memandang selain mahramnya baik dengan syahwat ataupun tanpa syahwat dan sebagian lagi dari mereka menyatakan bahwa haram wanita memandang dengan syahwat, adapun tanpa syahwat maka hal itu boleh. (Tafsir Ibnu Katsir 3/354).

Adapun dalil pendapat Jumhur ulama yang menyatakan haram memandang secara mutlak adalah :

# Surah An-Nuur :31, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menundukkan pandangannya”.

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini bahwa ayat ini merupakan dalil akan haramnya wanita memandang kepada selain mahram. (Tafsir Ibnu Katsir 3/345).

Dan berkata Muhammad Ibnu Yusuf Al-Andalusy dalam Tafsirnya (Tafsirul Bahrul Muhit : 6/411) dan Imam Asy-Syaukany (Fathul Qodir : 4/32) : “Bahwa surah An-Nuur ayat 31 ini sebagai taukid (penjelas) ayat sebelumnya yaitu An-Nur ayat 30, bahwa hukum laki-laki memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak maka begitupun hukum wanita memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak pula”.

#Dan hadits Ummu Salamah :

كُنْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَيْمُوْنَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ احْتَجِبَا مِنْهُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَفَعُمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ

“Pernah aku bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam dan Maimunah ada disisinya, maka datanglah Ibnu Ummi Maktum dan pada saat itu kami telah diperintah untuk berhijab, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam berkata : “Berhijablah kalian darinya”, maka kami mengatakan : “Bukankah Ibnu Ummi Maktum buta, tidak melihat dan tidak mengenal kami ?”, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam berkata : “Apakah kalian berdua buta ?, bukankah kalian berdua dapat melihatnya ?”.

HR. Abu Daud no. 4112, At-Tirmidzy no. 2778, An-Nasa`i dalam Al-Kubro no. 9241, Ahmad 6/296, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 6922, Ibnu Hibban sebagaimana Al-Ihsan no. 5575-5576, Al-Baihaqy 7/91, Ath-Thobarany 23/no. 678, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thobaqot 8/175,178, Al-Khotib Al-Baghdady dalam Tarikhnya 3/17-18, 8/338 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 19/155

Tapi hadits ini ada kelemahan didalamnya yaitu seorang rawi yang bernama Nabhan maula Ummu Salamah dan ia ini adalah seorang rawi yang majhul. Karena itu hadits ini dilemahkan oleh syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1806.

Imam An- Nawawi berkata : ada dua pendapat dalam masalah hukum wanita memandang tanpa dengan syawat, dan yang rojih dalam masalah ini adalah haram, berdasarkan dalil Surah An-Nuur : 31. dan dalil yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Ummi Salamah dan beliau berkata bahwa haditsnya hasan.

(Lihat Syarah Muslim oleh An-Nawawi 6/262)

Adapun dalil yang digunakan oleh orang-orang yang membolehkan wanita memandang kepada selain mahram tanpa syahwat adalah hadits Aisyah radhyiallahu ‘anha :

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْمُ عَلَى بَابِ حُجْرَتِيْ وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُوْنَ بِحِرَابِهِمْ فِيْ مَسْجِدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِيْ بِرِدَائِهِ لِكَيْ أَنْظُرُ إِلَى لَعْبِهِمْ

“Aku melihat Rasullullah Shollallahu shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam di pintu kamarku dan orang-orang Habasyah bermain dalam masjid Rasullullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam, (beliau) menghijabiku dengan rida`nya supaya aku dapat melihat permainan mereka”. (HR. Bukhary-Muslim).

Akan tetapi tidak ada pendalilan (alasan) bagi mereka dalam hadits ini untuk membolehkan memandang kepada laki-laki yang bukan mahram tanpa syahwat. Dan penjelasan hal tersebut sebagai berikut :

Berkata Imam An-Nawawy (Syarh Muslim 6/262) : “Adapun hadits yang menceritakan tentang ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain dalam masjid memiliki beberapa kemungkinan, antara lain saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha belum mencapai masa baligh”.

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar (Al-Fath 2/445) : “Dalam hadits ‘Aisyah tersebut kemungkinan saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha hanya bermaksud melihat permainan mereka bukan wajah dan badannya dan bila ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai melihat mereka maka hal itu terjadi secara tiba-tiba dan tentunya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha akan memalingkan pandangannya setelah itu”.

Kemungkinan lainnya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain dalam mesjid dari jarak jauh karena dalam hadits itu diceritakan bahwa ‘Aisyah berada dalam kamarnya sedangkan orang-orang Habasyah bermain dalam masjid. Wallahu A’lam.

SYUBHAT YANG TERJADI SEKITAR HUKUM MEMANDANG

1. Tentang boleh atau tidaknya jika hal yang dipandang itu di dalam televisi, majallah atau koran.

Maka dijawab bahwa tidak ada perbedaan melihat di televisi, majallah dan lain-lain, karena ayat dan hadits-hadits yang kita sebutkan sebelumnya secara umum memerintahkan untuk menundukkan pandangan (Lajnah Fatawa oleh Syeikh Ibnu Bazz).

2. Pandangan pertama adalah rahmat.

Hal ini tidak betul, sebab dalam hadits Jarir yang telah lalu diceritakan ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam ditanya tentang memandang secara tiba-tiba (tidak disengaja) yang terjadi pada awal kali memandang, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam memerintahkan untuk memalingkan pandangan itu. Maka tentunya memandang dengan sengaja adalah dosa walaupun terjadi pada awal kali memandang.

3. Melihat ciptaan Allah adalah ibadah.

Ibnu Taymiyah berkata : “Siapa yang berkata bahwa melihat kepada ciptaan Allah adalah ibadah termasuk melihat kepada yang haram (yang bukan mahramnya), ini berarti dia telah menyatakan bahwa perbuatan keji itu adalah ibadah. Ini adalah perkataan kufur dan murtad sebagaimana ayat :

قُلْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”. (Q.S.Al-A’raf : 28)

Catatan

Tidak bolehnya melihat kepada perempuan yang bukan mahram ini berlaku umum kecuali kalau seseorang ingin meminang maka boleh ia melihat kepada pinangannya dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syari’at sebatas keperluan sebagaimana yang dijelaskan dalam dalil-dalil yang sangat banyak. Wallahu A’lam.

HUKUM BERJABAT TANGAN KEPADA SELAIN MAHRAM

Adapun hukum berjabat tangan kepada selain mahram adalah haram, dalilnya sangat jelas, antara lain :

  • Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam menegaskan :

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan”.

Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim (16/316) menjelaskan : “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk melakukan zina kemaluan”.

  • Hadits Ma’qil bin Yasar radhyiallahu ‘anhu :

لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HSR. Ar-Ruyany dalam Musnadnya no.1282, Ath-Thobrany 20/no. 486-487 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 4544 dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 226)

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram adalah dosa besar (Nashihati lin-Nisa hal.123).

Berkata Asy-Syinqithy (Adwa` Al-Bayan 6/603) : “Tidak ada keraguan bahwa fitnah yang ditimbulkan akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah memandang”.

Berkata Abu ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al-Makky Al-Haitamy (Az-Zawajir 2/4) bahwa : “dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram adalah termasuk dosa besar”.

  • Hadits Amimah bintu Raqiqoh radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam bersabda :

إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita”. (HSR. Malik no. 1775, Ahmad 6/357, Ishaq Ibnu Rahaway dalam Musnadnya 4/90, ‘Abdurrozzaq no. 9826, Ath-Thoyalisy no. 1621, Ibnu Majah no. 2874, An-Nasa`i 7/149, Ad-Daraquthny 4/146-147, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4553, Al-Baihaqy 8/148, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 28/79, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad wal Matsany no. 3340-3341, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thobaqot 8/5-6, Ath-Thobarany 24/no. 470,472,473 dan Al-Khollal dalam As-Sunnah no. 45. Dan dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bary 12/204, dan dishohihkan oleh Syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 529 dan Syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fii Ash-Shohihain.

Dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits Asma` binti Yazid diriwayatkan oleh Ahmad 6/454,479, Ishaq Ibnu Rahawaih 4/182-183, Ath-Thobarany 24/no. 417,456,459 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/244. Dan di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syahr bin Hausyab dan ia lemah dari sisi hafalannya namun bagus dipakai sebagai pendukung.)

Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/243 : “Dalam perkataan beliau “aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita” ada dalil tentang tidak bolehnya seorang lelaki bersentuhan dengan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya-pent.) dan menyentuh tangannya dan berjabat tangan dengannya”.

Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata :

وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ

“Demi Allah tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah menyentuh tangan wanita dalam berbai’at dan beliau tidak membai’at para wanita kecuali dengan perkataannya".

Berkata Imam An-Nawawy (Syarh Muslim 13/16) : “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan”.

Berkata Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir 4/60) : “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita dengan ucapan tanpa dengan menyentuh tangan”.

Jadi bai’at terhadap wanita dilakukan dengan ucapan tidak dengan menyentuh tangan. Adapun asal dalam berbai’at adalah dengan cara menyentuh tangan sebagaimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam membai’at para shahabatnya dengan cara menyentuh tangannya. Hal ini menunjukkan haramnya menyentuh/berjabat tangan kepada selain mahram dalam berbai’at, apalagi bila hal itu dilakukan bukan dengan alasan bai’at tentu dosanya lebih besar lagi.

SYUBHAT-SYUBHAT YANG TERSEBAR DALAM MENYENTUH/BERJABAT TANGAN DENGAN SELAIN MAHRAM

1. Boleh menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram dengan dalil 2 hadits dari Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha :

فَمَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ مِنْ خَارِجِ الْبَيْتِ وَمَدَدْنَا أَيْدِيَنَا مِنْ دَاخِلِ الْبَيْتِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ

“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam memanjangkan tangannya dari luar rumah dan kamipun memanjangkan tangan kami dari dalam rumah kemudian beliau berkata : “Ya Allah saksikanlah”.

Dan juga beliau berkata dalam riwayat Bukhary :

بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْنَا أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَنَهَانَا عَنْ النِّيَاحَةِ فَقَبَضَتْ امْرَأَةٌ يَدَهَا...

“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam membai’at kami maka beliau membacakan kepada kami ayat ((Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatupun)) dan melarang kami dari meraung (sewaktu kematian), maka wanita (itupun) memegang tangannya…”.

BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT

  • Hadits pertama kata Al-Hadizh Ibnu Hajar diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bazzar, Ath-Thobary dan Ibnu Mardaway dari jalan Ismail bin ‘Abdirrahman dan dia ini kata syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah 2/65 laisa bimasyhur (tidak terkenal) maka beliau hukumi haditsnya sebagai hadits laisa bil qawy (tidak kuat).
  • Kata Al-hafizh Ibnu Hajar bahwa mereka memanjangkan tangan dari belakang hijab, itu sebagai isyarat bahwa baiat telah terjadi walaupun tidak berjabat tangan.
  • Dalam hadits pertama ini tidak ada kejelasan bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam menyentuh/berjabat tangan dengan wanita, bahkan yang dipahami dalam hadits itu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam hanya memanjangkan tangannya.
  • Pada hadits kedua, dimaksud yang memegang tangannya adalah tangan wanita itu sendiri bukan tangan Rasulullah.
  • Kemudian dalam dua hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Albany rahimahullah bukan pernyataan yang shorih (tegas,jelas) bahwa para wanita ini berjabat tangan dengan beliau maka tidak boleh hadits yang seperti ini menggugurkan kandungan dari hadits Amimah bintu Raqiqah dan hadits ‘Aisyah yang jelas menyatakan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah berjabat dan menyentuh tangan wanita baik dalam bai’at maupun di luar bai’at.

2. Boleh menyentuh/berjabat tangan bila dilapisi dengan kain atau semacamnya,dengan dalil hadits Sya’by radhiallahu ‘anhu :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَايَعَ النِّسَاءَ أُتِيَ بِثَوْبٍ قَطْرٍ فَوَضَعَهَا عَلَى يَدِهِ وَقَالَ أَنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam ketika beliau membai’at para wanita, beliau diberi kain sutra, kemudian beliau meletakkannya atas ditangannya dan berkata : “Saya tidak berjabat tangan dengan wanita”.

BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT :

  • Hadits ini mursal (dho’if). Dikeluarkan dari ‘Abdurrazzaq dari jalan An-Nakha’i dengan mursal. Dan dari Ibnu Manshur dari jalan Qois Abi Hazm dengan jalan mursal. Karena hadits lemah, maka dikembalikan kepada hadits ynang secara umum menyatakan haramnya menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram, apakah dengan memekai pelapis/pembatas atau tidak. (Lihat Fatwa Syeikh ‘Utsaimin dan Nashihaty Lin-Nisa` oleh Ummu ‘Abdillah binti Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy hal. 14).

3. Boleh menyentuh/berjabat tangan dengan orang yang sudah tua

BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT :

  • Hal ini telah ditannyakan kepada Syeikh bin Baaz dan Syeikh ‘Utsaimin rahimahumallah dan beliau menjawab bahwa tidak ada perbedaan dalam hal ini apakah orang yang dijabat tangani sudah tua atau belum, karena hadits-hadits yang menyebutkan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan tidak membedakannya. Kemudian kata Syeikh batas orang tua ataupun muda, berbeda menurut penilaian masing-masing orang. (Lihat Fatwa Syeikh bin Baaz dan Syeikh ‘Utsaimin).

Wallahu A’lam bishshowab.

4. Saya berjabat tangan kepada selain mahram itu karena niat yang baik.

BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT :

  • Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu pasti berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan sholeh”. (QS. AL-Ashr : 1-3).

Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk dan harta-harta kalian tetapi Allah melihat kepada hat-hati dan amalan-amalan kalian”. (HSR. Muslim).

Berkata Al-Imam Al-Ajurry di kitab Asy-Syari’ah hal. 128 : “Amalan yang dilakukan oleh anggota tubuh sebagai pembenaran iman yang ada dalam hati, maka barangsiapa yang tidak beramal tidak dikatakan sebagai orang yang beriman bahkan meninggalkan amalan adalah pendustaan terhadap imannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wallahu A’lam bishshowab.

KESIMPULAN :

Dari uraian dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah diatas maka telah jelas bagi kita tentang larangan memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram. Bahwa hukum memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram adalah haram.

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.