Minggu, Desember 27, 2009

Kewajiban Menjaga Lidah

Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

“Dan janganlah kamu bersikap pada apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra`: 36)

Maksudnya: Janganlah kamu berucap pada sesuatu yang kamu tidak punya ilmu padanya. (Tafsir Ibnu Katsir: 3/39)

Dari Abu Musa Al-Asy’ari -radhiallahu anhu- dia berkata: Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, kaum muslimin manakah yang paling utama?” maka beliau menjawab:

مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيِدِهِ

“Siapa yang kaum muslimin lain selamat dari gangguan lidah dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 2988)

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- bahwa dia mendengar Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا, يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Seorang hamba betul-betul mengucapkan sebuah ucapan yang dia belum jelas padanya, maka ucapan tersebut membuat dia terjatuh ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR. Al-Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 2988)

Makna dia belum jelas padanya adalah dia belum berfikir apakah ucapan tersebut merupakan kebaikan atau bukan.

Dari Sufyan bin Abdillah -radhiallahu anhu- dia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku satu perkara yang aku bisa berpegang teguh kepadanya,” beliau menjawab, “Katakanlah: Aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah.” Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, perkara apa yang paling kamu khawatirkan akan menimpaku?” maka beliau memegang lidahnya sendiri kemudian bersabda, “Ini.” (HR. At-Tirmizi no. 2410 dan asalnya dalam riwayat Muslim)

Dari Uqbah bin Amir -radhiallahu anhu- dia berkata: Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu keselamatan?” beliau menjawab:

أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيْئَتِكَ

“Tahanlah lidahmu, hendaknya rumahmu menjadi luas bagimu, dan tangisilah dosa-dosamu.” (HR. At-Tirmizi no. 2406 dan dia berkata, “Hadits hasan.”)

Maksudnya: Hendaknya kalian tetap tinggal di rumah kalian.

Penjelasan ringkas:

Tanda kesempurnaan islam adalah kemampuan untuk menjaga lidah dari mengucapkan sesuatu yang tidak jelas manfaatnya. Karenanya barangsiapa yang bisa menjaga lidahnya maka sungguh dia telah mendapatkan keberuntungan dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Oleh karena itulah Nabi -alaihishshalatu wassalam- senantias mengingatkan para sahabatnya -padahal mereka adalah orang yang dekat dengan beliau- agar selalu memperhatikan lidahnya, jangan sampai lidah tersebut menimbulkan kejelekan bagi dirinya, tatkala pada hari kiamat dia tidak bisa mempertanggung jawabkan semua ucapan yang keluar dari mulutnya. Maka lidah bisa memasukkan seseorang ke dalam surga akan tetapi dia juga bisa menjerumuskan pemiliknya jauh ke dalam neraka, wal’iyadzu billah.

Bahaya Lidah

Allah Ta’ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya ada raqib atid.” (QS. Qaf: 18)

Raqib adalah malaikat yang selalu menyertainya dan atid maknanya yang hadir di sisinya.

Dari Sahl bin Sa’ad As-Saidi -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang menjamin untukku bisa menjaga apa yang ada di antara dua janggutnya (janggut dan kumis) dan apa yang ada di antara kedua kakinya, maka aku menjamin surga untuknya.” (HR. Al-Bukhari no. 6474)

Yang berada di antara janggut dan kumis adalah lidah, dan yang berada di antara dua kaki adalah kemaluan.

Dan dalam hadits Muadz bin Jabal tatkala Nabi -alaihishshalatu wassalam- menyebutkan masalah Islam, rukun Islam, dan jihad di jalan Allah. Muadz berkata di akhir hadits:

ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمِلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رسولَ اللهِ. فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ وَقَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا، قُلْتُ: يَا رسولَ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ قَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟!

“Kemudian beliau bersabda, “Inginkah kuberitahukan kepadamu penegak dari semua amalan itu?” aku (Muadz) menjawab, “Mau wahai Rasulullah.” Maka beliau memegang lidahnya seraya bersabda, “Tahanlah ini,” aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami betul-betul akan disiksa akibat ucapan kami?” beliau menjawab, “Kasihan kamu wahai Muadz, apakah ada yang menjerambabkan manusia di dalam neraka di atas wajah-wajah mereka kecuali buah dari ucapan lisan-lisan mereka?!” (HR. At-Tirmizi no. 2616 dan dia berkata, “Hadits hasan shahih.”)

Penjelasan ringkas:

Allah Ta’ala berfirman mengingatkan nikmat-Nya, “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua mata, satu lidah, dan dua bibir.” Maka lidah termasuk dari nikmat terbesar dari Allah kepada hamba yang dengannya mereka bisa mengungkapkan isi hati dan keinginan mereka.

Hanya saja nikmat yang besar ini bisa menjadi sesuatu yang akan membinasakan pemiliknya di dunia dan di akhirat. Dia bisa menjadi sebab terbesar masuknya seseorang ke dalam surga, tapi sebaliknya dia juga bisa menjadi sebab terbesar yang menggelincirkan seseorang ke dalam neraka. Karenanya tidak akan sempurna keislaman seseorang sampai dia meyakini bahwa semua ucapan yang keluar dari mulutnya akan dia pertanggungjawabkan di hadapan Allah, dan dia tidak akan mendapatkan inti dari ajaran Islam selama dia tidak menjaga lisannya.

Senin, Desember 21, 2009

Adzan di Telinga Bayi

Adzan di telinga bayi di saat ia baru lahir, hampir termasuk perkara yang disepakati. Fenomena seperti ini, nampak tersebar di Negeri kita yang jauh dari Ulama rabbaniyyin yang mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohih, sehingga membantu tersebar hal ini. Selain itu, banyak da’i yang berpangku tangan dan tidak mau meneliti masalah ini lebih detail lagi dari segi keakuratan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini, masalah disyari’atkannya adzan ditelinga bayi di hari kelahirannya.

Sebagai beban dan amanah ilmiah,kami perlu jelaskan tentang kondisi hadits yang diajdikan dasar perkara itu. Menurut pemeriksaan para ulama terhadap riwayat-riwayat dan jalur-jalur hadits adzan di telinga bayi, cuma ada tiga jalur atau empat:

Hadits Pertama

Hadits ini berasal dari Abu Rofi’, bekas budak Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, ia berkata:“Saya melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- adzan, seperti adzan sholat, di telinga Al-Hasan bin Ali, ketika Fathimah -radhiyallahu ‘anha- melahirkannya”. [HR. Abu Dawud (5105), At-Tirmidziy (4/1514), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (9/300), dan dalam Asy-Syu’ab (6/389-390), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (931-2578), dan dalam Ad-Du’a (2/944), Ahmad (6/9-391-392), Abdur-Razzaq (7986), Ath-Thoyalisiy (970), Al-Hakim (3/179), dan Al-Baghowiy (11/273).]

Al-Hakim berkata, “Shohih sanadnya sekalipun keduanya (Al-Al-Bukhariy dan Muslim) tidak mengeluarkannya”. Akan tetapi, ia disanggah oleh Adz-Dzahabi seraya berkata : “Ashim dho’if (lemah)”. At-Tirmidzi berkata, “Semua meriwayatkannya dari jalur Sufyan Ats-Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari bapaknya”.

Hadits ini juga diriwayatkan Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (926,2579), dan dibawakan hadits ini oleh Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa’id (4/60) dari jalur Hammad bin Syu’aib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin Al-Husain dari Abi Rofi’ dengan sedikit tambahan, “Beliau adzan di telinga Al-Hasan dan Al-Husain”. Dia berkata di akhirnya, “Beliau memerintahkan hal itu kepada mereka”.

Di dalam sanad hadits ini terdapat Hammad bin Syu’aib. Ibnu Ma’in telah men-dho’if-kannya. Al-Al-Bukhariy berkata, “Mungkar haditsnya”. Pada tempat lain, ia berkata: “Mereka meninggalkan haditsnya”.Al-Haitsami berkata dalam Al-Majma’ (4/60), “Di dalamnya terdapat Hammad bin Syu’aib, sedang ia itu lemah sekali”.

Di dalamnya juga terdapat Ashim bin Ubaidillah, seorang yang dho’if (lemah). Selain itu, Hammad telah menyelisihi Sufyan Ats-Tsaury, baik dalam hal sanad maupun redaksi hadits, sebab ia telah meriwayatkannya dari Ashim dari Ali bin Al-Husain dari Abi Rofi’. Dia menggantikan Ubaidullah bin Abi Rofi’ dengan Ali bin Al-Husain, dan ia juga menambahkan lafazh pada redaksi hadits, “…Al-Husain”, dan perintah beradzan. Hammad yang ini termasuk orang yang tidak diterima haditsnya, jika menyendiri dalam meriwayatkan hadits, karena kelemahan pada dirinya yang telah anda ketahui. Apalagi ia menyelisihi orang yang lebih tsiqoh (terpercaya) dan teliti daripada dirinya seperti Ats-Tsaury. Dengan ini, hadits Hammad menjadi mungkarkarena kelemahannya pertama, dan kedua, penyelisihannya terhadap orang yang lebih tsiqoh.

Adapun jalur kedua dari Sufyan, terdapat seorang yang bernama Ashim bin Ubaidillah. Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata dalam At-Taqrib, “Dia lemah”. Al-Hafizh juga menyebutkan dalam At-Tahdzib (5/42), Syu’bah berkata, “Andaikan Ashim ditanya, “Siapakah yang membangun Masjid Bashrah, niscaya ia akan menjawab, “Fulan dari fulan dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau telah membangunnya”. Ini untuk menggambarkan rowi ini mudah meriwayatkan hadits, tanpa memperhatikan hadits yang ia riwayatkan sehingga ia banyak menyelisihi orang yang lebih tsiqoh.

Adz-Dzahaby berkata dalam Al-Mizan(2/354), “Abu Zur’ah dan Abu Hatim berkata: Ashim adalah haditsnya mungkar . Ad-Daruquthny berkata: Ia ditinggalkan, orangnya lalai”. Lalu ia membawakan hadits hadits Abu Rofi’, “Bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengadzani telinga Al-Hasan dan Al-Husain”.Ringkasnya, hadits ini dho’if (lemah) karena masalahnya ada pada Ashim, sedang Anda telah tahu keadaan dirinya.

Hadits Kedua

Adapun hadits kedua dari Ibnu Abbas , diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman (6/8620) dari Muhammad bin Yunus dari Al-Hasan bin Amer bin Saif As-Sadusy, ia berkata, Al-Qosim bin Muthoyyib telah menceritakan kami dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu Ma’bad dari Ibnu Abbas:”Bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- adzan di telinga Al-Hasan bin Ali pada hari ia dilahirkan, di telinga kanannya. Beliau melakukan iqomat pada telinga kirinya”.

Setelah itu, Al-Baihaqiy berkata: “Pada sanadnya terdapat kelemahan”.Kami katakan, “Bahkan hadits ini palsu. Penyakitnya ada pada Al-Hasan bin Amer . Al-Hafizh berkata dalam At-Taqrib, “Orangnya matruk/ditinggalkan”. Ibnu Abi Hatim berkata dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil(1/2/26), biografi (no.109), “Saya pernah mendengarkan bapakku berkata: “Kami pernah melihat Al-Hasan bin Amer di Bashrah, dan kami tak menulis hadits darinya, sedang dia itu ditinggalkan haditsnya”. Adz-Dzahaby berkata dalam Al-Mizan, “Al-Hasan bin Amer dikatakan pendusta oleh Ibnul Madiny. Al-Bukhariy berkata, “Dia pendusta”. Ar-Rozy berkata, “Dia ditinggalkan”.”.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, diantara kaedah-kaedah Ilmu Mushtholah Hadits bahwa hadits dho’if (lemah) tak akan bisa meningkat menjadi hadits shohih atau hasan, kecuali ia datang dari jalur periwayatan yang lain, dengan syarat: Tak ada orang yang parah ke-dho’if-annya/kelemahannya dalam jalur tersebut, apalagi sampai ada pendusta. Jadi, hadits kedua dari Ibnu Abbas ini -sedang kondisinya begini- tetap kedudukannya sebagai hadits dho’if dan tidak bisa dijadikan hujjah. Di antara konsekuensi ilmu hadits, hadits Ibnu Abbas tersebut tidak bisa dijadikan sebagai penguat bagi hadits Abu Rofi’. Jadi, hadits Abu Rofi’ tetap kedudukannya sebagai hadits dho’if, sedang hadits Ibnu Abbas adalah palsu!!

Hadits Ketiga

Adapun hadits Al-Hasan bin Ali, hadits ini diriwayatkan oleh Yahya ibnul Ala’ dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin Ubaidillah dari Al-Hasan bin Ali, ia berkata: Bersabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Barang siapa yang dikaruniai seorang anak, lalu ia mengadzani pada telinga kanannya dan beriqomat pada telinga kirinya, niscaya anak itu tak akan dimudhorotkan/dibahayakan oleh Ummu Shibyan”. [HR. Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (6/390) , Ibnus Sunnidalam Amal Al-Yaum wa Al-Lailah(623). Hadits ini dibawakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma’’ (4/59) seraya berkata, “HR.Abu Ya’la(6780), di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama Marwan bin Salim Al-Ghifary, sedang ia itu matruk/ditinggalkan”.

Bahkan hadits Al-Husain bin Ali di atas adalah palsu, di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama Yahya Ibnul Ala’ dan Marwan bin Salim, keduanya memalsukan hadits sebagaimana hal ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albany dalamSilsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (321). Nah, Hadits Abu Rofi’ tetap kondisinya sebagai hadits dho’if sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafizh dalam At-Talkhish (4/149): “Inti permasalahannya pada Ashim bin Ubaidillah, sedang ia itu dho’if.”

Dulu Syaikh Al-Albany meng-hasan-kan hadits ini dalam Shohih Sunan At-Tirmidzy (1224), Shohih Sunan Abu Dawud (4258), Al-Irwa’ (4/401), dan Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (1/493). Namun belakangan Syaikh Al-Albany meralat peng-hasan-an beliau terhadap hadits Abu Rofi’ (hadits pertama) dalam Adh-Dho’ifah pada cetakan terakhir yang diterbitkan oleh Maktabah Al-Ma’arif (1/494/no.321), “Sekarang saya tegaskan –sekalipun kitab Asy-Syu’ab telah dicetak-, bahwa hadits Ibnu Abbas tidak cocok untuk dijadikan penguat (bagi hadits Abu Rofi’-pent.), karena di dalamnya terdapat rawi pendusta dan matruk (ditinggalkan). Saya amat heran terhadap Al-Baihaqy dan Ibnul Qoyyim, bagaimana keduanya cuma men-dho’if-kan hadits tersebut sehingga saya hampir memastikan cocoknya hadits itu dijadikan sebagai penguat. Makanya, sekarang aku pandang diantara kewajiban saya untuk mengingatkan hal itu dan mentakhrijnya pada pembahasan akan datang (no. 6121)”.

Disana ada sebuah hadits yang diriwayatkan di dalam kitab Manaqib Al-Imam Ali (113) dari Ibnu Umar secara marfu’. Cuma sayangnya hadits ini lagi-lagi tidak bisa dijadikan penguat karena di dalamnya ada pendusta.

Jadi, tiga hadits di atas tidak boleh dijadikan hujjah dalam menetapkan sunnahnya meng-adzan-i, dan meng-iqomat-i telinga bayi yang baru lahir, karena kelemahan dan kepalsuannya.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 2 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp)

Hukum Donor Darah

Hukum mendonorkan darah adalah boleh dengan syarat dia tidak boleh menjual darahnya, karena Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda dalam hadits Ibnu Abbas -radhiyallahu anhuma-:
إِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ, حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ

Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sebuah kaum untuk memakan sesuatu maka Allah akan haramkan harganya.”

Sedangkan darah termasuk dari hal-hal yang dilarang untuk memakannya, sehingga harganya pun (baca: diperjual belikan) diharamkan.
Adapun jika yang membutuhkan darah memberikan kepadanya sesuatu sebagai balas jasanya, maka boleh bagi sang pendonor untuk mengambilnya, tapi dengan syarat, dia tidak memintanya sebelum dan sesudah donor, tidak mempersyaratkannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara jelas maupun dengan isyarat, baik secara zhohir maupun batin. Kapan dia melaksanakan salah satu dari perkara-perkara di atas, maka haram baginya untuk menerima pemberian dari orang tersebut.

Adapun orang yang membutuhkan darah, sementara dia tidak mendapatkan darah yang gratis, maka boleh baginya membeli darah dari orang lain –karena darurat-, sedangkan dosanya ditanggung oleh yang menjualnya. Wallahu A’lam.
Ini adalah rincian dari Syaikh Abdurrahman bin Mar’i Al-Adani sebagaimana dalam Syarhul Buyu’ min Kitab Ad-Durori hal. 14.

Syaikh Zaid bin Muhammad Al-Madkhali menjawab ketika ditanya dengan pertanyaan di atas, “Jika maslahat pasti terhasilkan, dan tidak timbul mudharat yang parah pada dirinya ketika darahnya dihisap, maka tidak ada larangan untuk mendonorkannya dan di dalamnya ada pahala yang besar, dengan dalil AL-Kitab dan As-Sunnah, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa yang berbuat kebaikan walaupun sekecil semut maka dia akan melihat (pahala)nya, dan barangsiapa yang beramal dengan kebaikan walaupun
sekecil semut niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Juga sebagaimana Nabi -shallallahu alaihio wasallam bersabda, “Allah senantiasa menolong hambanya selama hamba itu menolong saudaranya”.
Akan tetapi, tidak boleh menjual darahnya dan memakan hasilnya, wallahu A’lam. Lihat Al-’Aqdil Mandhid hal. 340.

Adapun memasukkan darah ke tubuh orang lain, maka itu adalah haram, karena dia termasuk ke dalam perbuatan memakan darah, sementara Allah -’Azza wa Jalla- berfirman,

Diharamkan atas kalian (untuk memakan) bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih untuk selain Allah.” (Al-Ma`idah: 3)

Akan tetapi jika keadaannya mendesak dan darurat, sehingga bisa membahayakan nyawa pasien jika dia tidak diberi darah, maka hal itu dibolehkan sesuai dengan kadar yang dibutuhkan. Ini terambil dari dua kaidah yang masyhur di kalangan ulama: Hal yang darurat membolehkan dikerjakannya hal-hal yang dilarang (Adh-Dhoruroh tubihul mahzhuroh), dan hal yang darurat dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan (Adh-Dhoruroh tuqaddaru biqadariha).
Ini merupakan kesimpulan dari fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah dan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Mar’i Al-Adani, sebagaimana bisa dilihat dalam Syarhul Buyu’ min Kitab Ad-Durori hal. 14.

Ust. Hammad Abu Mu’awiyah

Minggu, Desember 13, 2009

Sebab-Sebab Tertolaknya Doa

Di antara sebab-sebab tertolaknya doa adalah sebagai berikut:

Sebab pertama: Bergampangan dalam hal yang haram, baik dalam hal makanan, minuman, pakaian, dan pemberian makan. [1]

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kaum mukminin dengan perintah yang juga Dia tujukan kepada para rasul, “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[2] dan Dia juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”[3] Kemudian beliau menyebutkan seseorang yang letih dalam perjalanannya, rambutnya berantakan, dan kakinya berpasir, seraya dia menengadahkan kedua tanganya ke langit dan berkata, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dia diberi makan dari yang haram, maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan.”[4]

Ada yang mengatakan -sebagaimana yang Ibnu Rajab -rahimahullahu Ta’ala- katakan- tentang makna hadits ini: Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang thayyib (baik) lagi thahir (suci) dari semua perkara yang bisa merusaknya seperti riya` dan ujub, dan Dia juga tidak menerima harta kecuali yang thayyib lagi halal, karena sifat ‘thayyib’ bisa menjadi sifat bagi amalan, ucapan, dan keyakinan.[5] Yang dimaksudkan di sini adalah bahwa para rasul beserta umat mereka diperintahkan untuk memakan makanan yang thayyib dan menjauh dari semua yang khabits (jelek) lagi haram. Kemudian Nabi -alaihishshalatu wassalam- menyebutkan di akhir hadits akan mustahilnya doa dikabulkan tatkala pelakunya bergampangan dalam hal yang haram, baik dalam hal makanan, minuman, pakaian, dan pemberian makan. Karenanya para sahabat dan orang-orang saleh lainnya sangat bersemangat untuk hanya makan dari makanan yang halal dan mereka sangat menjauhi semua yang haram. Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata, “Dulu Abu Bakar mempunyai seorang budak lelaki yang bekerja menghasilkan uang untuknya dan Abu Bakar makan dari hasil kerjanya (arab: al-kharaj)[6]. Maka pada suatu hari dia datang membawa makanan lalu Abu Bakar memakannya, kemudian budaknya itu berkata, “Apakah kamu tahu apa ini?” Abu Bakar bertanya, “Apa ini?” dia menjawab, “Dulu saya pernah mendukuni seseorang pada zaman jahiliah padahal saya tidak paham mengenai perdukunan, hanya saja yang menipunya lalu dia memberikan ini kepada saya, dan itu adalah apa yang kamu makan.” Maka Abu Bakar segera memasukkan tangannya[7] lalu dia memuntahkan semua isi perutnya.”[8] Diriwayatkan dalam sebuah riwayat Abu Nuaim dalam Al-Hilyah dan Ahmad dalam Az-Zuhud, “Maka dikatakan kepada Abu Bakar, “Semoga Allah merahmatimu, apakah kamu harus melakukan semua itu hanya karena sesuap makanan tadi?” beliau menjawab, “Seandainya dia tidak bisa keluar kecuali harus bersamaan dengan keluarnya nyawaku niscaya aku akan mengeluarkannya. Saya mendengar Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari hal yang haram maka neraka lebih pantas baginya.” Karenanya saya khawatir kalau suapan tadi menumbuhkan daging dalam jasadku.”[9]

Dalam hadits di atas disebutkan bahwa laki-laki tersebut terlalu bergampangan dalam memakan sesuatu yang haram, padahal dia telah memenuhi empat sebab dari sebab-sebab terkabulnya doa:

Sebab pertama: Sedang safar, kedua: Adanya kerendahan dalam pakaian dan penampilan. Karenanya Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Betapa banyak orang yang asy’ats (rambutnya berantakan)[10] dan diusir dari pintu-pintu rumah, akan tetapi seandainya dia bersumpah sesuatu atas nama Allah niscaya Allah akan memenuhi sumpahnya.”[11] Sebab ketiga: Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit, Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Malu lagi Maha Pemurah, Dia malu kepada hamba-Nya jika dia mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lantas Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong lagi sia-sia.”[12] Sebab keempat: Al-ilhah (betul-betul mengharap) kepada Allah dengan mengulangi-ulangi penyebutan rububiah-Nya, dan ini merupakan sebab terbesar dikabulkannya doa. Akan tetapi bersamaan dengan semua sebab di atas, Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan.” Ini adalah pertanyaan yang diajukan untuk menyatakan keheranan dan mustahilnya sesuatu tersebut.[13]

Maka wajib atas setiap muslim untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala dari semua maksiat dan dosa, dan hendaknya dia meminta kehalalan dari setiap kezhaliman yang dia lakukan kepada pemiliknya, agar dia bisa selamat dari penghalang besar ini, yang menghalangi doanya dikabulkan.

Sebab kedua: Terburu-buru lalu menghentikan berdoa.

Di antara penghalang dikabulkannya doa adalah seorang tergesa-gesa (yakni menganggap doanya sudah tidak dikabulkan, pent.) sehingga diapun menghentikan berdoa hanya karena pengabulannya diundurkan oleh Allah.[14] Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- menyatakan amalan ini sebagai salah satu dari sebab-sebab tertolaknya doa, agar hamba tidak berhenti berharap kepada-Nya agar doanya dikabulkan sampai kapanpun, karena Allah Subhanahu mencintai orang-orang yang sangat berharap dalam berdoa.[15]

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata: Sesungguhnya Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Doa salah seorang di antara kalian pasti akan dikabulkan selama dia tidak tergesa-gesa, yaitu dia mengatakan: Saya sudah berdoa akan tetapi belum dikabulkan.”[16]

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda, “Terus-menerus akan dikabulkan doa seorang hamba selama dia tidak berdoa untuk perbuatan dosa atau memutus silaturahmi, dan selama dia tidak tergesa-gesa.” Maka ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, bagaimana perbuat tergesa-gesa itu?” beliau menjawab, “Dia berkata: Saya telah berdoa dan saya telah berdoa akan tetapi kelihatannya doaku belum dikabulkan,” maka setelah itu dia pun putus asa[17] dan menghentikan berdoa.”[18]

Maka hendaknya seorang hamba tidak tergesa-gesa menyatakan kalau doanya tidak dikabulkan, karena Allah terkadang mengundurkan pengabulan doa dengan beberapa alasan: Apakah karena syarat-syaratnya tidak terpenuhi, ataukah dia melakukan sesuatu yang menghalangi terkabulnya doa, ataukah sebab-sebab lainnya yang merupakan maslahat bagi sang hamba sementara dia tidak menyadarinya[19]. Karenanya jika seorang hamba merasa doanya belum dikabulkan maka hendaknya dia memeriksa dirinya dan segera bertaubat kepada Allah Ta’ala dari semua dosa, maka dia pasti akan bergembira dengan kebaikan yang segera datang maupun yang datang belakangan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”[20] Maka selama hamba betul-betul berharap dan ingin doanya dikabulkan tapi juga tidak memastikannya, niscaya doanya akan segera dikabulkan. Dan barangsiapa yang terus-menerus mengetuk maka pasti dia akan dibukakan pintu.[21]

Terkadang pengabulan sebuah doa diundur dalam jangka waktu yang sangat lama, sebagaimana Allah Subhanahu mengabarkan tentang diundurkannya pengabulan doa Ya’qub tatkala dia berdoa agar Yusuf anaknya dikembalikan kepadanya, padahal beliau adalah seorang nabi yang mulia. Juga sebagaimana yang Allah kabarkan mengenai diundurkannya pengabulan doa nabinya Ayyub -alaihishshalatu wassalam- tatkala dia berdoa agar penyakitnya disembuhkan. Terkadang Allah memberikan kepada orang yang berdoa itu sesuatu yang lebih baik daripada apa yang dia minta, dan terkadang dia dihindarkan dari sebuah kejelekan yang mana itu lebih utama daripada apa yang dia minta.[22]

Sebab ketiga: Mengerjakan maksiat dan hal yang diharamkan.

Melakukan maksiat juga bisa menjadi sebab tertolaknya doa.[23] Karenanya sebagian ulama salaf ada yang mengatakan, “Jangan kamu heran jika pengabulan doamu terlambat, karena telah menutupi jalan datangnya dengan kemasiatan.” Ucapan ini kemudian dikutip oleh sebagian penyair:

“Kita berdoa kepada sang Sembahan pada setiap kesulitan, kemudian kita melupakan Dia ketika kesulitan tersebut sudah hilang. Bagaimana bisa kita mengharapkan terkabulnya sebuah doa, sementara kita telah menutupi jalan datangnya dengan dosa-dosa.”[24]

Tidak diragukan bahwa kelalaian dan terjatuh ke dalam syahwat yang diharamkan adalah termasuk dari sebab-sebab diharamkannya seseorang mendapatkan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman, Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.[25]

Sebab keempat: Meninggalkan kewajiban yang telah Allah wajibkan.

Sebagaimana mengerjakan ketaatan merupakan sebab dikabulkannya doa, maka demikian halnya meninggalkan kewajiban adalah salah satu dari sebab-sebab tidak terkabulnya doa.[26] Dan hal ini sudah disinyalir oleh Nabi -shallallahu alaihi wasallam-. Dari Huzaifah -radhiallahu anhu- dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- beliau bersabda, “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian harus betul-betul memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, kalau tidak maka betul-betul dikhawatirkan Allah akan menjatuhkan kepada kalian semua siksaan dari-Nya, kemudian kalian berdoa kepada-Nya akan tetapi Dia tidak mengabulkannya.”[27]

Sebab kelima: Berdoa untuk maksiat atau untuk memutuskan silaturahmi.

Sebab keenam: Hikmah dari Allah sehingga terkadang Dia memberikan sesuatu yang lebih utama daripada apa yang dia minta.

Dari Abu Said -radhiallahu anhu- dia berkata bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa dengan satu doa kepada Allah, yang mana doanya tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturahmi, kecuali karenanya Allah akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga perkara: Akan disegerakan pengabulan doanya, ataukah akan disimpankan untuknya di akhirat, ataukah akan dihindarkan darinya kejelekan yang semisalnya.” Mereka (para sahabat) berkata, “Kalau begitu kami akan memperbanyak doa,” maka beliau bersabda, “Allah akan lebih banyak lagi memberikan.”[28] Maka terkadang seseorang itu mengira kalau doanya belum dikabulkan padahal doanya telah dikabulkan dengan sesuatu yang lebih banyak daripada apa yang dia minta, atau dia dihindarkan dari berbagai musibah dan penyakit yang mana itu lebih utama daripada apa yang dia minta, ataukah Allah mengundurkan pengabulan doanya sampai ke hari kiamat.[29]


[1] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam: 1/277

[2] QS. Al-Mukminun: 51

[3] QS. Al-Baqarah: 172

[4] HR. Muslim no. 1015

[5] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam: 1/259

[6] Yakni: Dia membawakan Abu Bakar hasil usahanya. Al-kharaj adalah semacam pungutan yang diwajibkan tuan kepada budaknya yang dia harus setorkan dari usahanya. Lihat Al-Fath: 7/154

[7] Maka Abu bakar segera memasukkan tangannya, yakni: Dia memasukkannya ke dalam tenggorokannya.

[8] HR. Al-Bukhari no. 3842 dan dengan Al-Fath: 7/149

[9] HR. Abu Nuaim dalam Al-Hilyah: 1/31 dan Ahmad dalam Az-Zuhud dengan lafazh semakna dengannya hal. 164. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ dari hadits Jabir riwayat Ahmad, Ad-Darimi, dan Al-Hakim. Lihat Shahih Al-Jami’: 4/172

[10] Al-asy’ats adalah yang berantakan rambutnya, yang berdebu, tidak memakai minyak, lagi tidak disisir.

[11] HR. Muslim no. 2622

[12] HR. Abu Daud: 2/78 no. 1488, At-Tirmizi: 5/557, Ibnu Majah: 2/1271, dan Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah: 5/185. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi: 3/179 dan Shahih Ibnu Majah no. 3865

[13] Jami’ِ Al-Ulum wa Al-Hikam: 1/269-275

[14] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam: 2/403

[15] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam: 2/403

[16] HR. Al-Bukhari no. 6340 dan Muslim no. 2735

[17] Makna berputus asa (arab: yastahsir) adalah berhenti berdoa. Di antara contoh penggunaannya adalah firman Allah Ta’ala, “Mereka (para malaikat) tidak bersombong dari beribadah kepada-Nya dan tidak pula mereka berputus asa,” yakni: Mereka tidak menghentikannya. Lihat Syarh An-Nawawi dan Al-Fath: 11/141

[18] HR. Muslim: 4/2096

[19] Yakni: Mungkin yang terbaik saat itu baginya adalah doanya tidak segera dikabulkan, karena jika segera dikabulkan maka akan menimbulkan mudharat baginya. (pent.)

[20] QS. Al-A’raf: 56

[21] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam: 2/404

[22] Lihat Majmu’ Fatawa Al-Allamah Ibnu Baaz: 1/261, kumpulan Ath-Thayyar

[23] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam: 1/275

[24] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam: 1/377, dan lihat juga Mustadrak Al-Hakim: 2/302 dan Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1805

[25] QS. Ar-Ra’d: 11

[26] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam: 1/275

[27] HR. At-Tirmizi: 4/468 -dan dia nyatakan sebagai hadits yang hasan- no. 2169, Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah: 14/345, dan Ahmad: 5/388. Lihat Shahih Al-Jami’ 6/97 no. 6947. Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Aisyah -radhiallahu anha- secara marfu’, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah -Tabaraka wa Ta’ala- berfirman kepada kalian: Perintahkanlah kepada yang ma’ruf dan laranglah dari yang mungkar, sebelum kalian berdoa kepada-Ku maka Aku tidak akan mengabulkannya, kalian meminta kepada-Ku maka Aku tidak akan memberi kalian, dan kalian meminta pertolongan kepada-Ku maka Aku tidak akan menolong kalian.” HR. Ahmad: 6/159. Lihat Al-Majma’: 7/266

[28] HR. Ahmad dalam Al-Musnad: 3/18, dan takhrijnya telah berlalu pada hal. 20 (kitab asli, pent.)

[29] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz: 1/258-268, kumpulan Ath-Thayyar.

[Diterjemah dari Syurut Ad-Du'a wa Mawani' Al-Ijabah hal. 17-21 karya Said bin Wahf Al-Qahthani, dengan sedikit perubahan]

ADAB-ADAB MELAMAR PINANGAN


Pelamaran adalah semua perbuatan yang dilakukan yang bertujuan untuk melangsungkan pernikahan. Karenanya, sebelum terjun membicarakan tentang adab-adab melamar, maka ada baiknya jika kita menyebutkan beberapa dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah yang menunjukkan keutamaan pernikahan yang sekaligus menunjukkan keutamaan melamar, karena tidak mungkin ada pernikahan kecuali didahului oleh proses pelamaran.

Ada beberapa dalil dari Al-Qur`an yang menunjukkan keutamaan pernikahan, di antaranya:

  • Surah Ar-Rum ayat 21.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum: 21)

Surah Ar-Ra’d ayat 38.

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mu`jizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. (QS. Ar-Ra’d: 38)

  • Surah Ali ‘Imran ayat 38.

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاء

“Di sanalah Zakariya mendo`a kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do`a”. (QS. Ali-‘Imran: 38)

  • Surah Al-Furqan ayat 54.

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاء بَشَراً فَجَعَلَهُ نَسَباً وَصِهْراً وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيراً

“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa”. (QS. Al-Furqan: 54)

Adapun sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka telah datang dari beberapa orang sahabat, di antaranya:

1. Hadits Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-.

Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada tiga orang sahabat yang mau memfokuskan untuk beribadah dan meninggalkan hal-hal yang dihalalkan, di antaranya adalah pernikahan:

“Barangsiapa yang membenci sunnahku maka bukan termasuk golonganku”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

2. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu ‘anhu-. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah memiliki kemampuan maka hendaknya dia menikah, karena hal tersebut lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa adalah benteng baginya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

Beberapa perkara penting sebelum pelamaran

Sebelum melakukan pelamaran, seorang lelaki hendaknya memperhatikan beberapa perkara berikut sebelum menentukan wanita mana yang hendak dia lamar. Hal ini selain berguna untuk melancarkan proses pelamaran nantinya, juga bisa mencegah terjadinya perkara-perkara yang tidak diinginkan antara kedua belah pihak.

Berikut penyebutan perkara-perkara tersebut:

1. Tidak boleh melamar wanita yang telah lebih dahulu dilamar oleh saudaranya sesama muslim.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:

“Tidak boleh seorang lelaki melamar di atas lamaran saudaranya”1.

Dalam sebuah riwayat:

“Kecuali jika pelamar pertama meninggalkan lamarannya atau dia (pelamar pertama) mengizinkan dirinya”2.

Batasan dari larangan ini adalah kapan diketahui bahwa pelamar pertama telah meridhoi (baca: setuju dengan) wanita tersebut dan demikian pula sebaliknya maka tidak boleh bagi orang lain untuk melamar wanita tersebut. Jika tidak diketahui hal itu atau bahkan diketahui bahwa salah satu pihak tidak meridhoi pihak lainnya maka boleh ketika itu orang lain untuk melamar wanita tersebut. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada sahabiyah Fathimah bintu Qois, tatkala dia sudah lepas dari ‘iddah thalaqnya, maka Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm bersamaan melamarnya3.

Catatan: Sebagian ulama membolehkan seseorang melamar wanita yang telah dilamar jika pelamar pertama adalah orang fasik atau ahli bid’ah, wallahu A’lam.

2. Hendaknya masing-masing baik pihak pria maupun wanita memperhatikan hal-hal berikut:

(a). Kesholehan. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

“Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah wanita yang bagus agamanya”.

Karenanya, hendaknya dia memilih wanita yang taat kepada Allah dan bisa menjaga dirinya dan harta suaminya baik ketika suaminya hadir maupun tidak. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tatkala beliau ditanya tentang wanita yang paling baik:

“Wanita yang taat jika disuruh, menyenangkan jika dilihat, serta yang menjaga dirinya dan harta suaminya”4.

Bahkan Allah -Ta’ala- berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً


“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An-Nisa`: 34)

Qonitat, Sufyan Ats-Tsaury -rahimahullah- berkata, “Yakni wanita-wanita yang mentaati Allah dan mentaati suami-suami mereka”5.

Dan Imam Qotadah bin Di’amah berkata menafsirkan “hafizhotun …”,

“Wanita-wanita yang menjaga hak-hak Allah yang Allah bebankan atas mereka serta wanita-wanita yang menjaga (dirinya) ketika suaminya tidak ada di sisinya”6.

Karenanya pula dilarang menikah dengan orang yang yang tidak menjaga kehormatannya, yang jika pasangannya tidak ada di sisinya dia tidak bisa menjaga kehormatannya, semacam pezina (lelaki dan wanita) atau wanita yang memiliki PIL (pria idaman lain) dan sebaliknya. Imam Al-Hasan Al-Bashry -rahimahullah- berkata:

“Tidak halal bagi seorang muslim (untuk menikahi) al-musafahah7 dan dzati khadanin 8″9.

‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash -radhiallahu ‘anhuma- berkata:

“Sesungguhnya Abu Martsad Al-Ghanawy -radhiallahu ‘anhu- datang menemui Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meminta izin kepada beliau untuk menikahi seorang wanita pezina yang dulunya wanita itu adalah temannya saat jahiliyah yang bernama ‘Anaq. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- diam lalu turunlah firman Allah – Ta’ala-, ["Pezina wanita, tidak ada yang boleh menikahinya kecuali pezina laki-laki atau musyrik laki-laki"10]. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memanggilnya lalu membacakan ayat itu kepadanya dan beliau bersabda, ["Jangan kamu nikahi dia"]11.

Demikian pula dibenci menikahi orang yang fasik atau ahli bid’ah, berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits Abu Hurairah di atas.

(b). Subur lagi penyayang, karenanya dibenci menikah dengan lelaki atau wanita yang mandul. Dari hadits Ma’qil bin Yasar -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:

“Pernah datang seorang lelaki kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu berkata,”Saya menyenangi seorang wanita yang memiliki keturunan yang baik lagi cantik hanya saja dia tidak melahirkan (mandul), apakah saya boleh menikahinya?”, beliau menjawab, ["tidak boleh"]. Kemudian orang ini datang untuk kedua kalinya kepada beliau (menanyakan soal yang sama) maka beliau melarangnya. Kemudian dia datang untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ["Nikahilah wanita-wanita yang penyayang lagi subur, karena sesungguhnya saya berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat"]12.

An-Nasa`iy -rahimahullah- memberikan judul bab untuk hadits ini dengan ucapannya, “Bab: Makruhnya menikahi orang yang mandul”.

(c). Hendaknya memilih wanita yang masih perawan. Hal ini berdasarkan Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhu- bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepadanya, “Wanita apa yang kamu nikahi?”, maka dia menjawab, “Saya menikahi seorang janda”, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

“Tidakkah kamu menikahi wanita yang perawan?! yang kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu?!”13.

d. ???

3. Hendaknya wali dari seorang wanita menikahkan walinya dengan lelaki yang sebaya dengannya, maka janganlah dia menikahkan wanita yang masih muda dengan lelaki yang sudah berumur. Dari Buraidah ibnul Hushoib -radhiallahu ‘anhu- beliau berkata, “Abu Bakr dan ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- pernah melamar Fathimah (anak Nabi), maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

“Sesungguhnya dia masih muda”.

Kemudian Fathimah dilamar oleh ‘Ali maka beliau (Nabi) menikahkannya”14.

4. Boleh bagi seorang lelaki untuk menawarkan putrinya atau saudarinya atau wanita yang ada di bawah perwaliannya kepada seorang lelaki yang sholih.

Akan datang keterangannya di awal bab setelah ini.

5. Hendaknya wali seorang wanita menikahkan wanita yang dia wakili dengan lelaki yang baik dan tampan, dan dia tidak menikahkannya dengan orang yang jelek kecuali dengan seizin wanita tersebut. Imam Ibnul Jauzy -rahimahullah- berkata,

“Disunnahkan bagi orang yang akan menikahkan putrinya untuk mencari pemuda yang indah rupanya, karena wanita juga menyenangi apa yang disenangi oleh lelaki (berupa keindahan wajahpent.)” 15.

Demikian pula dia jangan menikahkan putrinya kepada orang yang diduga kuat tidak akan memenuhi kewajibannya berupa memberi nafkah kepada keluarganya. Sebagaimana ketidaksetujuan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala Fathimah bintu Qois dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan:

“Adapun Mu’awiyah, maka dia adalah lelaki yang sangat miskin lagi tidak mempunyai harta sama sekali”.

Demikian halnya jika yang melamar anaknya adalah seorang yang dianggap tidak baik pergaulannya dalam berkeluarga, sebagaimana komentar Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap Abu Jahm yang juga melamar Fathimah bintu Qois:

“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah orang yang sering memukuli istrinya”16.

6.

(Sumber : www.al-atsariyyah.com versi pdf dan disusun kembali untuk http://kaahil.wordpress.com)

Catatan :

1 HR. Al-Bukhary (3/373-Al-Fath)

2 HR. Al-Bukhary (3/373- Al-Fath) dari hadits Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma-

3 Kisahnya diriwayatkan oleh Imam Muslim (3/1114) dan (4/2261).

4 Hadits shohih riwayat Imam Ahmad (4/341).

5 Riwayat Ibnu Jarir dalam Tafsirnya (5/38) dengan sanad yang shohih.

6 Riwayat Ibnu Jarir dalam Tafsirnya (5/39) dengan sanad yang shohih.

7 Al-Musafahah adalah pezina wanita.

8 Dzatul Khadanin adalah wanita yang mempunyai pacar atau teman dekat (TTM).

9 Dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur dalam As-Sunan (5/8) dengan sanad yang shohih.

10 QS. An-Nur ayat 3

11 Diriwayatkan oleh Imam Empat kecuali Ibnu Majah dengan sanad yang hasan.

12 HR. Abu Daud (2050) dan An-Nasa`iy (6/65).

13 HR. Al-Bukhary (3/240) dan Muslim (2/1078)

14 HR. An-Nasa`iy (6/62) dengan sanad yang hasan.

15 Ahkamun Nisa` hal. 203. Dan telah diriwayatkan sebuah atsar dari ‘Umar bin Khoththob dalam masalah ini, hanya saja dalam sanadnya ada kelemahan.

16 Hadits ini dan sebelumnya dari hadits Fathimah bintu Qois riwayat Muslim (2/1114) dan (4/2261).

Jumat, Desember 11, 2009

DENGAN ZUHUD JADIKAN DUNIA DITANGAN,BUKAN DIHATI

Siapakah yang lebih baik dalam hal agama daripada orang yang memasrahkan dirinya kepada Allah dan dia adalah orang yang berbuat baik lagi pula ia sepenuh hati mengikuti agama Ibrahim yang lurus (hanif)
(Q.S. An-Nisaa [4]: 125).

Allah menjadikan hidup ini sebagai ujian. Hal ini dapat dilihat dari firman-Nya dalam surat Yunus [10] ayat 7 dan surat al-Mulk [67] ayat 2. Berdasarkan dua ayat ini, kita bisa mengetahui bahwa Allah menjadikan hidup ini sebagai ujian dengan tujuan apakah manusia dapat mengisi hidupnya dengan amalan-amalan yang baik. Manusia yang berhasil menjadi manusia yang paling baik adalah mereka paling paling taat kepada-Nya.

Hidup memang sebuah ujian, hanya orang-orang yang benar-benar teguh iman saja yang dapat melewati ujian ini dengan baik. Mereka adalah orang-orang yang tidak tertipu oleh kilauan nikmat dunia yang begitu menggoda, orang-orang yang memahami hakikat kehidupan dunia ini sesuai dengan apa yang telah Allah dan Rasul-Nya ajarkan. Mereka memndang dunia dan seisinya ini tak lebih dari sebuah permainan yang seringkali melalaikan, mereka tidak berbangga hati dan sombong dengan harta kekayaan dan anak yang di miliki. Jika dalam diri mereka telah tertanam sifat-sifat tersebut, maka mereka adalah orang-orang yang zuhud.

Zuhud merupakan sifat yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang yang mengaku mukmin. Zuhud juga hendaknya menjadi gaya hidup umat muslim kapan dan di manapun ia berada. Zuhud bukanlah meninggalkan kenikmatan dunia, bukan berarti mengenakan pakaian yang lusuh, dan bukan berarti miskin. Zuhud juga bukan berarti hanya duduk di masjid, beribadah dan beribadah saja tanpa melakukan kegiatan-kegaitan lainnya. Zuhud adalah kemampuan kita dalam menjaga hati dari godaan serta tipu daya kemewahan dunia tanpa meninggalkannya. Dengan pengertian yang lebih luas, zuhud merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi; mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan hatinya dan tidak membuatnya meninggalkan Allah sedetik-pun. Kita beramal shalih, memakmurkan bumi dan bermuamalah, namun di saat yang sama hati kita tidak tertipu. Kita meyakini sepenuhnya bahwa kehidupan akhiratlah yang menjadi tujuan utama.

Melalui sebuah hadits singkat Rasulullah SAW telah memberikan panduan bagi orang-orang yang beriman dalam menghadapi kehidupan dunia: "Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau musafir.' (H.R. Bukhari). Rasul tidak hanya memberi perintah, melainkan Beliau juga mencontohkan langsung kepada umatnya bagaimana cara hidup di dunia, yakni setiap gerak langkah selalu bermuara pada harapan akan keridhaan Allah. Semua orang sepakat bahwa Beliau SAW adalah sosok yang paling rajin bekerja dan beramal shalih. Tak ada seorangpun yang mampu menandingi semangat beliau dalam menjalankan ibadah, padahal Alah sudah menjamin Beliau masuk surga. Di medan perang, beliau adalah orang yang gigih berjihad, senantiasa mendampingi pasukan, dan bahkan berada di garis depan. Tidak hanya duduk di belakang meja memberi perintah. Yang paling mengagumkan adalah kehidupan beliau yang begitu sederhana dan bersahaja.

Suatu ketika Ibnu Mas'ud r.a. melihat Rasulullah tidur di atas tikar yang lusuh sampai-sampai pola anyaman tikar membekas di pipinya. Lalu Ibnu Mas'ud menawarkan kepada beliau sebuah kasur. Apa jawaban rasul? "Untuk apa dunia itu! Hubungan saya dengan dunia seperti pengendara yang mampir sejenak di bawah pohon, lalu pergi dan meninggalkannya." (HR Tirmidzi).

Kesederhanaan hidup Rasul ini benar-benar dicontoh oleh para sahabatnya. Abu Bakar ash-Shiddiq, Usman bin Affan dan Abdurrahman Bin Auf hanya segelintir contoh sahabat Rasul yang memiliki kekayaan melimpah, namun hanya sedikit dari kekayaan itu yang mereka nikmati sendiri. Sebagian besarnya mereka gunakan bagi kepentingan dakwah, jihad fii sabilillah dan menolong kaum muslimin. Bahkan Abu Bakar pernah memanjatkan do'a kepada Allah: "Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami." Selain itu, sembilan dari sepuluh sahabat Nabi yang telah dijamin masuk surga adalah termasuk orang-orang yang kaya raya. Tapi di saat yang sama mereka pun zuhud, tidak membangga-banggakan harta kekayaannya. Mereka rajin bersedekah baik untuk orang-orang miskin maupun untuk kepentingan dakwah.

Teladan-teladan kehidupan sederhana dan bersahaja seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat itu sudah sangat jarang kita temukan di zaman sekarang ini. Sebagian besar umat Islam kini telah terjebak dan terlena oleh manisnya tipu daya dunia, rakus terhadap kehidupan dunia bahkan terkadang rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta kekayaan yang sebenarnya hanya bersifat sementara. Hal semacam itu sama seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat Muhammad ayat 12: Dan oran-orang yang kafir itu bersenang-senang(di dunia) dan mereka makan seperti binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka. (Q.S. Muhammad [47]: 12).

Orang-orang yang memiliki harta lebih, terkadang enggan untuk mengeluarkan hak-hak saudaranya yang terdapat dalam harta kekayaannya tersebut. Kalaupun bersedekah itu hanya sedikit sekali dan itu pun masih disertai dengan perkataan yang mengindikasikan ketidakikhlasan hatinya. Mereka dengan bangga mengatakan semua itu adalah hasil jerih payahnya sendiri.

Lain lagi dengan fenomena yang terjadi di kalangan remaja, gaya hidup hedonis dan glamour sudah melekat kuat dalam diri mereka. Walupun harta kekayaan yang mereka gunakan bukan dari hasil jerih payah sendiri, mereka berbangga dan sombong. Kuliah rasanya tidak keren kalau tidak menggunakan mobil mewah, pakaian dan aksesoris lain yang dikenakan pun tidak mau atau malu jika harganya murah. Kebanyakan dari remaja sekarang lebih bangga hidup dengan gaya kebarat-baratan dimana batasan halal dan haram tidak jadi acuan.

Beberapa contoh tadi setidaknya memberikan gambaran pada kita bahwa kerusakan moral umat Islam saat ini sudah mencapai tahap yang sangat memprihatinkan. Pandangan materi mendominasi pada hampir semua lapangan kehidupan. Gaya hidup kaum muslimin khususnya para remaja nyaris tak sedikitpun mencerminkan sikap Islam apalagi zuhud, bahkan sikap mereka sudah tidak ada bedanya dengan bagaimana orang-orang kafir bersikap. Apabila dikumpulkan antara remaja muslim dan non-muslim di suatu tempat akan sangat sulit bagi kita untuk membedakannya. Masyarakat kita manganggap tolok ukur kesuksesan hanya didasarkan pada sebanyak apa kekayaan yang dimiliki dan semewah apa aksesoris yang digunakan. Maka tidak heran jika masyarakat kita berlomba-lomba menjadi selebriti, menjual diri dan harga diri demi keuntungan materi semata.

Mencintai dunia dan rakus harta adalah penyakit paling berbahaya. Tidak berlebihan jika dikatakan, segala bentuk kejahatan bermuara dari kerakusan terhadap dunia dan gaya hidup materialisme. Seks bebas, penjualan bayi, narkoba, perjudian, riba, KKN, korupsi dan lainnya dan segala bentuk tindakan kriminal selalu bertalian erat dengan kerakusan terhadap harta dan materi. Rasulullah SAW mengingatkan tentang bahayanya: "Dua serigala lapar yang dikirim kepada kambing tidak begitu berbahaya dibanding kerakusan seseorang tehadap harta dan kedudukan." (H.R. Tirmidzi).

Oleh karena itu, merupakan hal yang sangat penting bagi kita untuk sadar dan menyadarkan kembali diri sendiri beserta saudara-saudara kita tentang hakikat dunia dan akhirat. Iman terhadap hari akhir merupakan prinsip yang harus terus-menerus diingatkan dan ditanamkan dalam hati kita, sehingga motivasi dan tujuan hidup kita sesuai dengan nilai-nilai Islam dan dapat memupuk sikap zuhud kita terhadap kehidupan dunia. Sebab dari sinilah ujung pangkal segala kebaikan dan keburukan. Semakin kuat keimanan seseorang kepada hari akhir, maka semakin tenanglah ia memandang kehidupan. Sebaliknya, semakin lemah keimanan seseorang terhadap hari pembalasan, otomatis akan menjadikan ia manusia yang rakus dan mudah tertipu oleh gemerlap keindahan yang ditawarkan oleh dunia.
"ya Allah jadikanlah dunia di tangan kami bukan di hati kami"

Chairul Muslimna