Minggu, Oktober 31, 2010

Hukum-Hukum yang Terkait dengan Hewan Qurban

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin

Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum secara umum yang terkait dengan hewan qurban, untuk melengkapi pembahasan sebelumnya:

1) Menurut pendapat yang rajih, hewan qurban dinyatakan resmi (ta’yin) sebagai أُضْحِيَّةٌ dengan dua hal:

a. dengan ucapan: هَذِهِ أُضْحِيَّةٌ (Hewan ini adalah hewan qurban)
b. dengan tindakan, dan ini dengan dua cara:

Taqlid yaitu diikatnya sandal/sepatu hewan, potongan-potongan qirbah (tempat air yang menggantung), pakaian lusuh dan yang semisalnya pada leher hewan. Ini berlaku untuk unta, sapi dan kambing.

Isy’ar yaitu disobeknya punuk unta/sapi sehingga darahnya mengalir pada rambutnya. Ini hanya berlaku untuk unta dan sapi saja.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

فَتَلْتُ قَلاَئِدَ بُدْنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيَّ ثُمَّ أَشْعَرَهَا وَقَلَّدَهَا

“Aku memintal ikatan-ikatan unta-unta Rasulullah dengan kedua tanganku. Lalu beliau isy’ar dan men-taqlid-nya.” (HR. Al-Bukhari no. 1699 dan Muslim no. 1321/362)

Kedua tindakan ini khusus pada hewan hadyu, sedangkan qurban cukup dengan ucapan. Adapun semata-mata membelinya atau hanya meniatkan tanpa adanya lafadz, maka belum dinyatakan (ta’yin) sebagai hewan qurban. Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum bila hewan tersebut telah di-ta’yin sebagai hewan qurban:

2) Diperbolehkan menunggangi hewan tersebut bila diperlukan atau tanpa keperluan, selama tidak memudaratkannya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang menuntun unta (qurban/hadyu) maka beliau bersabda:

ارْكَبْهَا

“Tunggangi unta itu.” (HR. Al-Bukhari no. 1689 dan Muslim no. 1322/3717)

Juga datang dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu (Al-Bukhari no. 1690 dan Muslim no. 1323) dan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma (HR. Muslim no. 1324). Lafadz hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut:

ارْكَبْهَا بِالْمَعْرُوْفِ إِذَا أُلْجِئْتَ إِلَيْهَا حَتَّى تَجِدَ ظَهْرًا

“Naikilah unta itu dengan cara yang baik bila engkau membutuhkannya hingga engkau mendapatkan tunggangan (lain).”

3) Diperbolehkan mengambil kemanfaatan dari hewan tersebut sebelum/setelah disembelih selain menungganginya.

Seperti:
a. mencukur bulu hewan tersebut, bila hal tersebut lebih bermanfaat bagi sang hewan. Misal: bulunya terlalu tebal atau di badannya ada luka.
b. Meminum susunya, dengan ketentuan tidak memudaratkan hewan tersebut dan susu itu kelebihan dari kebutuhan anak sang hewan.
c. Memanfaatkan segala sesuatu yang ada di badan sang hewan, seperti tali kekang dan pelana.
d. Memanfaatkan kulitnya untuk alas duduk atau alas shalat setelah disamak.

Dan berbagai sisi kemanfaatan yang lainnya. Dasarnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌ

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (Al-Hajj: 36)

4) Tidak diperbolehkan menjual hewan tersebut atau menghibahkannya kecuali bila ingin menggantinya dengan hewan yang lebih baik.

Begitu pula tidak boleh menyedekahkannya kecuali setelah disembelih pada waktunya, lalu menyedekahkan dagingnya.

5) Tidak diperbolehkan menjual kulit hewan tersebut atau apapun yang ada padanya.

Namun untuk dishadaqahkan atau dimanfaatkan.

6) Tidak diperbolehkan memberikan upah dari hewan tersebut apapun bentuknya kepada tukang sembelih.

Namun bila diberi dalam bentuk uang atau sebagian dari hewan tersebut sebagai shadaqah atau hadiah bukan sebagai upah, maka diperbolehkan.

Dalil dari beberapa perkara di atas adalah hadits Ali bin Abi Tahlib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

أَمَرَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُوْمَهَا وَجُلُوْدَهَا وَجِلاَلَهَا عَلَى الْمَسَاكِيْنِ وَلاَ أُعْطِي فِي جَزَارَتِهَا شَيْئًا مِنْهَا

“Nabi memerintahkan aku untuk menangani (penyembelihan) unta-untanya, membagikan dagingnya, kulit, dan perangkatnya kepada orang-orang miskin dan tidak memberikan sesuatu pun darinya sebagai (upah) penyembelihannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1717 dan 1317)

7) Bila terjadi cacat pada hewan tersebut setelah di-ta’yin (diresmikan sebagai hewan qurban) maka dirinci:

- Bila cacatnya membuat hewan tersebut tidak sah, maka disembelih sebagai shadaqah bukan sebagai qurban yang syar’i.
- Bila cacatnya ringan maka tidak ada masalah.
- Bila cacatnya terjadi akibat (perbuatan) sang pemilik maka dia harus mengganti yang semisal atau yang lebih baik
- Bila cacatnya bukan karena kesalahan sang pemilik, maka tidak ada kewajiban mengganti, sebab hukum asal berqurban adalah sunnah.

8) Bila hewan tersebut hilang atau lari dan tidak ditemukan, atau dicuri, maka tidak ada kewajiban apa-apa atas sang pemilik.

Kecuali bila hal itu terjadi karena kesalahannya maka dia harus menggantinya.

9) Bila hewan yang lari atau yang hilang tersebut ditemukan, padahal sang pemilik sudah membeli gantinya dan menyembelihnya, maka cukup bagi dia hewan ganti tersebut sebagi qurban.

Sedangkan hewan yang ketemu tersebut tidak boleh dijual namun disembelih, sebab hewan tersebut telah di-ta’yin.

10) Bila hewan tersebut mengandung janin, maka cukup bagi dia menyembelih ibunya untuk menghalalkannya dan janinnya.

Namun bila hewan tersebut telah melahirkan sebelum disembelih, maka dia sembelih ibu dan janinnya sebagai qurban. Dalilnya adalah hadits:

ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ

“Sembelihan janin (cukup) dengan sembelihan ibunya.” Hadits ini datang dari banyak sahabat, lihat perinciannya dalam Irwa`ul Ghalil (8/172, no. 2539) dan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya.

11) Adapun bila hewan tersebut belum di-ta’yin maka diperbolehkan baginya untuk menjualnya, menghibahkannya, menyedekahkannya, atau menyembelihnya untuk diambil daging dan lainnya, layaknya hewan biasa.

Wallahu a’lam bish-shawab.

[Dinukil dari majalah Asy Syariah]

Minggu, Oktober 03, 2010

Jangan Lihat Tampangnya

Sebagian orang beranggapan bahwa ciri wanita shalihah adalah wanita yang tidak pilih-pilih wajah lelaki yang penting baik agamanya alias bertakwa dan berakhlak mulia meski dia seorang yang buruk rupa. Benarkah anggapan ini?

Marilah kita cermati perkataan Khalifah Umar bin al Khattab berikut ini:
قال عمر رضى الله عنه: لا تزوجوا بناتكم من الرجل الدميم فانه يعجبهن منهم ما يعجبهم منهن

Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Janganlah kalian nikahkan anak gadis kalian dengan laki-laki yang bertampang jelek karena wanita itu menyukai laki-laki yang ganteng sebagaimana laki-laki itu menyukai perempuan yang cantik” [Takmilah al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab karya jilid 17 hal 214 karya Muhammad Najib al Muthi’i, terbitan Maktabah al Irsyad, Jeddah KSA]

Jadi boleh saja seorang wanita muslimah shalihah atau walinya menolak keinginan seorang laki-laki shalih sejati dan tidak ada alasan untuk menolak laki-laki tersebut melainkan karena dia adalah seorang yang buruk rupa.

Namun ingat, yang namanya boleh itu tidak mesti wajib.

Artikel www.ustadzaris.com

Jadilah Lelaki Pertama di Hatinya

قال البجيرمي: وفي البكارة ثلاث فوائد:

Al Bijairumi mengatakan, “Menikahi bikr atau gadis itu memiliki tiga manfaat sebagai berikut:

إحداها أن تحب الزوج الاول وتألفه، والطباع مجبولة على الانس بأول مأولف، وأما التي مارست الرجال فربما لا ترضى ببعض الاوصاف التي تخالف ما ألفته فتكره الزوج الثاني.

Pertama, dia akan mencintai dan akrab dengan suaminya yang pertama. Manusia memiliki karakter untuk merasa nyaman dengan hal pertama kali yang dia kenal. Sedangkan wanita yang telah berpengalaman dengan banyak laki-laki maka boleh jadi dia tidak suka dengan sebuah sifat atau perilaku yang berbeda dengan perilaku yang telah biasa dia terima akhirnya dia kurang suka dengan suami yang pertama.

الفائدة الثانية أن ذلك أكمل في مودته لها.

Kedua, memiliki istri gadis untuk menjadi sebab suami memiliki cinta yang lebih sempurna kepadanya

الثالثة: لا تحن إلا للزوج الاول.

Ketiga, seorang gadis tidak akan kangen dan terkenang kecuali kepada pasangan yang pertama.

ولبعضهم: نقل فؤادك حيث شئت من الهوى # ما الحب إلا للحبيب الاول

Seorang penyair mengatakan,
Tambatkan hatimu pada siapa saja yang kau sukai
Tidaklah cinta kecuali pada lelaki pertama yang kau cintai

كم منزل في الارض يألفه الفتى # وحنينه أبدا لاول منزل ؟ اه.

Betapa banyak tempat yang pernah disinggahi
Rasa kangen hanyalah pada tempat yang pertama kali”. Sekian kutipan dari perkataan al Baijuri. ”
[Hasyiyah I’anah al Thalibin juz 3 hal 271, karya Sayyid Muhammad Syatho cetakan al Haramain]

Jika kita bawa penjelasan di atas kepada realita sekeliling kita, bisa kita simpulkan bahwa bikr atau gadis yang dimaksudkan oleh para ulama sebagai wanita yang dianjurkan untuk dinikahi bukanlah sembarang gadis alias asalkan masih perawan namun gadis yang belum pernah tersentuh atau terjamah laki-laki dengan bahasa lain belum pernah jatuh ke dalam dekapan laki-laki yang pernah menempati ruangan khusus dalam hatinya. Itulah -meminjam istilah dari Abu Muhammad al Ashri-gadis “culun” yang belum pernah mengenal pacar dan pacaran apalagi malah pernah menjadi playgirl. Sungguh beruntung laki-laki yang mendapatkannya.

Artikel www.ustadzaris.com

Terlalu Cantik

Mungkin Anda adalah di antara pemuda yang punya kriteria calon hidup yang cukup muluk-muluk, tinggi semampai, langsing, kulitnya demikian, wajah harus demikian dan seterusnya.

Kriteria tersebut perlu ditelaah ulang dengan menimbang penjelasan salah seorang ulama Syafi’iyyah berikut ini:

Penulis kitab Fathul Mu’in bi Syarh Qurrah al ‘Ain mengatakan:

(وجميلة) أولى لخبر: خير النساء من تسر إذا نظرت

“Memperisteri wanita yang cantik itu yang lebih baik mengingat hadits yang mengatakan bahwa sebaik-baik adalah yang menyenangkanmu jika engkau memandanginya”

Perkataan di atas dijelaskan lebih lanjut oleh penulis Hasyiyah I’anah al Thalibin sebagai berikut:

(قوله: وجميلة) أي بحسب طبعه ولو سوداء عند حجر أو بحسب ذوي الطباع السليمة عند م ر.

“Yang dimaksud dengan wanita cantik adalah cantik menurut versi masing-masing laki-laki meskipun wanita tersebut berkulit hitam. Ada juga yang menjelaskan bahwa tolak ukur wanita cantik dalam hal ini adalah wanita cantik menurut laki-laki yang tabiatnya masih normal (baca: selera standar, tidak muluk-muluk, tidak pula terlalu buruk).

وتكره بارعة الجمال لانها إما أن تزهو، أي تتكبر، لجمالها، أو تمتد الاعين إليها

Makruh hukumnya menikahi wanita yang terlalu cantik karena dua pertimbangan:

Pertama, biasanya wanita yang terlalu cantik itu memiliki sifat sombong karena kecantikannya
Kedua, terlalu mata yang melirik kepadanya”[Hasyiyah I’anah al Thalibin juz 3 hal 270, karya Sayyid Muhammad Syatho cetakan al Haramain].

***

Dalam kutipan di atas Sayyid Muhammad Syatho menilai makruh menikahi wanita yang memiliki nilai ‘terlalu cantik’ dengan dua alasan di atas.

Wanita dengan kelas demikian itu cenderung sombong boleh jadi kepada suaminya jika suaminya dia nilai kurang selevel akibatnya dia akan sering tidak mau diatur oleh suaminya. Sehingga apalah artinya punya isteri sangat cantik namun pembangkan terhadap suami. Ataupun sombong terhadap wanita-wanita yang lain. Bergaul dengan orang yang sombong bisa-bisa menyebabkan kita tertular penyakit kesombongannya.

Banyaknya mata yang melirik kepadanya juga merupakan permasalahan tersendiri karena hal ini menyebabkan setiap hari suami dirundung rasa cemburu dan selalu dibayang-bayangi ketakutan jangan-jangan isterinya tergoda. Jika demikian, hidup terasa kurang nyaman.

Jika demikian sungguh tepat nasihat Sayyid Muhammad Syatho di atas.

Artikel www.ustadzaris.com

Sabtu, Oktober 02, 2010

Menjaga Kehormatan Wanita Muslimah

Penyusun: Ummu Uwais dan Ummu Aiman
Muraja’ah: Ustadz Nur Kholis Kurdian, Lc.

Wahai saudariku muslimah, wanita adalah kunci kebaikan suatu umat. Wanita bagaikan batu bata, ia adalah pembangun generasi manusia. Maka jika kaum wanita baik, maka baiklah suatu generasi. Namun sebaliknya, jika kaum wanita itu rusak, maka akan rusak pulalah generasi tersebut.

Maka, engkaulah wahai saudariku… engkaulah pengemban amanah pembangun generasi umat ini. Jadilah engkau wanita muslimah yang sejati, wanita yang senantiasa menjaga kehormatannya. Yang menjunjung tinggi hak Rabb-nya. Yang setia menjalankan sunnah rasul-Nya.

Wanita Berbeda Dengan Laki-Laki

Allah berfirman,

وَمَاخَلَقْتُ الجِنَّ وَ الإِنْسَ إِلاَّلِيَعْبُدُوْنِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Adz-Dzaariyat: 56)

Allah telah menciptakan manusia dalam jenis perempuan dan laki-laki dengan memiliki kewajiban yang sama, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Dia telah menempatkan pria dan wanita pada kedudukannya masing-masing sesuai dengan kodratnya. Dalam beberapa hal, sebagian mereka tidak boleh dan tidak bisa menggantikan yang lain.

Keduanya memiliki kedudukan yang sama. Dalam peribadatan, secara umum mereka memiliki hak dan kewajiban yang tidak berbeda. Hanya dalam masalah-masalah tertentu, memang ada perbedaan. Hal itu Allah sesuaikan dengan naluri, tabiat, dan kondisi masing-masing.

Allah mentakdirkan bahwa laki-laki tidaklah sama dengan perempuan, baik dalam bentuk penciptaan, postur tubuh, dan susunan anggota badan.

Allah berfirman,

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأنْثَى

“Dan laki-laki itu tidaklah sama dengan perempuan.” (Qs. Ali Imran: 36)

Karena perbedaan ini, maka Allah mengkhususkan beberapa hukum syar’i bagi kaum laki-laki dan perempuan sesuai dengan bentuk dasar, keahlian dan kemampuannya masing-masing. Allah memberikan hukum-hukum yang menjadi keistimewaan bagi kaum laki-laki, diantaranya bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, kenabian dan kerasulan hanya diberikan kepada kaum laki-laki dan bukan kepada perempuan, laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari bagian perempuan dalam hal warisan, dan lain-lain. Sebaliknya, Islam telah memuliakan wanita dengan memerintahkan wanita untuk tetap tinggal dalam rumahnya, serta merawat suami dan anak-anaknya.

Mujahid meriwayatkan bahwa Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa kaum laki-laki bisa pergi ke medan perang sedang kami tidak, dan kamipun hanya mendapatkan warisan setengah bagian laki-laki?” Maka turunlah ayat yang artinya, “Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah…” (Qs. An-Nisaa’: 32)” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari, Imam Ahmad, Al-Hakim, dan lain sebagainya)

Saudariku, maka hendaklah kita mengimani apa yang Allah takdirkan, bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Yakinlah, di balik perbedaan ini ada hikmah yang sangat besar, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Mari Menjaga Kehormatan Dengan Berhijab

Berhijab merupakan kewajiban yang harus ditunaikan bagi setiap wanita muslimah. Hijab merupakan salah satu bentuk pemuliaan terhadap wanita yang telah disyariatkan dalam Islam. Dalam mengenakan hijab syar’i haruslah menutupi seluruh tubuh dan menutupi seluruh perhiasan yang dikenakan dari pandangan laki-laki yang bukan mahram. Hal ini sebagaimana tercantum dalam firman Allah Ta’ala:

وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ

“dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya.” (Qs. An-Nuur: 31)

Mengenakan hijab syar’i merupakan amalan yang dilakukan oleh wanita-wanita mukminah dari kalangan sahabiah dan generasi setelahnya. Merupakan keharusan bagi wanita-wanita sekarang yang menisbatkan diri pada islam untuk meneladani jejak wanita-wanita muslimah pendahulu meraka dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah dalam masalah berhijab. Hijab merupakan cermin kesucian diri, kemuliaan yang berhiaskan malu dan kecemburuan (ghirah). Ironisnya, banyak wanita sekarang yang menisbatkan diri pada islam keluar di jalan-jalan dan tempat-tempat umum tanpa mengenakan hijab, tetapi malah bersolek dan bertabaruj tanpa rasa malu. Sampai-sampai sulit dibedakan mana wanita muslim dan mana wanita kafir, sekalipun ada yang memakai kerudung, akan tetapi kerudung tersebut tak ubahnya hanyalah seperti hiasan penutup kepala.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

“Semoga Alloh merahmati para wanita generasi pertama yang berhijrah, ketika turun ayat:

“dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya,” (Qs. An-Nuur: 31)

“Maka mereka segera merobek kain panjang/baju mantel mereka untuk kemudian menggunakannya sebagai khimar penutup tubuh bagian atas mereka.”

Subhanallah… jauh sekali keadaan wanita di zaman ini dengan keadaan wanita zaman sahabiah.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa hijab merupakan kewajiban atas diri seorang muslimah dan meninggalkannya menyebabkan dosa yang membinasakan dan mendatangkan dosa-dosa yang lainnya. Sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya hendaknya wanita mukminah bersegera melaksanakan perintah Alloh yang satu ini.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Dan tidaklah patut bagi mukmin dan tidak (pula) bagi mukminah, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, kemudian mereka mempunyai pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya. Maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36)

Mengenakan hijab syar’i mempunyai banyak keutamaan, diantaranya:

  1. Menjaga kehormatan.
  2. Membersihkan hati.
  3. Melahirkan akhlaq yang mulia.
  4. Tanda kesucian.
  5. Menjaga rasa malu.
  6. Mencegah dari keinginan dan hasrat syaithoniah.
  7. Menjaga ghirah.
  8. Dan lain-lain. Adapun untuk rincian tentang hijab dapat dilihat pada artikel-artikel sebelumnya.

Kembalilah ke Rumahmu

وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ

“Dan hendaklah kamu tetap berada di rumahmu.” (Qs. Al-Ahzab: 33)

Islam telah memuliakan kaum wanita dengan memerintahkan mereka untuk tetap tinggal dalam rumahnya. Ini merupakan ketentuan yang telah Allah syari’atkan. Oleh karena itu, Allah membebaskan kaum wanita dari beberapa kewajiban syari’at yang di lain sisi diwajibkan kepada kaum laki-laki, diantaranya:

  1. Digugurkan baginya kewajiban menghadiri shalat jum’at dan shalat jama’ah.
  2. Kewajiban menunaikan ibadah haji bagi wanita disyaratkan dengan mahram yang menyertainya.
  3. Wanita tidak berkewajiban berjihad.

Sedangkan keluarnya mereka dari rumah adalah rukhshah (keringanan) yang diberikan karena kebutuhan dan darurat. Maka, hendaklah wanita muslimah tidak sering-sering keluar rumah, apalagi dengan berhias atau memakai wangi-wangian sebagaimana halnya kebiasaan wanita-wanita jahiliyah.

Perintah untuk tetap berada di rumah merupakan hijab bagi kaum wanita dari menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahram dan dari ihtilat. Apabila wanita menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahram maka ia wajib mengenakan hijab yang menutupi seluruh tubuh dan perhiasannya. Dengan menjaga hal ini, maka akan terwujud berbagai tujuan syari’at, yaitu:

  1. Terpeliharanya apa yang menjadi tuntunan fitrah dan kondisi manusia berupa pembagian yang adil diantara hamba-hamba-Nya yaitu kaum wanita memegang urusan rumah tangga sedangkan laki-laki menangani pekerjaan di luar rumah.
  2. Terpeliharanya tujuan syari’at bahwa masyarakat islami adalah masyarakat yang tidak bercampur baur. Kaum wanita memiliki komunitas khusus yaitu di dalam rumah sedang kaum laki-laki memiliki komunitas tersendiri, yaitu di luar rumah.
  3. Memfokuskan kaum wanita untuk melaksanakan kewajibannya dalam rumah tangga dan mendidik generasi mendatang.

Islam adalah agama fitrah, dimana kemaslahatan umum seiring dengan fitrah manusia dan kebahagiaannya. Jadi, Islam tidak memperbolehkan bagi kaum wanita untuk bekerja kecuali sesuai dengan fitrah, tabiat, dan sifat kewanitaannya. Sebab, seorang perempuan adalah seorang istri yang mengemban tugas mengandung, melahirkan, menyusui, mengurus rumah, merawat anak, mendidik generasi umat di madrasah mereka yang pertama, yaitu: ‘Rumah’.

Bahaya Tabarruj Model Jahiliyah

Bersolek merupakan fitrah bagi wanita pada umumnya. Jika bersolek di depan suami, orang tua atau teman-teman sesama wanita maka hal ini tidak mengapa. Namun, wanita sekarang umumnya bersolek dan menampakkan sebagian anggota tubuh serta perhiasan di tempat-tempat umum. Padahal di tempat-tempat umum banyak terdapat laki-laki non mahram yang akan memperhatikan mereka dan keindahan yang ditampakkannya. Seperti itulah yang disebut dengan tabarruj model jahiliyah.

Di zaman sekarang, tabarruj model ini merupakan hal yang sudah dianggap biasa, padahal Allah dan Rasul-Nya mengharamkan yang demikian.

Allah berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan hendaklah kamu tetap berada di rumahmu, dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti model berhias dan bertingkah lakunya orang-orang jahiliyah dahulu (tabarruj model jahiliyah).” (Qs. Al-Ahzab: 33)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Ada dua golongan ahli neraka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya; sekelompok orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang dipakai untuk mencambuk manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang, mereka berjalan melenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak bisa mencium aromanya. Sesungguhnya aroma jannah tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Bentuk-bentuk tabarruj model jahiliyah diantaranya:

  1. Menampakkan sebagian anggota tubuhnya di hadapan laki-laki non mahram.
  2. Menampakkan perhiasannya,baik semua atau sebagian.
  3. Berjalan dengan dibuat-buat.
  4. Mendayu-dayu dalam berbicara terhadap laki-laki non mahram.
  5. Menghentak-hentakkan kaki agar diketahui perhiasan yang tersembunyi.

Pernikahan, Mahkota Kaum Wanita

Menikah merupakan sunnah para Nabi dan Rasul serta jalan hidup orang-orang mukmin. Menikah merupakan perintah Allah kepada hamba-hamba-Nya:

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. An-Nuur: 32)

Pernikahan merupakan sarana untuk menjaga kesucian dan kehormatan baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu, menikah dapat menentramkan hati dan mencegah diri dari dosa (zina). Hendaknya menikah diniatkan karena mengikuti sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menjaga agama serta kehormatannya.

Tidak sepantasnya bagi wanita mukminah bercita-cita untuk hidup membujang. Membujang dapat menyebabkan hati senantiasa gelisah, terjerumus dalam banyak dosa, dan menyebabkan terjatuh dalam kehinaan.

Kemaslahatan-kemaslahatan pernikahan:

  1. Menjaga keturunan dan kelangsungan hidup manusia.
  2. Menjaga kehormatan dan kesucian diri.
  3. Memberikan ketentraman bagi dua insan. Ada yang dilindungi dan melindungi. Serta memunculkan kasih sayang bagi keduanya.

Demikianlah beberapa perkara yang harus diperhatikan oleh setiap muslimah agar dirinya tidak terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan dan tidak menjerumuskan orang lain ke dalam dosa dan kemaksiatan. Allahu A’lam.

Referensi:
Menjaga Kehormatan Muslimah, Syaikh Bakar Abu Zaid.

***

Artikel www.muslimah.or.id

Cara Mengobati Rakus dan Tamak

Ketahuilah bahwa obat ini terdiri dari tiga unsur: sabar, ilmu, dan amal. Secara keseluruhan terangkum dalam hal-hal berikut ini:

1. Ekonomis dalam kehidupan dan arif dalam membelanjakan harta.

2. Jika seseorang bisa mendapatkan kebutuhan yang mencukupinya, maka dia tidak perlu gusar memikirkan masa depan, yang bisa dibantu dengan membatasi harapan-harapan yang hendak dicapainya dan merasa yakin bahwa dia pasti akan mendapatkan rezeki dari Allah. Jika sebuah pintu rezeki tertutup baginya, sesungguhnya rezeki akan tetap menunggunya di pintu-pintu yang lain. Oleh karena itu hatinya tidak perlu merasa gusar.

وَكَأَيِّنْ مِنْ دَآبَّةٍ لاَ تَحْمِلُ رِزْقُهَا اللهُ يَرْزُقُهَا وَإيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-’Ankabut: 60)

3. Hendaklah dia mengetahui bahwa qana`ah itu adalah kemuliaan karena sudah merasa tercukupi, dan dalam kerakusan dan tamak itu ada kehinaan karena dengan kedua sifat tersebut, dia merasa tidak pernah cukup. Barangsiapa yang lebih mementingkan hawa nafsunya dibandingkan kemuliaan dirinya, berarti dia adalah orang yang lemah akalnya dan tipis imannya.

4. Memikirkan orang-orang Yahudi dan Nasrani, orang-orang yang hina dan bodoh karena tenggelam dalam kenikmatan. Setelah itu hendaklah dia melihat kepada para nabi dan orang shalih, menyimak perkataan dan keadaan mereka, lalu menyuruh akalnya untuk memilih antara makhluk yang mulia di sisi Allah ataukah menyerupai penghuni dunia yang hina.

5. Dia harus mengerti bahwa menumpuk harta itu bisa menimbulkan dampak yang kurang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُنْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَأَنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang yang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian untuk tidak memandang hina nikmat yang Allah limpahkan kepada kalian.” (Hadits riwayat Muslim)

Hadits ini berlaku dalam urusan dunia. Adapun dalam urusan akhirat, maka hendaklah setiap muslim berlomba-lomba untuk mencapai derajat kedudukan tertinggi.

Penopang urusan ini adalah sabar dan membatasi harapan serta menyadari bahwa sasaran kesabarannya di dunia hanya berlangsung tidak seberapa lama untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi, seperti orang sakit yang harus menunggu pahitnya obat saat menelannya, karena dia mengharapkan kesembuhan selama-lamanya.

(Dirangkum dari Terjemahan Mukhtashar Minjahul Qashidin (hlm.253-255), karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, penerbit: Pustaka Al-Kautsar, Maret 2004; dengan pengubahan seperlunya oleh redaksi www.muslimah or.id)