Rabu, April 28, 2010

Kiat-Kiat Menuju Pelaminan

At Tauhid edisi V/20

Oleh: Yulian Purnama

Sungguh indah ikatan suci antara dua orang insan yang pasrah untuk saling berjanji setia menemani mengayuh biduk mengarungi lautan kehidupan. Dari ikatan suci ini dibangun keluarga bahagia, yang dipimpin oleh seorang suami yang shalih dan dimotori oleh seorang istri yang shalihah. Mereka mengerti hak-hak dan kewajiban mereka terhadap pasangannya, dan mereka pun memahami hak dan kewajiban mereka kepada Allah Ta’ala. Kemudian lahir dari mereka berdua anak-anak yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah Azza Wa Jalla. Cinta dan kasih sayang pun tumbuh subur di dalamnya. Rahmat dan berkah Allah pun terlimpah kepada mereka. Inilah keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, samara kata orang. Inilah model keluarga yang diidamkan oleh setiap muslim tentunya.

Tidak diragukan lagi, bahwa untuk menggapai taraf keluarga yang demikian setiap orang harus melewati sebuah pintu, yaitu pernikahan. Dan usaha untuk meraih keluarga yang samara ini hendaknya sudah dimulai saat merencanakan pernikahan. Pada tulisan singkat ini akan sedikit dibahas beberapa kiat menuju pernikahan Islam yang diharapkan menjadi awal dari sebuah keluarga yang samara.

Berbenah Diri Untuk Mendapatkan Yang Terbaik

Penulis ingin membicarakan 2 jenis manusia ketika ditanya: “Anda ingin menikah dengan orang shalih/shalihah atau tidak?”. Manusia jenis pertama menjawab “Ya, tentu saja saya ingin”, dan inilah muslim yang masih bersih fitrahnya. Ia tentu mendambakan seorang suami atau istri yang taat kepada Allah, ia mendirikan shalat ia menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ia menginginkan sosok yang shalih atau shalihah. Maka, jika orang termasuk manusia pertama ini agar ia mendapatkan pasangan yang shalih atau shalihah, maka ia harus berusaha menjadi orang yang shalih atau shalihah pula. Allah Azza Wa Jalla berfirman yang artinya: “Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula” [QS. An Nur: 26]. Yaitu dengan berbenah diri, berusaha untuk bertaubat dan meninggalkan segala kemaksiatan yang dilakukannya kemudian menambah ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Sedangkan manusia jenis kedua menjawab: “Ah saya sih ndak mau yang alim-alim” atau semacam itu. Inilah seorang muslim yang telah keluar dari fitrahnya yang bersih, karena sudah terlalu dalam berkubang dalam kemaksiatan sehingga ia melupakan Allah Ta’ala, melupakan kepastian akan datangnya hari akhir, melupakan kerasnya siksa neraka. Yang ada di benaknya hanya kebahagiaan dunia semata dan enggan menggapai kebahagiaan akhirat. Kita khawatir orang-orang semacam inilah yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai orang yang enggan masuk surga. Lho, masuk surga koq tidak mau? Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Setiap ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya: ‘Siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah?’. Beliau bersabda: “Yang taat kepadaku akan masuk surga dan yang ingkar terhadapku maka ia enggan masuk surga” [HR. Bukhari]

Seorang istri atau suami adalah teman sejati dalam hidup dalam waktu yang sangat lama bahkan mungkin seumur hidupnya. Musibah apa yang lebih besar daripada seorang insan yang seumur hidup ditemani oleh orang yang gemar mendurhakai Allah dan Rasul-Nya? Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Keadaan agama seorang insan tergantung pada keadaan agama teman dekatnya. Maka sudah sepatutnya kalian memperhatikan dengan siapa kalian berteman dekat” [HR. Ahmad, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani]

Bekali Diri Dengan Ilmu

Ilmu adalah bekal penting bagi seseorang yang ingin sukses dalam pernikahannya dan ingin membangun keluarga Islami yang samara. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama tentunya. Secara umum, seseorang perlu membekali diri dengan ilmu-ilmu agama, minimal ilmu-ilmu agama yang wajib bagi setiap muslim. Seperti ilmu tentang aqidah yang benar, tentang tauhid, ilmu tentang syirik, tentang wudhu, tentang shalat, tentang puasa, dan ilmu yang lain, yang jika ilmu-ilmu wajib ini belum dikuasai maka seseorang dikatakan belum benar keislamannya. Lebih baik lagi jika membekali diri dengan ilmu agama lainnya seperti ilmu hadits, tafsir al Qur’an, Fiqih, Ushul Fiqh karena tidak diragukan lagi bahwa ilmu adalah jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Renungkanlah firman Allah Ta’ala, yang artinya: “Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” [QS. Al Mujadalah: 11]

Secara khusus, ilmu yang penting untuk menjadi bekal adalah ilmu tentang pernikahan. Tata cara pernikahan yang syar’I, syarat-syarat pernikahan, macam-macam mahram, sunnah-sunnah dalam pernikahan, hal-hal yang perlu dihindari, dan yang lainnya.

Siapkan Harta Dan Rencana

Tidak dapat dipungkiri bahwa pernikahan membutuhkan kemampuan harta. Minimal untuk dapat memenuhi beberapa kewajiban yang menyertainya, seperti mahar, mengadakan walimah dan kewajiban memberi nafkah kepada istri serta anak-anak. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” [HR. Ahmad, Abu Dawud].

Namun kebutuhan akan harta ini jangan sampai dijadikan pokok utama sampai-sampai membuat seseorang tertunda atau terhalang untuk menikah karena belum banyak harta. Harta yang dapat menegakkan tulang punggungnya dan keluarganya itu sudah mencukupi. Karena Allah dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qana’ah (mensyukuri apa yang dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul harta. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah” [HR. Bukhari].

Disamping itu, terdapat larangan bermewah-mewah dalam mahar dan terdapat teladan menyederhanakan walimah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya” [HR. Ahmad]. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga, berdasarkan hadits Anas Bin Malik Radhiyallahu’anhu, ketika menikahi Zainab Bintu Jahsy mengadakan walimah hanya dengan menyembelih seekor kambing [HR. Bukhari-Muslim].

Selain itu rumah tangga bak sebuah organisasi, perlu manajemen yang baik agar dapat berjalan lancar. Maka hendaknya bagi seseorang yang hendak menikah untuk membuat perencanaan matang bagi rumah tangganya kelak. Misalnya berkaitan dengan tempat tinggal, pekerjaan, dll.

Pilihlah Dengan Baik

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius : nikah, cerai dan ruju’ ” (Diriwayatkan oleh Al Arba’ah kecuali Nasa’i). Salah satunya dikarenakan menikah berarti mengikat seseorang untuk menjadi teman hidup tidak hanya untuk satu-dua hari saja bahkan seumur hidup insya Allah. Jika demikian, merupakan salah satu kemuliaan syariat Islam bahwa orang yang hendak menikah diperintahkan untuk berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup.

Kriteria yang paling utama adalah agama yang baik. Setiap muslim atau muslimah yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok suami atau istri yang baik agamanya, ia memahami aqidah Islam yang benar, ia menegakkan shalat, senantiasa mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menganjurkan memilih istri yang baik agamanya “Wanita dikawini karena empat hal : ……. hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. [HR. Bukhari- Muslim]. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga mengancam orang yang menolak lamaran dari seorang lelaki shalih “Jika datang kepada kalian lelaki yang baik agamanya (untuk melamar), maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi” [HR. Tirmidzi, Ibnu Majah].

Selain itu ada beberapa kriteria lainnya yang juga dapat menjadi pertimbangan untuk memilih calon istri atau suami:

  1. Sebaiknya ia berasal dari keluarga yang baik nasabnya (bukan keluarga pezina atau ahli maksiat)
  2. Sebaiknya ia sekufu. Sekufu maksudnya tidak jauh berbeda kondisi agama, nasab dan kemerdekaan dan kekayaannya
  3. Gadis lebih diutamakan dari pada janda
  4. Subur (mampu menghasilkan keturunan)
  5. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan jika engkau pandang…” [HR. Thabrani]
  6. Hendaknya calon istri memahami wajibnya taat kepada suami dalam perkara yang ma’ruf
  7. Hendaknya calon istri adalah wanita yang mengaja auratnya dan menjaga dirinya dari lelaki non-mahram.

Shalat Istikharah Agar Lebih Mantap

Pentingnya urusan memilih calon pasangan, membuat seseorang layak untuk bersungguh-sungguh dalam hal ini. Selain melakukan usaha, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala usaha ada di tangan Allah Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah Ta’ala agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Dan salah satu doa yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan shalat Istikharah. Sebagaimana hadits dari Jabir Radhiyallahu’anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan kepada kami istikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan Al Qur’an” [HR. Bukhari].

Datangi Si Dia Untuk Nazhor Dan Khitbah

Setelah pilihan telah dijatuhkan, maka langkah selanjutnya adalah Nazhor. Nazhor adalah memandang keadaan fisik wanita yang hendak dilamar, agar keadaan fisik tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk melanjutkan melamar wanita tersebut atau tidak. Terdapat banyak dalil bahwa Islam telah menetapkan adanya Nazhor bagi lelaki yang hendak menikahi seorang wanita. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian meminang wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah” [HR. Abu Dawud].

Namun dalam nazhor disyaratkan beberapa hal yaitu, dilarang dilakukan dengan berduaan namun ditemani oleh mahrom dari sang wanita, kemudian dilarang melihat anggota tubuh yang diharamkan, namun hanya memandang sebatas yang dibolehkan seperti wajah, telapak tangan, atau tinggi badan.

Dalil-dalil tentang adanya nazhor dalam Islam juga mengisyaratkan tentang terlarangnya pacaran dalam. Karena jika calon pengantin sudah melakukan pacaran, tentu tidak ada manfaatnya melakukan Nazhor.

Setelah bulat keputusan maka hendaknya lelaki yang hendak menikah datang kepada wali dari sang wanita untuk melakukan khitbah atau melamar. Islam tidak mendefinisikan ritual atau acara khusus untuk melamar. Namun inti dari melamar adalah meminta persetujuan wali dari sang wanita untuk menikahkan kedua calon pasangan. Karena persetujuan wali dari calon wanita adalah kewajiban dan pernikahan tidak sah tanpanya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan keberadaan wali” [HR. Tirmidzi]

Siapkan Mahar

Hal lain yang perlu dipersiapkan adalah mahar, atau disebut juga mas kawin. Mahar adalah pemberian seorang suami kepada istri yang disebabkan pernikahan. Memberikan mahar dalam pernikahan adalah suatu kewajiban sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya: “Maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban” [QS. An Nisa: 24]. Dan pada hakekatnya mahar adalah ‘hadiah’ untuk sang istri dan mahar merupakan hak istri yang tidak boleh diambil. Dan terdapat anjuran dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk tidak terlalu berlebihan dalam mahar, agar pernikahannya berkah. Sebagaimana telah dibahas di atas.

Setelah itu semua dijalani akhirnya sampailah di hari bahagia yang ditunggu-tunggu yaitu hari pernikahan. Dan tali cinta antara dua insan pun diikat.

Belum Sanggup Menikah?

Demikianlah uraian singkat mengenai kiat-kiat bagi seseorang yang hendak menapaki tangga pernikahan. Nah, lalu bagaimana kiat bagi yang sudah ingin menikah namun belum dimampukan oleh Allah Ta’ala? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Orang-orang yang belum mampu menikah hendaknya menjaga kesucian diri mereka sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya” [QS. An Nur: 33]. As Sa’di menjelaskan ayat ini: “Yaitu menjaga diri dari yang haram dan menempuh segala sebab yang dapat menjauhkan diri keharaman, yaitu hal-hal yang dapat memalingkan gejolak hati terhadap hal yang haram berupa angan-angan yang dapat dikhawatirkan dapat menjerumuskan dalam keharaman” [Tafsir As Sa’di]. Intinya, Allah Ta’ala memerintahkan orang yang belum mampu untuk menikah untuk bersabar sampai ia mampu kelak. Dan karena dorongan untuk menikah sudah bergejolak mereka diperintahkan untuk menjaga diri agar gejolak tersebut tidak membawa mereka untuk melakukan hal-hal yang diharamkan.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga menyarakan kepada orang yang belum mampu untuk menikah untuk banyak berpuasa, karena puasa dapat menjadi tameng dari godaan untuk bermaksiat [HR. Bukhari-Muslim]. Selama masih belum mampu untuk menikah hendaknya ia menyibukkan diri pada hal yang bermanfaat. Karena jika ia lengah sejenak saja dari hal yang bermanfaat, lubang kemaksiatan siap menjerumuskannya. Ibnul Qayyim Al Jauziyah memiliki ucapan emas: “Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi Liman Sa’ala ‘An Ad Dawa Asy Syafi, hal. 109). Kemudian senantiasa berdoa agar Allah memberikan kemampuan untuk segera menikah. Wallahul Musta’an. [Yulian Purnama]

Sesungguhnya Allah Mendengar Do’a Hamba-Nya

At Tauhid edisi V/29

Oleh: Hanif Nur Fauzi

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala, do’a merupakan bentuk ibadah yang paling agung di sisi Allah ta’ala. Diriwayatkan dari shahabat Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Do’a adalah ibadah”, kemudian setelah itu beliau membaca ayat “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” (QS. Ghafir: 60) (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrad no.714)

Di dalam hadits lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda tentang keutamaan do’a, “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah ta’ala selain do’a” (HR. Ahmad no. 8733. Syu’iab Al Arnauth berkata bahwa hadits ini hasan)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menyebutkan bahwa do’a adalah ibadah, artinya, do’a adalah rukun utama dalam ibadah kepada Allah ta’ala. Oleh karena itu, barang siapa yang enggan dan malas-malasan dalam beribadah, dapat dipastikan bahwa orang tersebut enggan untuk berdo’a dan memohon hidayah kepada Allah ta’ala . (Lihat Fathul Baari, 18/55)

Do’a merupakan kunci dari segala macam kebaikan. Seorang hamba tidak akan mampu untuk melaksakan ketaatan kepada Allah ta’ala melainkan dengan taufiq dan hidayah dari Allah ta’ala. Taufiq dan hidayah Allah tidak lepas dari do’a seorang hamba kepada Rabb-nya. Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam mengajarkan sebuah do’a kepada Mua’dz bin Jabal radhiyallahu’anhu agar dibaca setiap selesai sholat “Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik” [Ya Allah, bantulah aku untuk selalu berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan memperbaiki ibadahku kepada-Mu]”. (Sunan Abu Daud, 1522. Syaikh Al Albani berkata hadist ini shohih)

Allah ta’ala menjanjikan akan mengabulkan do’a setiap hamba-Nya dan Allah ta’ala tidak akan menyelisihi janjinya. Bahkan Allah ta’ala akan marah ketika ada seorang hamba yang enggan berdo’a kepada-Nya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barangsiapa yang tidak mau berdo’a kepada Allah ta’ala, maka Allah murka kepadanya” (HR. Tirmidzi no.3373. Syaikh Al Albani menilai hadits ini hasan). Ath Thibiy rahimahullah mengatakan, hadits ini menunjukkan bahwa Allah ta’ala sangat senang ketika seorang hamba berdo’a kepada Allah ta’ala. (Lihat Fathul Baari, 18/55)

Berdo’alah Hanya Kepada Allah Ta’ala

Para pembaca yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, do’a merupakan salah satu bentuk ibadah kepada-Nya, dan ibadah hanyalah hak mutlak Allah ta’ala, tidak ada satu pun bentuk ibadah dari seorang hamba yang boleh ditujukan kepada selain Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang berdo’a kepada selain Allah, tidak ada yang dapat memperkenankan do’anya sampai hari kiamat, dan mereka adalah orang-orang yang lalai dari do’a mereka” (QS. Al Ahqaf: 5)

Allah ta’ala adalah Dzat yang Maha Kaya dan Kuasa untuk mengabulkan permintaan seluruh hamba-Nya. Tidaklah akan mengurangi kekuasaan Allah sedikitpun seandainya Allah ta’ala memenuhi seluruh permintaan hambanya, kecuali hanya bagaikan berkurangnya air laut tatkala sebuah jarum dicelupkan ke dalamnya, artinya yang hilang itu tidak teranggap sama sekali. Maka hendaklah setiap muslim hanya mengadu dan berdo’a kepada Allah ta’ala dalam seluruh perkara yang dia hadapi.

Mengapa Do’aku Tidak Kunjung Dikabulkan[?]

Banyak orang berdo’a kepada Allah ta’ala, akan tetapi banyak di antara mereka merasa do’anya tidak dikabulkan. Hal semacam ini sering menimpa kaum muslimin pada umumnya. Mereka berharap do’a yang dia panjatkan dapat segera terealisasi. Inilah yang disebut dengan “tergesa-gesa dalam berdo’a”. Seorang muslim sudah sepatutnya menghindari sikap semacam ini, karena sikap tersebut merupakan salah satu penghalang terkabulnya do’a. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Akan dikabulkan do’a salah seorang di antara kalian selama tidak tergesa-gesa dalam berdo’a.” Kemudian beliau ditanya, “Wahai Rasulullah bagaimanakah bentuk tergesa-gesa dalam berdo’a?” Beliau menjawab, “Seseorang yang berdo’a kemudian mengatakan, “Aku telah berdo’a kepada Allah tetapi Allah tidak segera mengabulkan do’aku”. (Sunan Ibnu Majah, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa seluruh do’a yang baik, hakikatnya dikabulkan oleh Allah ta’ala, akan tetapi dengan bentuk pengabulan yang bermacam-macam, terkadang Allah langsung memberikan apa yang diminta atau terkadang Allah memberikan pengganti yang serupa, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, “Tidaklah seorang muslim berdo’a dengan do’a yang tidak mengandung dosa di dalamnya, tidak pula do’a yang memutus silaturahmi, melainkan Allah ta’ala akan memberikan satu di antara tiga hal: mungkin Allah akan merealisasikan do’a tersebut, atau mungkin dengan do’a tersebut Allah akan menyelamatkannya kelak di akhirat, atau mungkin Allah akan menghilangkan dari diri orang tersebut kesulitan yang semisal”. (HR. Ahmad, derajatnya hasan shohih) (Lihat Fathul Baari, 18/55)

Bersungguh-Sungguh dalam Berdo’a Kepada Allah Ta’ala

Salah satu tata cara do’a yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam adalah bersungguh-sungguh dalam berdo’a kepada Allah ta’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian berdo’a, maka janganlah katakan: Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki, akan tetapi bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a, dan perbesarlah harapan, karena Allah tidak akan merasa keberatan dengan sesuatu yang Dia berikan kepada hamba-Nya”. (HR. Muslim. no.2679)

Hendaklah seorang muslim berdo’a kepada Allah ta’ala dengan do’a yang mencakup seluruh kebaikan di dunia maupun di akhirat. Sebagian orang berdo’a kepada Allah meminta kebaikan yang sangat terbatas, sebagian mereka berdo’a, “Ya Allah berikanlah kepadaku ini dan itu”, ataupun do’a yang semisalnya, yang hanya bersifat materi dan duniawi. Lihatlah bagaimana bentuk do’a yang diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, dan beliau senantiasa mengulang-ulang do’a ini pada setiap kesempatan, “Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksaan api neraka”. (HR. Muslim)

Salah satu cara bersungguh-sungguh dalam dalam berdo’a adalah memahami do’a yang diucapkan. Sebagian orang lalai dari memahami dan mengerti makna do’a yang diucapkan. Seakan-akan keluar dari mulut mereka lafadz-lafadz do’a berbahasa arab, sementara hati-hati mereka kosong akan makna do’a tersebut. Padahal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Berdo’alah kepada Allah dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan, ketahuilah bahwa Allah tidak menerima do’a dari hati yang lalai”. (HR. Tirmidzi, dihasankan oleh Syaikh Al Albani)

Waktu-Waktu Mustajab untuk Berdo’a

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam telah menjelaskan tentang waktu-waktu yang mustajab untuk berdo’a. Di antaranya adalah saat sepertiga akhir malam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Rabb kami tabaraka wa ta’ala turun setiap malam turun ke langit dunia, hingga tersisa sepertiga malam terakhir, kemudian Allah berfirman (yang artinya): Barangsiapa yang berdo’a, maka akan Aku kabulkan; barangsiapa yang meminta, akan Aku beri; dan barangsiapa yang meminta ampun, Aku akan mengampuninya” (HR. Bukhari)

Waktu yang lainnya adalah waktu-waktu di antara adzan dan iqamah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, Do’a antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak”. (HR.Abu Daud, Syaikh Al Albani menilai shahih)

Di antara waktu lain yang mustajab untuk berdo’a adalah ketika sujud, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Saat terdekat seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika sujud, maka ketika itu perbanyaklah do’a” (HR. Muslim)

Dan waktu-waktu lainnya yang terdapat keterangannya dalam hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.

Menjauhi Perkara-Perkara yang Diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala

Salah satu penghalang terkabulnya do’a seorang hamba adalah bergelimangnya hamba tersebut dengan benda-benda dan harta yang diharamkan oleh Allah ta’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah mengisahkan seorang laki-laki yang menempuh suatu perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu, dia menengadahkan kedua tanganya ke langit (berdo’a kepada Allah) : Ya Rabbi, Ya Rabbi. Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dia tumbuh dengan harta yang haram. Kemudian beliau mengatakan: Bagaimana mungkin do’anya bisa dikabulkan? (HR. Muslim) Syaikh ‘Abdurrazaq Al Badr hafidzohullah menjelaskan bahwa hadits ini juga mengisyaratkan bahwa seorang yang berdo’a hendaklah menjauhi kemaksiatan dan segera bertaubat dari kemaksiatan yang dilakukan. (Rekaman ceramah Syaikh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al Badr dengan judul Fiqhu Ad Du’a)

Mengangkat Tangan Ketika Berdo’a

Mengangkat tangan dalam berdo’a merupakan salah satu tuntutan dalam agama ini. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya Rabbmu itu Maha Pemalu dan Maha Mulia, malu dari hamba-Nya jika ia mengangkat kedua tangannya (berdo’a) kepada-Nya kemudian menariknya kembali dalam keadaan hampa kedua tangannya.” (HR. Muslim)

Tidak diragukan lagi bahwa berdo’a dengan mengangkat tangan adalah disyariatkan bahkan merupakan sebab terkabulkannya do’a. Akan tetapi hal ini menyisakan sebuah pertanyaan, apakah mengangkat tangan disyariatkan dalam setiap do’a?

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa do’a dalam masalah mengangkat tangan dirinci menjadi tiga rincian. Yang pertama adalah do’a yang disyariatkan untuk mengangkat tangan, semacam do’a istisqa’ (do’a meminta hujan), maka pada do’a ini disunnahkan mengangkat tangan. Kedua, do’a yang tidak disyariatkan untuk mengangkat tangan, semisal do’a-do’a di dalam sholat, seperti do’a ketika sujud dan do’a setelah tasyahud, maka terlarang mengangkat tangan pada keadaan ini. Ketiga, do’a yang tidak ada keterangan, apakah mengangkat tangan ataukah tidak, maka do’a semacam ini kembali kepada hukum asal adab berdo’a, yaitu mengangkat tangan. (Lihat Syarah Arbain Nawawiyah, Ibnu Utsaimin, hal. 173)

Syaikh Ali Hasan Al Halaby hafidzohullahu meringkas, tentang masalah mengangkat tangan ketika berdo’a. Intinya, ada tiga keadaan di mana seseorang disyariatkan mengangkat tangan ketika berdo’a. Pertama adalah ketika do’a istisqa’ (do’a meminta hujan). Kedua adalah ketika do’a qunut dan yang ketiga adalah ketika berdo’a dengan do’a mas’alah (do’a meminta sesuatu kepada Allah). Jenis do’a yang ketiga ini, yaitu do’a mas’alah tidak terikat dengan waktu maupun tempat, bisa jadi ketika tengah malam, pagi hari, siang hari, di masjid, di rumah atau yang lainnya.

Dalilnya adalah hadits yang telah lewat tentang disyariatkan mengangkat tangan ketika berdo’a, do’a dalam hadits tersebut adalah do’a mas’alah. Sehingga berdo’a selain do’a mas’alah (meminta sesuatu) tidaklah disyariatkan untuk mengangkat tangan, semisal do’a masuk masjid, do’a keluar masjid, do’a memakai pakaian dan yang semisalnya, maka do’a-do’a semacam ini tidak disyariatkan mengangkat tangan. (Diringkas dari rekaman ceramah Syaikh Ali Hasan Al Halaby berjudul Ad Du’a wa Atsaruhu)

Bagaimanakah jika Seseorang Berdo’a dengan Selain Bahasa Arab?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang hukum berdo’a dalam sholat dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab. Beliau menjelaskan, adapun berdo’a secara umum (do’a di luar sholat), maka boleh dengan bahasa apapun selain bahasa Arab, terlebih lagi jika orang tersebut menjadi lebih tahu dan mantap dengan do’a yang dia panjatkan. Karena sesungguhnya Allah ta’ala Maha Mengetahui maksud dan keinginan orang yang berdo’a kepada-Nya. (Majmu’ Al Fatawa 22/488-489)

Akan tetapi, tidak diragukan lagi bahwa berdo’a dengan do’a yang disyari’atkan, sebagaimana tercantum dalam Al Quran dan As Sunnah adalah lebih utama. Lafadz-lafadz do’a yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam adalah lafadz do’a yang paling utama. Oleh karena itu, hendaklah seorang muslim senatiasa berusaha untuk berdo’a dengan do’a-do’a yang disyariatkan, yaitu do’a yang terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah. (Majmu’ Al Fatawa, 1/346-348).

Demikianlah apa yang dapat kami nukilkan dari penjelasan para ulama. Semoga dapat memberikan manfaat. Semoga Allah ta’ala menerima setiap amal ibadah dan mengabulkan setiap do’a kita. Innallaha mujibud du’at. Wallahu ta’ala a’lam bi showab. [Hanif Nur Fauzi]

Hidayah Milik Allah

At Tauhid edisi VI/13

Oleh: Rian Permana

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Ta’ala, mungkin kita sering berfikir, sudah banyak sekali cara kita untuk menyadarkan seseorang yang kita cintai, untuk merubah sifat seseorang yang sangat disayangi. Akan tetapi, segala cara dan upaya kita, ternyata tidak mampu untuk merubahnya menjadi seseorang yang baik. Sebenarnya apa yang salah dengan upaya kita, bagaimanakah caranya agar kita dapat merubah seseorang?

Mengenai hal ini, perlu kita ketahui, hidayah atau petunjuk hanyalah milik Allah, bagaimana pun upaya kita untuk merubah seseorang, bagaimana pun kerja keras kita untuk menyadarkan seseorang, maka itu tidak ada artinya jika Allah tidak menghendaki hidayah kepadanya, orang tersebut tidak akan berubah sampai Allah memberikannya hidayah. Allah berfirman yang artinya “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS Al Qashash: 56).

Ibnu katsir mengatakan mengenai tafsir ayat ini, “Allah mengetahui siapa saja dari hambanya yang layak mendapatkan hidayah, dan siapa saja yang tidak pantas mendapatkannya”.

Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin menerangkan, “Hidayah di sini maknanya adalah hidayah petunjuk dan taufik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan hidayah ini kepada orang yang pantas mendapatkannya, karena segala sesuatu yang dikaitkan dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka mesti mengikuti hikmah-Nya.”

Nabi Yang Mulia Sendiri Tidak Dapat Memberi Hidayah Taufik

Turunnya ayat ini berkenaan dengan cintanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pamannya Abu Tholib. Akan tetapi, segala cara dan upaya yang dilakukan beliau untuk mengajak pamannya kepada kebenaran, tidak sampai membuat pamannya menggenggam Islam sampai ajal menjemputnya. Seorang rosul yang kita tahu kedudukannya di sisi Allah saja tidak mampu untuk memberi hidayah kepada pamannya, apalagi kita yang keimanannya sangat jauh dibandingkan beliau.

Tidakkah kita melihat perjuangan Nabi Allah Nuh di dalam menegakkan tauhid kepada umatnya? Waktu yang mencapai 950 tahun tidak dapat menjadikan umat nabi Nuh mendapatkan hidayah Allah, bahkan untuk keturunannya sendiri pun ia tidak dapat menyelamatkannya dari adzab, Allah berfirman yang artinya “Dan Nuh memanggil anaknya yang berada di tempat yang jauh, ‘Wahai anakku! Naiklah bahtera ini bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang kafir’. Dia berkata, ‘Aku akan berlindung ke gunung yang akan menghindarkanku dari air bah. Nuh berkata, ‘Hari ini tidak ada lagi yang bisa melindungi dari adzab Allah kecuali Dzat Yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang pun menghalangi mereka berdua, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS. Hud:42-43)

Melihat anaknya yang tenggelam, Nabi Nuh berdoa (yang artinya),“Dan Nuh pun menyeru Rabbnya, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu adalah janji yang benar, dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.’ Allah berfirman, ‘Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu (yang diselamatkan), sesungguhnya amalannya bukanlah amalan yang shalih. Maka janganlah engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya Aku peringatkan engkau agar jangan termasuk orang-orang yang jahil.” (QS. Hud: 45-46)

Contoh lainnya adalah apa yang dialami oleh Nabi Allah, Ibrohim. Berada ditengah-tengah orang-orang yang menyekutukan Allah, ia termasuk orang yang mendapat petunjuk. Allah dengan mudahnya memberikan hidayah kepada seseorang yang dikehendakinya, padahal tidak ada seorang pun yang mengajarkan dan menerangkan kebenaran kepadanya, Allah berfirman yang artinya “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan yang ada di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat bintang, lalu berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata, ‘Aku tidak suka pada yang tenggelam’. Kemudian ketika dia melihat bulan terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata, ‘Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk padaku, pasti aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku, ini lebih besar’. Tatkala matahari itu terbenam, dia pun berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan! Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan-Nya’.” (QS. Al-An’am: 75-79)

Dari hal ini, sangat jelaslah bagi kita, hidayah hanyalah milik Allah, dan Allah memberi hidayah kepada orang yang dikehendakinya. Barangsiapa yang Allah beri hidayah, tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang telah Allah sesatkan, tidak ada seorang pun yang bisa memberi hidayah kepadanya. Allah berfirman yang artinya “Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213) dan Allah berfirman yang artinya Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemberi petunjuk.” (QS. Az-zumar:23).

Cara Menggapai Hidayah

Setelah mengetahui hal ini, lantas bagaimana upaya kita untuk mendapatkan hidayah? Bagaimana caranya membuat orang lain mendapatkan hidayah?

Di antara sebab-sebab seseorang mendapatkan hidayah adalah:

1. Bertauhid

Seseorang yang menginginkan hidayah Allah, maka ia harus terhindar dari kesyirikan, karena Allah tidaklah memberi hidayah kepada orang yang berbuat syirik. Allah berfirman yang artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kesyirikan, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-an’am: 82).

2. Taubat kepada Allah

Allah tidak akan memberi hidayah kepada orang yang tidak bertaubat dari kemaksiatan, bagaimana mungkin Allah memberi hidayah kepada seseorang sedangkan ia tidak bertaubat? Allah berfirman yang artinya “Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya”. (QS. Ar-Ra’d: 27).

3. Belajar agama

Tanpa ilmu (agama), seseorang tidak mungkin akan mendapatkan hidayah Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya “Jika Allah menginginkan kebaikan (petunjuk) kepada seorang hamba, maka Allah akan memahamkannya agama”. (HR Bukhori)

4. Mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi hal yang dilarang

Kemaksiatan adalah sebab seseorang dijauhkan dari hidayah. Allah berfirman yang artinya “Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (An-nisa: 66-68).

5. Membaca Al-qur’an, memahaminya mentadaburinya dan mengamalkannya

Allah berfirman yang artinya “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus”. (QS. Al-Isra:9).

6. Berpegang teguh kepada agama Allah

Allah berfirman yang artinya “Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali-Imron:101).

7. Mengerjakan sholat

Di antara penyebab yang paling besar seseorang mendapatkan hidayah Allah adalah orang yang senantiasa menjaga sholatnya, Allah berfirman pada surat al-baqoroh yang artinya “Aliif laam miim, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya dan merupakan petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”

Siapa mereka itu, dilanjutkan pada ayat setelahnya “yaitu mereka yang beriman kepada hal yang ghoib, mendirikan sholat dan menafkahkah sebagian rizki yang diberikan kepadanya” (QS. Al-baqoroh:3).

8. Berkumpul dengan orang-orang sholeh

Allah berfirman yang artinya “Katakanlah: “Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan kembali ke belakang, sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di pesawangan yang menakutkan; dalam keadaan bingung, dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan yang lurus (dengan mengatakan): “Marilah ikuti kami.” Katakanlah:”Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am:72).

Ibnu katsir menafsiri ayat ini, “Ayat ini adalah permisalan yang Allah berikan kepada teman yang sholeh yang menyeru kepada hidayah Allah dan teman yang jelek yang menyeru kepada kesesatan, barangsiapa yang mengikuti hidayah, maka ia bersama teman-teman yang sholeh, dan barang siapa yang mengikuti kesesatan, maka ia bersama teman-teman yang jelek. “

Dengan mengetahui hal tersebut, marilah kita berupaya untuk mengerjakannya dan mengajak orang lain untuk melakukan sebab-sebab ini, semoga dengan jerih payah dan usaha kita dalam menjalankannya dan mendakwahkannya menjadi sebab kita mendapatkan hidayah Allah. Syaikh Abdullah Al-bukhori mengatakan dalam khutbah jum’atnya “Semakin seorang meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah, niscaya bertambah hidayah padanya. Seorang hamba akan senantiasa ditambah hidayahnya selama dia senantiasa menambah ketaqwaannya. Semakin dia bertaqwa, maka semakin bertambahlah hidayahnya, sebaliknya semakin ia mendapat hidayah/petunjuk, dia semakin menambah ketaqwaannya. Sehingga dia senantiasa ditambah hidayahnya selama ia menambah ketaqwaannya.”

Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah kepada kita dan orang-orang yang ada disekeliling kita, aamiin. Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. [Rian Permana]

Minggu, April 18, 2010

Kita Termasuk yang Mana…?

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

Di antara tanda kebahagiaan dan keberuntungan, tatkala ilmu seorang hamba bertambah, bertambah pulalah sikap tawadhu’ (rendah hati) dan kasih sayang yang dimilikinya; setiap kali bertambah amalnya, bertambah pula rasa takut dan waspada di dalam dirinya[1]; tatkala bertambah umurnya, berkuranglah ketamakannya terhadap dunia; tiap kali hartanya bertambah, kedermawanannya pun bertambah; setiap kali kedudukan dan martabatnya bertambah tinggi, maka bertambah pula kedekatannya dengan manusia, dirinya akan semakin memperhatikan kebutuhan mereka, dan merendahkan diri di hadapan mereka.

Di antara tanda kebinasaan seorang, tatkala ilmunya bertambah, bertambah pula kesombongan dan keangkuhannya; tiap kali amalnya bertambah, bertambahlah ‘ujub (bangga diri) dalam dirinya, semakin meremehkan orang lain, dan justru memandang baik dirinya; tatkala umurnya bertambah, ketamakannya terhadap dunia justru semakin bertambah; tiap kali hartanya bertambah, bertambah pula sifat kikir yang dimiliki; setiap kali kedudukan dan martabatnya bertambah, bertambah pula keangkuhan dan kecongkakannya.

Seluruh hal di atas merupakan cobaan dari Allah yang diperuntukkan kepada para hamba-Nya. Di antara mereka ada yang beruntung, sebagian yang lain justru celaka.

Demikian pula dengan kemuliaan, seperti kerajaan, kekuasaan, dan harta, semua adalah cobaan. Allah ta’ala berfirman,

فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ (٤٠)

“Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Rabb-ku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya).” (QS. An Naml: 40).

Demikian pula kenikmatan, semua adalah cobaan dari-Nya sehingga akan nampak siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur (ingkar). Sebagaimana musibah juga cobaan dari-Nya, karena Dia menguji para hamba dengan berbagai nikmat dan musibah.

Allah ta’ala berfirman,

فَأَمَّا الإنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (١٥)وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (١٦)

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dirinya dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu mempersempit rizkinya, maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al Fajr: 15-16).

Maksud dari ayat di atas, tidak setiap orang yang Aku lapangkan rizkinya dan Aku beri kesenangan duniawi, maka hal itu merupakan bentuk pemuliaan-Ku terhadapnya. Dan tidak setiap orang yang Aku persempit rizkinya dan Aku uji dengan kemiskinan, maka hal itu merupakan kehinaan baginya.

Waffaqaniyalahu wa iyyakum.

Diterjemahkan dari Fawaaidul Fawaaid hal. 403-404

Gedong Kuning, Yogyakarta, 23 Rabi’uts Tsani 1431.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

[1] Demikianlah sifat orang beriman, yaitu tatkala mengerjakan amal, mereka tidak lantas berbangga diri dengan amal yang telah dikerjakan. Hal ini diterangkan Allah ta’ala dalam firman-Nya di surat Al Mukminun: 60 (yang artinya), “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa). Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.”

Ketika mendengar ayat ini, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bertanya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Mengapa mereka khawatir setelah beramal?), apakah mereka orang-orang yang meminum khamr dan mencuri?” Nabi pun menjawab, “Bukan, wahai anak Ash Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, meskipun demikian mereka khawatir sekiranya amalan tersebut tidak diterima oleh-Nya.” (HR. Tirmidzi: 3175).

Ibu, Sungguh Begitu Mulia Peranmu

Agama Islam sangat memuliakan dan mengagungkan kedudukan kaum perempuan, dengan menyamakan mereka dengan kaum laki-laki dalam mayoritas hukum-hukum syariat, dalam kewajiban bertauhid kepada Allah, menyempurnakan keimanan, dalam pahala dan siksaan, serta keumuman anjuran dan larangan dalam Islam.

Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا}

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia orang yang beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun” (QS an-Nisaa’:124).

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS an-Nahl:97)[1].

Sebagaimana Islam juga sangat memperhatikan hak-hak kaum perempuan, dan mensyariatkan hukum-hukum yang agung untuk menjaga dan melindungi mereka[2].

Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata, “Wanita muslimah memiliki kedudukan (yang agung) dalam Islam, sehingga disandarkan kepadanya banyak tugas (yang mulia dalam Islam). Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyampaikan nasehat-nasehat yang khusus bagi kaum wanita[3], bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wasiat khusus tentang wanita dalam kutbah beliau di Arafah (ketika haji wada’)[4]. Ini semua menunjukkan wajibnya memberikan perhatian kepada kaum wanita di setiap waktu…[5].

Tugas dan peran penting wanita

Agungnya tugas dan peran wanita ini terlihat jelas pada kedudukannya sebagai pendidik pertama dan utama generasi muda Islam, yang dengan memberikan bimbingan yang baik bagi mereka, berarti telah mengusahakan perbaikan besar bagi masyarakat dan umat Islam.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin berkata, “Sesungguhnya kaum wanita memiliki peran yang agung dan penting dalam upaya memperbaiki (kondisi) masyarakat, hal ini dikarenakan (upaya) memperbaiki (kondisi) masyarakat itu ditempuh dari dua sisi:

- Yang pertama: perbaikan (kondisi) di luar (rumah), yang dilakukan di pasar, mesjid dan tempat-tempat lainnya di luar (rumah). Yang perbaikan ini didominasi oleh kaum laki-laki, karena merekalah orang-orang yang beraktifitas di luar (rumah).

- Yang kedua: perbaikan di balik dinding (di dalam rumah), yang ini dilakukan di dalam rumah. Tugas (mulia) ini umumnya disandarkan kepada kaum wanita, karena merekalah pemimpin/pendidik di dalam rumah, sebagaimana firman Allah Ta’ala kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى، وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا}

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS al-Ahzaab:33).

Oleh karena itu, tidak salah kalau sekiranya kita mengatakan: bahwa sesungguhnya kebaikan separuh atau bahkan lebih dari (jumlah) masyarakat disandarkan kepada kaum wanita. Hal ini dikarenakan dua hal:

1. Jumlah kaum wanita sama dengan jumlah laki-laki, bahkan lebih banyak dari laki-laki. Ini berarti umat manusia yang terbanyak adalah kaum wanita, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam…Berdasarkan semua ini, maka kaum wanita memiliki peran yang sangat besar dalam memperbaiki (kondisi) masyarakat.

2. Awal mula tumbuhnya generasi baru adalah dalam asuhan para wanita, yang ini semua menunjukkan mulianya tugas kaum wanita dalam (upaya) memperbaiki masyarakat[6].

Makna inilah yang diungkapkan seorang penyair dalam bait syairnya:

الأم مدرسة إذا أعددتَها

أعددتَ شَعْباً طَيِّبَ الأعراق

Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya

Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya[7]

Bagaimana seorang wanita mempersiapkan dirinya agar menjadi pendidik yang baik bagi anak-anaknya?

Agar seorang wanita berhasil mengemban tugas mulia ini, maka dia perlu menyiapkan dalam dirinya faktor-faktor yang sangat menentukan dalam hal ini, di antaranya:

1- Berusaha memperbaiki diri sendiri.

Faktor ini sangat penting, karena bagaimana mungkin seorang ibu bisa mendidik anaknya menjadi orang yang baik, kalau dia sendiri tidak memiliki kebaikan tersebut dalam dirinya? Sebuah ungkapan Arab yang terkenal mengatakan:

فاقِدُ الشَّيْءِ لا يُعْطِيْهِ

“Sesuatu yang tidak punya tidak bisa memberikan apa-apa”[8].

Maka kebaikan dan ketakwaan seorang pendidik sangat menetukan keberhasilannya dalam mengarahkan anak didiknya kepada kebaikan. Oleh karena itu, para ulama sangat menekankan kewajiban meneliti keadaan seorang yang akan dijadikan sebagai pendidik dalam agama.

Dalam sebuah ucapannya yang terkenal Imam Muhammad bin Sirin berkata: “Sesungguhnya ilmu (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu mencapai ketakwaan), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu”[9].

Faktor penting inilah yang merupakan salah satu sebab utama yang menjadikan para sahabat Nabi menjadi generasi terbaik umat ini dalam pemahaman dan pengamalan agama mereka. Bagaimana tidak? Da’i dan pendidik mereka adalah Nabi yang terbaik dan manusia yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala, yaitu Nabi kita Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makna inilah yang diisyaratkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

{وكيف تكفرون وأنتم تتلى عليكم آيات الله وفيكم رسوله}

Bagaimana mungkin (baca: tidak mungkin) kalian (wahai para sahabat Nabi), (sampai) menjadi kafir, karena ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian (sebagai pembimbing)” (QS Ali ‘Imraan:101).

Contoh lain tentang peranan seorang pendidik yang baik adalah apa yang disebutkan dalam biografi salah seorang Imam besar dari kalangan tabi’in, Hasan bin Abil Hasan Al Bashri[10], ketika Khalid bin Shafwan[11] menerangkan sifat-sifat Hasan Al Bashri kepada Maslamah bin Abdul Malik[12] dengan berkata: “Dia adalah orang yang paling sesuai antara apa yang disembunyikannya dengan apa yang ditampakkannya, paling sesuai ucapan dengan perbuatannya, kalau dia duduk di atas suatu urusan maka diapun berdiri di atas urusan tersebut…dan seterusnya”, setelah mendengar penjelasan tersebut Maslamah bin Abdul Malik berkata: “Cukuplah (keteranganmu), bagaimana mungkin suatu kaum akan tersesat (dalam agama mereka) kalau orang seperti ini (sifat-sifatnya) ada di tengah-tengah mereka?”[13].

Oleh karena itulah, ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Waasi’[14] tentang sedikitnya pengaruh nasehat yang disampaikannya dalam merubah akhlak orang-orang yang diceramahinya, maka Muhammad bin Waasi’ berkata, “Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian (tidak terpengaruh dengan nasehat yang kamu sampaikan) tidak lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri, sesungguhnya peringatan (nasehat) itu jika keluarnya (ikhlas) dari dalam hati maka (akan mudah) masuk ke dalam hati (orang yang mendengarnya)” [15].

2- Menjadi teladan yang baik bagi anak-anak.

Faktor ini sangat berhubungan erat dengan faktor yang pertama, yang perlu kami jelaskan tersendiri karena pentingnya.

Menampilkan teladan yang baik dalam sikap dan tingkah laku di depan anak didik termasuk metode pendidikan yang paling baik dan utama. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan dan tingkah laku yang langsung terlihat terkadang lebih besar dari pada pengaruh ucapan[16].

Hal ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang terlihat di hadapannya, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta bersegera dalam kebaikan[17].

Oleh karena itulah, dalam banyak ayat al-Qur’an Allah Ta’ala menceritakan kisah-kisah para Nabi yang terdahulu, serta kuatnya kesabaran dan keteguhan mereka dalam mendakwahkan agama Allah Ta’ala, untuk meneguhkan hati Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengambil teladan yang baik dari mereka[18]. Allah Ta’ala berfirman,

{وكلا نقص عليك من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك، وجاءك في هذه الحق وموعظة وذكرى للمؤمنين}

“Dan semua kisah para Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS Hud:120).

Syaikh Bakr Abu Zaid, ketika menjelaskan pengaruh tingkah laku buruk seorang ibu dalam membentuk kepribadian buruk anaknya, beliau berkata,

“Jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktek (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu, inilah yang dinamakan dengan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’ “[19].

Sehubungan dengan hal ini, imam Ibnul Jauzi membawakan sebuah ucapan seorang ulama salaf yang terkenal, Ibarahim al-Harbi[20]. Dari Muqatil bin Muhammad al-’Ataki, beliau berkata: Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”. Ayahku menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga (wibawamu) jatuh di mata mereka”[21].

3- Memilih metode pendidikan yang baik bagi anak

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah Ta’ala, dan jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4)[22].

Termasuk metode pendidikan yang benar adalah membiasakan anak-anak sejak dini melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi larangan-Nya, sebelum mereka mencapai usia dewasa, agar mereka terbiasa dalam ketaatan.

Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani ketika menjelaskan makna hadits yang shahih ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Hasan bin ‘Ali memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan t masih kecil[23], beliau menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah: bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut[24].

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “Termasuk (pembinaan) awal yang diharamkan (dalam Islam) adalah memakaikan pada anak-anak kecil pakaian yang menampakkan aurat, karena ini semua menjadikan mereka terbiasa dengan pakaian dan perhiasan tersebut (sampai dewasa), padahal pakaian tersebut menyerupai (pakaian orang-orang kafir), menampakkan aurat dan merusak kehormatan”[25].

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin ketika ditanya: apakah diperbolehkan bagi anak kecil, laki-laki maupun perempuan, untuk memakai pakaian pendek yang menampakkan pahanya? Beliau menjawab: “Sudah diketahui bahwa anak kecil yang umurnya dibawah tujuh tahun, tidak ada hukum (larangan menampakkan) bagi auratnya. Akan tetapi membiasakan anak-anak kecil memakai pakaian yang pendek dan menampakkan aurat (seperti) ini tentu akan membuat mereka mudah (terbiasa) membuka aurat nantinya (setelah dewasa). Bahkan bisa jadi seorang anak (setelah dewasa) tidak malu menampakkan pahanya, karena sejak kecil dia terbiasa menampakkannya dan tidak peduli dengannya… Maka menurut pandanganku anak-anak (harus) dilarang memakai pakaian (seperti) ini, meskipun mereka masih kecil, dan hendaknya mereka memakai pakaian yang sopan dan jauh dari (pakaian) yang dilarang (dalam agama)”[26].

Seorang penyair mengungkapkan makna ini dalam bait syairnya:

Anak kecil itu akan tumbuh dewasa di atas apa yang terbiasa (didapatkannya) dari orang tuanya

Sesungguhnya di atas akarnyalah pohon itu akan tumbuh[27]

Senada dengan syair di atas, ada pepatah arab yang mengatakan:

“Barangsiapa yang ketika muda terbiasa melakukan sesuatu maka ketika tua pun dia akan terus melakukannya”[28].

4- Kesungguhan dan keseriusan dalam mendidik anak

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Anak-anak adalah amanah (titipan Allah Ta’ala) kepada kedua orang tua atau orang yang bertanggungjawab atas urusan mereka. Maka syariat (Islam) mewajibkan mereka menunaikan amanah ini dengan mendidik mereka berdasarkan petunjuk (agama) Islam, serta mengajarkan kepada mereka hal-hal yang menjadi kewajiban mereka, dalam urusan agama maupun dunia. Kewajiban yang pertama (diajarkan kepada mereka) adalah: menanamkan ideologi (tentang) iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para Rasul, hari akhirat, dan mengimani takdir Allah yang baik dan buruk, juga memperkokoh (pemahaman) tauhid yang murni dalam jiwa mereka, agar menyatu ke dalam relung hati mereka. Kemudian mengajarkan rukun-rukun Islam pada diri mereka, (selalu) menyuruh mereka mendirikan shalat, menjaga kejernihan sifat-sifat bawaan mereka (yang baik), menumbuhkan (pada) watak mereka akhlak yang mulia dan tingkah laku yang baik, serta menjaga mereka dari teman pergaulan dan pengaruh luar yang buruk.

Inilah rambu-rambu pendidikan (Islam) yang diketahui dalam agama ini secara pasti (oleh setiap muslim), yang karena pentingnya sehingga para ulama menulis kitab-kitab khusus (untuk menjelaskannya)…Bahkan (metode) pendidikan (seperti) ini adalah termasuk petunjuk para Nabi dan bimbingan orang-orang yang bertakwa (para ulama salaf)”[29].

Lebih lanjut, syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin menekankan pentingnya masalah ini dalam ucapan beliau: “Anak-anak pada masa awal pertumbuhan mereka, yang selalu bersama mereka adalah seorang ibu, maka jika sang ibu memiliki akhlak dan perhatian yang baik (kepada mereka), (tentu) mereka akan tumbuh dan berkembang (dengan) baik dalam asuhannya, dan ini akan memberikan dampak (positif) yang besar bagi perbaikan masyarakat (muslim).

Oleh karena itu, wajib bagi seorang wanita yang mempunyai anak, untuk memberikan perhatian (besar) kepada anaknya dan kepada (upaya) mendidiknya (dengan pendidikan yang baik). Kalau dia tidak mampu melakukannya seorang diri, maka dia bisa meminta tolong kepada suaminya atau orang yang bertanggung jawab atas urusan anak tersebut…

Dan tidak pantas seorang ibu (bersikap) pasrah dengan kenyataan (buruk yang ada), dengan mengatakan: “Orang lain sudah terbiasa melakukan (kesalahan dalam masalah) ini dan aku tidak bisa merubah (keadaan ini)”.

Karena kalau kita terus menerus pasrah dengan kenyataan (buruk ini), maka nantinya tidak akan ada perbaikan, sebab (dalam) perbaikan mesti ada (upaya) merubah yang buruk dengan cara yang baik, bahkan merubah yang (sudah) baik menjadi lebih baik (lagi), supaya semua keadaan kita (benar-benar) menjadi baik.

Di samping itu, (sikap) pasrah pada kenyataan (buruk yang ada) adalah hal yang tidak diperbolehkan dalam syariat Islam. Oleh karena itulah, ketika Allah mengutus Nabi kepada kaumnya yang berbuat syirik (bangsa Arab jahiliyyah), yang masing-masing mereka menyembah berhala, memutuskan hubungan kekeluargaan, berbuat aniaya dan melampaui batas terhadap orang lain tanpa alasan yang benar, (pada waktu itu) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lantas (bersikap) pasrah (pada kenyataan yang ada), bahkan Allah sendiri tidak mengizinkan beliau (bersikap) pasrah pada kenyataan (buruk tersebut). Allah memerintahkan kepada beliau:

Maka sampaikanlah (secara terang-terangan) segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah (jangan pedulikan) orang-orang yang musyrik” (QS al-Hijr:94)”[30].

Penutup

Demikianlah, semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada para wanita muslimah, agar mereka menyadari mulianya tugas dan peran mereka dalam Islam, dan agar mereka senantiasa berpegang teguh dengan petunjuk-Nya dalam mendidik generasi muda Islam dan dalam urusan-urusan kehidupan lainnya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 8 Syawwal 1430 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id

[1] Lihat keterangan syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 17).

[2] Lihat kitab “al-Mar’ah, baina takriimil Islam wa da’aawat tahriir” (hal. 6).

[3] Misalnya dalam HSR al-Bukhari (no. 3153) dan Muslim (no. 1468).

[4] Dalam HSR Muslim (no. 1218).

[5] Kitab “at-Tanbiihaat ‘ala ahkaamin takhtashshu bil mu’minaat” (hal. 5).

[6] Kitab “Daurul mar-ati fi ishlaahil mujtama’” (hal. 3-4).

[7] Dinukil oleh syaikh Shaleh al-Fauzan dalam kitab “Makaanatul mar-ati fil Islam” (hal. 5).

[8] Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “at-Tawassul, ‘anwaa’uhu wa ahkaamuhu” (hal. 74).

[9] Muqaddimah shahih Muslim (1/12).

[10] Beliau adalah Imam besar dan terkenal dari kalangan Tabi’in ‘senior’ (wafat 110 H), memiliki banyak keutamaan sehingga sebagian dari para ulama menobatkannya sebagai tabi’in yang paling utama, biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (6/95) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (4/563).

[11] Beliau adalah Abu Bakr Khalid bin Shafwan bin Al Ahtam Al Minqari Al Bashri, seorang yang sangat fasih dalam bahasa Arab, biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/226).

[12] Beliau adalah Maslamah bin Abdil Malik bin Marwan bin Al Hakam (wafat 120 H), seorang gubernur dari Bani Umayyah, saudara sepupu Umar bin Abdul Aziz dan meriwayatkan hadits darinya, biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (27/562) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (5/241).

[13] Siyaru a’laamin nubala’ (2/576).

[14] Beliau adalah Muhammad bin Waasi’ bin Jabir bin Al Akhnas Al Azdi Al Bashri (wafat 123 H), seorang Imam dari kalangan Tabi’in ‘junior’ yang taat beribadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits, Imam Muslim mengeluarkan hadits beliau dalam kitab “Shahih Muslim” . Biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (26/576) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (6/119).

[15] Kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/122).

[16] Lihat “al-Mu’in ‘ala tahshili adabil ‘ilmi” (hal. 50) dan “Ma’alim fi thariqi thalabil ‘ilmi” (hal. 124).

[17] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 271).

[18] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/611).

[19] Kitab “Hirasatul fadhiilah” (hal. 127-128).

[20] Beliau adalah Imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Ibrahim bin Ishak bin Ibrahim bin Basyir al-Baghdadi al-Harbi (wafat 285 H), biografi beliau dalam “Siyaru a’alamin nubala’” (13/356).

[21] Kitab “Shifatush shafwah” (2/409).

[22] Kutubu wa rasaa-ilu syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/14).

[23] HSR al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).

[24] Fathul Baari (3/355).

[25] Kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 10).

[26] Kitab “Majmu’atul as-ilah tahummul usratal muslimah (hal. 146).

[27] Kitab “Adabud dunya wad diin” (hal. 334).

[28] Dinukil dan dibenarkan oleh syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin dalam “Majmu’atul as-ilah tahummul usratal muslimah (hal. 43).

[29] Kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 122).

[30] Kitab “Daurul mar-ati fi ishlaahil mujtama’” (hal. 14-15).

Sabtu, April 17, 2010

AL-QUR'AN BUKAN MAKHLUK

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin


Makalah ini disadur dan disusun dengan rujukan utama Syarh al-'Aqidah al-Wasithiyah, yang disyarah oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan –hafizhahullah-. Ditambah beberapa referensi lain yang akan dijelaskan pada catatan kaki insya Allah. Silahkan menyimak.
_____________________________________________________

AL-QUR`AN KALAM ALLAH, BUKAN MAKHLUK

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan dalam kitab al-'Aqidah al-Wasithiyah:

Termasuk beriman kepada Allah dan kepada kitab-kitab Allah ialah, beriman bahwa al-Qur`an Kalam Allah yang diturunkan dan bukan makhluk. Dari Allah al-Qur`an bermula dan kepada-Nya ia akan kembali. Dan sesungguhnya, Allah berbicara dengan al-Qur`an ini secara hakiki. Sesungguhnya al-Qur`an yang telah Allah turunkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ini adalah perkataan Allah yang sebenarnya, bukan perkataan selain-Nya. Tidak boleh melepaskan kata-kata bahwa al-Qur`an adalah hikayat dari kalam Allah atau ungkapan tentang kalam Allah. Bahkan apabila manusia membacanya atau menuliskannya dalam mushaf-mushaf, al-Qur`an tetap tidak keluar dengan demikian dari keadaannya sebagai kalam Allah yang sebenarnya. Sesungguhnya suatu perkataan hanya akan disandarkan secara hakiki kepada yang sejak semula mengatakannya, dan tidak disandarkan kepada orang yang mengatakannya sebagai penyampai. Al-Qur`an adalah kalam Allah; baik huruf-hurufnya maupun makna-maknanya. Kalam Allah bukan hanya huruf-huruf saja tanpa makna, dan bukan pula makna-makna saja tanpu huruf.[1]

Senada dengan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, yaitu perkataan Imam Thahawi rahimahullah. Beliau berkata: "Sesungguhnya al-Qur`an adalah kalam Allah, dari-Nya ia muncul sebagai perkataan, tanpa boleh dipertanyakan kaifiyah (bentuk)nya. Allah telah turunkannya kepada Rasul-Nya sebagai wahyu. Kaum Mukminin mempercayai al Qur`an benar-benar demikian keadaannya, dan mereka meyakini bahwa al-Qur`an kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sebenarnya; ia bukan makhluk seperti perkataan manusia. Maka barangsiapa yang mendengar al-Qur`an, lalu ia beranggapan bahwa al-Qur`an adalah perkataan manusia, maka ia kafir; Allah mencelanya, mencacatnya dan mengancamnya dengan Neraka Saqar, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"(Orang kafir itu berkata): "Al-Qur`an ini tidak lain hanyalah perkataan manusia". [al-Muddatstsir/74:25]. Kita memahami dan kita meyakini bahwa, al-Qur'an itu adalah perkataan Pencipta manusia, tidak serupa dengan perkataan manusia.[2]

Pensyarah kitab al-'Aqidah ath-Thahawiyah, yaitu Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi rahimahullah, terhadap apa yang dikatakan Imam Thahawi rahimahullah, ia mengatakan: "Ini merupakan kaidah dan pokok yang mulia dan agung di antara pokok-pokok agama. Banyak kelompok manusia yang tersesat dalam masalah ini. Apa yang dikatakan oleh Imam Thahawi rahimahullah ini merupakan kebenaran yang telah dibuktikan oleh dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah bagi siapa saja yang merenungkannya. Juga telah disaksikan oleh fitrah-fitrah sehat, fitrah yang belum mengalami perubahan akibat syubhat-syubhat, keragu-raguan dan pendapat-pendapat batil"[3]

Demikianlah madzhab Ahlu Sunnah wal jama'ah.

PANDANGAN KELOMPOK AHLI BID'AH ENTANG AL-QUR`AN DAN KALAM ALLAH

Di bawah ini pemaparan Syaikh Shalih al-Fauzan –hafizhahullah- secara garis besar (diterjemah secara ringkas dan bebas, Pen.) tentang beberapa perkataan kelompok ahli bid'ah mengenai al-Qur`an dan kalam Allah. Beliau menyebutkan sebagai berikut.[4]

Pertama : Perkataan Jahmiyah.
Mereka mengatakan, bahwa Allah tidak berbicara, tetapi Allah menciptakan perkataan pada diri selain-Nya dan menjadikan yang selain-Nya itu menjadi pengungkap perkataan Allah. Disebutkannya suatu perkataan sebagai perkataan Allah menurut mereka adalah majaz (kiasan), bukan hakiki, sebab Allah-lah yang menciptakan perkataan itu, sehingga Dia disebut sebagai Yang berkata, karena Dialah pencipta perkataan itu pada diri selain-Nya

Perkataan Jahmiyah ini batil, bertentangan dengan dalil-dalil sam'i (al-Qur`an dan as-Sunnah) maupun dalil-dalil akal. Juga bertentangan dengan perkataan para salaf dan imam-imam kaum Muslimin. Karena sesungguhnya tidaklah masuk akal seseorang disebut sebagai orang yang berkata, kecuali jika perkataan itu benar-benar ada pada dirinya. Bagaimana mungkin Allah disebut telah berkata, padahal yang berkata adalah selain Allah? Bagaimana mungkin disebut perkataan Allah, padahal ia adalah perkataan selain-Nya?

Perkataan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah di atas, bahwa "dari Allah al-Qur`an bermula dan kepada-Nya ia akan kembali. Dan sesungguhnya Allah berbicara dengan al-Qur`an ini secara hakiki. Sesungguhnya al-Qur`an yang telah Allah turunkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ini adalah perkataan Allah yang sebenarnya, bukan perkataan selain-Nya".

Maksud Syaikhul-Islam dengan perkataannya ini adalah, untuk membantah orang-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa al-Qur`an bermula dari selain Allah, dan bahwa Allah tidak berbicara dengan al-Qur`an itu secara hakiki, tetapi majaz. Al-Qur`an (menurut mereka) adalah perkataan selain Allah yang disandarkan sebagai perkataan Allah karena Dialah Penciptanya.

Kedua : Perkataan Kullabiyah, para pengikut 'Abdullah bin Sa'id bin Kullab.
Mereka beranggapan bahwa al-Qur`an merupakan hikayat dari kalam Allah. Karena kalam Allah menurut mereka adalah ma'na yang ada pada Dzat Allah yang senantiasa tetap pada-Nya, sebagaimana tetapnya sifat hidup dan sifat ilmu pada Dzat Allah. Tidak berkaitan dengan kehendak dan iradah Allah. Makna yang ada pada Dzat Allah ini bukan makhluk. Tetapi lafazh-lafazh yang keluar yang terdiri dari huruf dan suara adalah makhluk. Lafazh-lafazh ini merupakan hikayat dari kalam Allah, dan bukan kalam Allah itu sendiri.

Ketiga : Perkataan kaum Asy'ariyah, orang-orang yang mengaku pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari rahimahullah.
Mereka mengatakan bahwa al-Qur`an adalah ungkapan tentang kalam Allah. Sebab kalam Allah menurut mereka adalah: Ma'na yang ada pada dzat Allah. Ma'na ini bukan makhluk. Adapun lafazh-lafazh yang dibaca, merupakan ungkapan tentang makna yang ada pada Dzat Allah. Lafazh-lafazh ini adalah makhluk. Ia merupakan ungkapan dari kalam Allah dan tidak dikatakan hikayat dari kalam Allah.

Sebagian ulama mengatakan, perselisihan pendapat antara Asy'ariyah dengan Kullabiyah hanyalah perselisihan secara redaksional saja. Sebenarnya tidak ada perselisihan di dalamnya. Sebab, baik Asy'ariyah maupun Kullabiyah sama-sama mengatakan bahwa al-Qur`an terdiri dari dua macam. Yaitu, terdiri dari lafazh dan makna. Lafazhnya adalah makhluk, yakni lafazh-lafazh yang ada dan dibaca ini. Sedangkan maknanya bersifat qadim (sejak dahulu); ia ada pada Dzat Allah. Ia merupakan makna yang satu, tidak dapat terbagi-bagi dan tidak dapat berbilang. Ini bukan makhluk.

Inti perkataan Asy'ariyah dan perkataan Kullabiyah, andaikata tidak dapat dikatakan sama, maka paling tidak saling berdekatan.

Kedua pendapat itu sama-sama batil. Sebab al-Qur`an tidak dapat dikatakan hikayat dari kalam Allah seperti perkataan Kullabiyah, dan tidak dapat pula dikatakan ungkapan dari kalam Allah seperti perkataan Asy'ariyah. Bahkan al-Qur`an adalah kalam Allah itu sendiri, baik lafazh maupun maknanya, di manapun didapatkan, baik dihafal dalam dada-dada manusia maupun ditulis dalam mushaf-mushaf. Al-Qur`an tetap merupakan kalam Allah yang sebenarnya, bukan makhluk.

Keempat : Perkataan Mu'tazilah.
Mereka mengatakan bahwa, kalam Allah hanyalah huruf tanpa makna. Menurut mereka, apa yang disebut perkataan atau kalam, ketika dinyatakan secara mutlak hanyalah nama bagi suatu lafazh saja. Sedangkan makna bukan merupakan bagian dari apa yang disebut kalam. Makna hanyalah sesuatu yang ditunjukkan oleh apa yang disebut kalam.

Pendapat Mu'tazilah ini merupakan kebalikan dari pendapat Asy'ariyah dan Kullabiyah yang mengatakan, bahwa kalam Allah adalah makna saja tanpa huruf.

Demikian secara ringkas pemaparan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah.

KESIMPULAN
Semua pernyataan kelompok di atas adalah batil. Yang benar ialah pernyataan Ahlu Sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dan Imam Thahawi di atas. Salah satu dalilnya, ialah seperti yang dikemukakan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan, yaitu firman Allah lSubhanahu wa Ta'ala:

"Dan jika seseorang dari orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah". [at-Taubah/9:6].

Maksud mendengar pada ayat ini, yaitu mendengar melalui bacaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang kedudukannya sebagai penyampai. Sedangkan bacaan al-Qur`an dari Rasulullah yang didengar itu tetap disebut kalam Allah. Maka hal ini membuktikan bahwa perkataan hanyalah diakukan kepada yang sejak semula mengatakannya. Bukan diakukan kepada penyampainya.[5]

Imam Syafi`i rahimahullah juga mengatakan bahwa al-Qur`an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Dan barangsiapa yang mengatakan al-Qur`an makhluk, maka ia kafir [6]. Imam Ahmad bin Hanbal pun mengatakan hal yang sama dalam Ushulus-Sunnah[7].

Demikianlah madzhab Ahlu Sunnah tentang al-Qur`an dan tentang kalam Allah. Wallahu Waliyyut-Taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05//Tahun V/1422H/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Syarh al-'Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, Cetakan VI, Tahun 1413 H/1993 M, halaman 136.
[2]. Lihat Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyah, Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi; Tahqiq wa Muraja'ah: Jama'ah minal-'Ulama; Takhrij: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Penerbit al-Maktab al-Islami, Beirut, Cetakan IX, Tahun 1408 H/1998 M, halaman 168.
[3]. Lihat Lihat Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyah, Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi; Tahqiq wa Muraja'ah: Jama'ah minal-'Ulama; Takhrij: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
[4]. Lihat Syarh al-'Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, halaman 136-139.
[5]. Lihat Syarh al-'Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, halaman 138.
[6]. Lihat catatan kaki dari kitab Ushulus-Sunnah, Imam Ahmad dari riwayat 'Abdus bin Malik al-Aththar, Syarh dan Ta'liq: al-Walid bin Muhammad Nabih bin Saif an-Nashr. Taqdim dan Ta'liq: Syaikh Muhammad bin 'Id al-Abbasi. Penerbit Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo, distribusi Maktabah al-'Ilmu, Jeddah, Cetakan I, 1416 H./1996 M, halaman 50.
[7]. Lihat kitab yang sama pada ashl yang ke 13

KUKU SEHAT NAN INDAH, KUKU SESUAI FITHRAH

Kuku adalah salah satu organ pelengkap kulit selain kelenjar keringat dan rambut. Ia merupakan lempeng yang mengandung lapisan tanduk. Tempatnya yang berada di ujung-ujung jari tangan dan kaki, selain berguna untuk membantu jari-jari untuk memegang, juga bisa menjadi sarana untuk memperindah penampilan, dan khususnya bagi para wanita yang menyukai keindahan.

Dibandingkan dengan makhluk lainnya, kuku manusia lebih baik dan lebih sempurna. Demikian sempurna ciptaan ini, sehingga kuku menjadi pelengkap tangan dan kaki atas diri manusia. Bagaimana bila kuku ini tidak ada ataupun rusak serta sakit? Sudah tentu tangan maupun kaki tak akan berfungsi dengan baik saat melakukan pekerjaan.

BEBERAPA PENYAKIT TERTENTU DI LOKASI KULIT
Penyakit yang menyerang pada bagian kuku, merupakan salah satu bagian penyakit kulit itu sendiri, di antaranya :

1. Paronikia, yaitu suatu reaksi peradangan (inflamasi) yang menyerang lipatan kulit di sekitar kuku, baik di kaki maupun jari tangan. Ditandai dengan pembengkakan dan rasa nyeri. Jika disertai infeksi, maka bisa mengeluarkan nanah (pus). Biasanya mengenai ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah (jari 1-3). Hal ini disebabkan oleh trauma karena perlunakan suatu benda yang diakibatkan oleh cairan pada tangan atau kaki, dan seringnya jari-jari berhubungan dengan air. Celah yang lembab pada kuku kemudian terkontaminasi oleh bakteri atau jamur. Kondisi seperti ini sering terjadi pada wanita dan mereka yang sehari-hari sering bersentuhan dengan air saat bekerja. Pada anak-anak, bisa karena mengisap jari. Penderita DM (diabetes mellitus), penyakit dengan kadar gula darah tinggi dan malnutrisi, sangat beresiko terkena penyakit ini.

2. Onkolisis, yaitu terpisahnya kuku dari dasar kuku, terutama bagian bawah atau samping. Warna kuku berubah menjadi kuning karena ada nanah (infeksi). Kondisi seperti ini biasa karena jamur, trauma karena sepatu atau bahan kimia. Onikolisis dan paronikia bisa diakibatkan kuman yang disebut pseudomonas aeruginosa yang merubah kuku berwarna hijau.

3. Penyakit kuku lainnya, misalnya kuku psoariasis, penyakit yang bersifat kronis di lokasi kulit, atau keadaan kuku yang memang mudah pecah dan rapuh karena kekurangan vitamin A atau B serta penyakit keturunan maupun bawaan yang bisa menimbulkan kelainan di kuku.

KUKU BISA MENUNJUKKAN TANDA DAN GEJALA PENYAKIT DARI TUBUH
Dari kuku, kita bisa mengetahui adanya kelainan atau penyakit tertentu di tubuh manusia. Hal ini bisa ditunjukkan dengan dua keadaan kuku.

Pertama : Adanya Perubahan Bentuk Kuku.
Beberapa contoh dalam hal ini, misalnya bentuk kuku yang menggembung dan konveks (cembung) atau disebut clubbing finger (jari-jari tabuh). Dengan keadaan kuku seperti ini, bisa diketahui pada diri si empunya kuku terdapat kelainan di paru-parunya. Misalnya TBC, bronkhitis kronis, pertumbuhan tumor dan sebagainya, maupun kelainan ada di lokasi jantung, misalnya penyakit jantung bawaan.

Keadaan mental atau psikis seseorang yang mengalami gangguan, juga bisa dilihat dengan seringnya menggigit kuku yang disebut dengan onikofagia.

Kedua : Perubahan Warna.
Perubahan warna kuku sering terjadi karena pigmen melanin yang dimiliki tubuh akibat proses pembentukan melanin yang berlebihan. Dapat juga disebabkan karena adanya endapan zat lain pada bagian-bagian kuku. Warna yang timbul akan bergantung pada tempat dan sifat-sifat zat yang diendapkan.

Kuku warna hitam bisa karena defisiensi vitamin B12, tumor kulit yang ganas, peningkatan hormon MSH. Yaitu suatu hormon yang merangsang pengeluaran sel melanin (sel pemberi warna hitam ke kulit), atau bisa karena infeksi jamur di kuku itu sendiri. Begitu juga obat anti malaria, penyakit herediter (penyakit keturunan, misalnya penyakit addison), juga penoftalin pun bisa menjadikan kuku berubah coklat atau merah tua. Atau akibat kelainan metabolisme tembaga (Cu), penyakit bawaan, maka kuku berubah warna biru. Kuku biru juga bisa karena perdarahan di bawah kuku.

Kuku berwarna putih terbatas karena pengaruh dari penyakit tifus, penderita ginjal kronis, juga penyakit bawaan maupun infeksi jamur. Warna putih ini sangat penting sekali pada kasus keracunan, yaitu keracunan arsen dengan gambaran khas pita putih melintang pada kuku (meen’s transverse band), juga keracunan talium dengan gambaran garis-garis putih. Keracunan talium ini tidak khas, karena gambaran garis putih juga bisa menyertai penyakit bawaan ataupun trauma otak yang hebat. Ada gambaran pita putih susu berbatas tegas yang menyeluruh disebabkan seseorang kekurangan vitamin B yang berat (penyakit pellagra). Sedangkan kuku dengan warna putih yang menyeluruh, bisa dijumpai pada penderita lever (sirosis hepatis, penyakit jantung dan penyakit kronis lainnya). Suatu keadaan yang normal pun untuk anak-anak umur 1-4 tahun menunjukkan gambaran kuku dengan warna putih di seluruh permukaannya.

MENCEGAH PENYAKIT DENGAN MERAWAT KUKU
Kuku bersih dan sehat juga sebagai cerminan kesehatan tubuh seseorang. Sehingga, kuku yang bersih dan selalu dipotong, atau tidak dibiarkan panjang, ia bisa mengurangi resiko penyakit cacing, diare, desentri atau penyakit-penyakit lain yang ditimbulkan oleh kuman, parasit atau jamur yang suka bersembunyi di balik kuku.

Beberapa cara untuk menjaga kesehatan dan keindahan kuku, sekaligus jari-jari tangan maupun kaki :
1. Hindari trauma (benturan) atau luka, dan jagalah agar kulit sekitar kuku tetap kering.

2. Jangan menggunakan sepatu atau sandal yang terlalu ketat, serta hindari pemakaian yang terlalu lama, terlebih dengan sepatu atau sandal tertutup, untuk mencegah kelembaban di ujung tangan atau kaki.

3. Gunakan kaos kaki atau kaos tangan dalam keadaan bersih dan kering.

4. Dianjurkan menggunakan sarung tangan yang terbuat dari karet dan katun ketika menggunakan sabun dan air dalam waktu lama atau kontak dengan bahan kimia rumah tangga maupun bekerja dengan pekerjaan yang berhubungan dengan tanah (berkebun, bertani dan lain-lain).

5. Jangan menggunakan kuku untuk mengambil sesuatu, memukul maupun mencongkel kaleng.

6. Kebiasaan menggigit kuku harus ditinggalkan, karena bisa merusak bantalan atau dasar kuku.

7. Potonglah kuku sesuai panjang jari. Kuku tumbuh dari akar kuku keluar ke bagian kuku yang bebas dengan kecepatan tumbuh kira-kira 1 mm tiap pekan dan kuku jari kaki pertumbuhannya lebih lambat lagi.

Dalam hal memotong kuku ini, perlu juga diperhatikan anjuran sebagian ulama, sebagaimana disebutkan dalam Khishalu al Fithrah, Abu Syamah al Maqdisi hlm. 72, sebagian ulama ada yang menganjurkan mencuci ujung-ujung jari usai dipotong kukunya. karena, bila langsung dipakai untuk menggaruk sebelum dicuci, dapat menimbulkan efek yang buruk pada tubuh.

8. Tidak boleh membiarkan kuku lebih dari empat puluh hari, berdasarkan riwayat Anas Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia bercerita: "Kami diberi batasan tempo untuk memendekkan kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan dengan tidak membiarkannya lebih dari empat puluh malam". [HR Muslim, 257].

Meskipun sebenarnya untuk membersihkan kuku dilakukan berdasarkan kebutuhan. Kapan saja dibutuhkan untuk mengambilnya, maka itulah waktunya. Tetapi seyogyanya tidak melebihi empat puluh hari. [Lihat Shahihu Fiqh as Sunnah, 1/101].

9. Selalu mencuci tangan dari tempat kotor, sebelum makan serta sebelum dan sesudah bangun tidur. Mencuci tangan sebaiknya memakai sabun dan menggosok seluruh jari-jari, serta permukaan kuku maupun ujung jari-jari. Biasakan juga anak-anak mencuci tangan dan memotong kuku, serta belajar mengikuti perbuatan sunnah tersebut. Terlebih lagi anak-anak memang biasa senang bermain sesukanya, misalnya bermain tanah, pasir dan lain-lain.

10. Bagi wanita yang menyukai, dibolehkan memoles kuku dengan bahan yang tidak menghalangi masuknya air ke permukaan kuku, supaya wudhu seseorang tetap sah. Pakailah pewarna kuku dengan bahan alami yang sudah dikenal. Misalnya daun pacar, daun inai atau al hinna. Demikian itu tidaklah dilarang, seperti halnya sebagian wanita pada zaman Rasulullah n juga mengecat kukunya dengan bahan alami tersebut.

BEBERAPA PENDAPAT AHLI KESEHATAN DAN PARA ULAMA TENTANG KUKU
Ada sebuah riset ilmiah berharga yang dilakukan oleh salah satu universitas di Timur Tengah. Riset tersebut mengambil sample potongan kuku para pelajar dan meletakkannya ke dalam tempat khusus sesuai suhu tubuh. Kemudian tempat itu dilihat di bawah mirkoskop. Ternyata, hasilnya sangat menakjubkan. Yakni terdapat ratusan macam bakteri yang sangat berbahaya dalam kandungan potongan kuku tersebut. [Majalah al ‘Arabiyah, Edisi 179].

Berkenaan dengan cat cucu (kuteks), Dr. Mahmud Majid al Bayyar, konsultan ahli penyakit kulit dan kelamin mengatakan, bahwa cat kuku dengan campuran zat kimia, memiliki pengaruh berbahaya pada kuku. Karena, zat itu menutup jalan udara dan menghalangi sirkulasi kelembaban antara kuku dan udara. Dalam kondisi seperti ini, biasanya kuku menguning dan redup, tidak mengkilap, retak dan mudah pecah. Disamping itu, kulit yang dikelilingi kuku mudah terkena penyakit kulit dan gatal-gatal. Demikian juga dengan kuku palsu. Menurut Dr. al Bayyar, hal itu dapat membahayakan kuku asli, yang mengakibatkan luka, cacat dan menimbulkan gangguan di sela-sela kulit serta iritasi. [Koran al Madinah, Edisi 9125].

Syaikh Muhammad bin al 'Utsaimin berkata,"Sungguh suatu hal yang rancu. Pada saat mereka mengakui diri mereka sebagai masyarakat maju dan modern, namun mereka masih membiarkan kuku mereka panjang. Padahal mereka mengetahui, bahwa hal itu bisa membawa kotoran dan penyakit, serta memasukkan manusia dalam kategori hewan".

Adapun berkenaan dengan cat kuku (manicure), Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin berpendapat, bahwa wanita dilarang menggunakan cat kuku ketika dia shalat, karena air wudhu tidak dapat masuk. Segala sesuatu yang menghalangi masuknya air wudhu, maka dilarang bagi orang yang shalat. Namun, jika sedang berhalangan atau sedang haidh, maka menggunakannya tidaklah mengapa. Hanya saja perlu untuk diketahui, bahwa itu termasuk identitas wanita kafir, dan tentu kita tidak boleh mengikutinya. [Lihat fatwa tentang wanita, hlm. 34].

Syaikh 'Abdul ‘Azis bin Baz juga berpendapat, meninggalkan cat kuku adalah lebih baik dan lebih terjaga (dari dosa). Wajib menghilangkannya sebelum bersuci dalam hadats besar dan kecil.

PENUTUP
Begitu bernilanya sepotong kuku. Sehingga kita perlu merawatnya sebagai sebuah fitrah dalam agama. Merawat kuku ini bukan dengan memanjangkannya, tetapi dengan memotong kuku. Demikian ini yang diajarkan sunnah. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ , عَنِ النَّبِيُّ قاَلَ : " اَلْفَطْرَةُ خَمْسٌ, أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفَطْرَةِ : اَلْخِتَانُ وَالاِسْتِدَادُ, وَ تَقْلِيْمُ الاَظَفَارِ,
وَ نَقْفُ الايِطِ وَ قَصُّ الشَّارِبِ ". ( متفق عليه )

"Fithrah itu lima atau lima di antara fithrah adalah : khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan menggunting kumis". [HR al Bukhari-Muslim dalam Riyadhus Shalihin, no. 1211].

Dalam hadits ini, yang dimaksud dengan sunnah fithrah adalah, apabila dikerjakan, maka orangnya berada dalam fithrah yang Allah telah menciptakan dirinya dalam kondisi seperti itu dan menyukainya. Karena orang tersebut akan berada dalam penampilan yang paling sempurna dan mulia.

Itu merupakan sunnah yang disepakati oleh para nabi dan seluruh syari’at. Seolah-olah menjadi perkara yang melekat pada mereka. Disebutkan dalam Faidhu al Qadir al Munawi (1/38), yang kami nukil dari Shahihu Fiqhi as Sunnah hlm. 97, sesungguhnya, maslahat agama dan duniawi terselip pada sunnah-sunnah fitrah ini, yaitu memperbaiki penampilan dan membersihkan kondisi tubuh.
Wallahu a’lam.

Sumber Bacaan :
- Shahihu Fiqhi as Sunnah, Abu Malik Kamal as Sayyid Salim, Maktabah Taufiqiyah.
- Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, FKUI, Th. 1999. Edisi 3.
- Zinatul Mar’ah, Muhammad bin Abdul Azis al Musnid, Darul Haq. Cet. 1V, Th. 2002.
- Dan sumber-sumber lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]