Selasa, Juni 22, 2010

8 Kiat Mempererat Ukhuwah (Perasaudaraan sesama muslim)dakwatuna.com – Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) bukanlah teori. Ini adalah ajaran prakti

dakwatuna.com – Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) bukanlah teori. Ini adalah ajaran praktis yang bisa kita lakukan dalam keseharian. Karena itu, nikmatnya ukhuwah tidak akan bisa kita kecap, kecuali dengan mempraktikannya.

Jika delapan cara di bawah ini dilakukan, Anda akan merasakan ikatan ukhuwah Anda dengan saudara-saudara seiman Anda semakin kokoh.

1. Katakan bahwa Anda mencintai saudara Anda

عَنِ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ: إِِذَا أَحَبَّ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَلْيُخْبِرْهُ أََنَّهُ يُحِبُّهُ

Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang mencintai saudaranya, hendaklah dia mengatakan cinta kepadanya.” (Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits shahih)

عَنْ اَنَسٍ: اَنَّ رَجُلاً كَانَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فَمَرَّ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلُ اللهِ اِنّي لأحِبُّ هَذَا فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ أَعْلَمْتَهُ؟ قَالَ: لا، قَالَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: أعْلِمْهُ فَلَحِقَهُ فَقَالَ: إِنِّي أُحِبُّكَ فِى اللهِ فَقَالَ: أَحَبَّكَ الَّذِي أَحْبَبْتَنِى لَهُ

Anas r.a. mengatakan bahwa seseorang berada di sisi Rasulullah saw., lalu salah seorang sahabat melewatinya. Orang yang berada di sisi Rasulullah tersebut mengatakan, “Aku mencintai dia, ya Rasulullah.” Lalu Nabi bersabda, “Apakah kamu sudah memberitahukan dia?” Orang itu menjawab, “Belum.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Beritahukan kepadanya.” Lalu orang tersebut memberitahukannya dan berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.” Kemudian orang yang dicintai itu menjawab, “Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya.” (Abu Dawud, dengan sanad shahih)

Jadi, jangan tunda lagi. Katakan cinta kepada orang yang Anda cintai.

2. Minta didoakan dari jauh saat berpisah

عَنْ عُمَرَبْنِ الْخَطَابِ قَالَ: اِسْتَأْذِنْتُ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فِى الْعُمْرَةِ فَأَذِنَ لِي فَقَالَ: لاَ تَنْسَنَا يَا اُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ: كَلِمَةً مَا يَسُرُّنِى أَنَّ لِى بِِهَا الدُّنْيَا، وَفِى رِوَايَةٍ قَالَ: أَشْرِكْنَا يَا أُجَيَّ فِى دُعَائِكَ

Umaق bin Khaththab berkata, “Aku minta izin kepada Nabi Muhammad saw. untuk melaksanakan umrah, lalu Rasulullah saw. mengizinkanku.” Beliau bersabda, “Jangan lupakan kami, wahai saudaraku, dalam doamu.” Kemudian ia mengatakan satu kalimat yang menggembirakanku bahwa aku mempunyai keberuntungan dengan kalimat itu di dunia. Dalam satu riwayat, beliau bersabda, “Sertakan kami dalam diamu, wahai saudaraku.” (Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits hasan shahih)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُوْ لِأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلاَّ قَالَ الْمَلَكُ : وَلَكَ بِمِثْلٍ

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak seorang hamba mukmin yang berdoa untuk saudaranya dari kejauhan malainkan malaikat berkata, ‘Dan bagimu seperti itu’.” (Muslim)

3. Bila berjumpa, tunjukkan wajah gembira dan senyuman

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُفِ شَيْئاً وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِيْقٍ

Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan apapun, walaupun sekadar bertemu saudaramu dengan wajah ceria.” (Muslim)

4. Berjabat tangan dengan erat dan hangat

Berjabat tanganlah acapkali bertemu. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada dua orang muslim yang berjumpa lalu berjabat tangan melainkan keduanya diampuni dosanya sebelum berpisah.” (Abu Dawud)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَا مِنْ مُسْلِمِيْنَ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا

5. Sering-seringlah berkunjung

Nabi Muhammad saw. bersabda, “Allah swt. berfirman, ‘Pasti akan mendapat cinta-Ku orang-orang yang mencintai karena Aku, keduanya saling berkunjung karena Aku, dan saling memberli karena Aku’.” (Imam Malik dalam Al-Muwaththa’)

6. Ucapkan selamat saat saudara Anda mendapat kesuksesan

عَنْ اَنَسٍ بن مالك قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَنْ لَقِيَ أَجَاهُ بِمَا يُحِبُّ لِيَسُرَّهُ ذَالِكَ سَرَّةُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa bertemu saudaranya dengan membawa sesuatu yang dapat menggembirakannya, pasti Allah akan menggembirakannya pada hari kiamat.” (Thabrani dalam Mu’jam Shagir)

Jadilah Anda orang yang paling pertama mengucapkan selamat kala saudara Anda menikah, mendapat anak, menempati rumah baru, pergi haji, naik jabatan, dan lain-lain.

7. Berilah hadiah terutama di waktu-waktu istimewa

عَلَيْكُمْ بِالْهَدَايَا فَإِنَّهَا تُوْرِثُ الْمَوَدَّةَ وَتُذْهِبُ الضَّغَائِنَ

Hadits marfu’ dari Anas bahwa, “Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena hadiah itu dapat mewariskan rasa cinta dan menghilangkan kekotoran hati.” (Thabrani)

عَنْ عَائِشَةَ: تَهَادَوْا تَحَابُّوْا

Thabrani juga meriwayatkan hadits marfu’ dari Aisyah r.a. bahwa, “Biasakanlah kamu saling memberi hadiah, niscaya kamu akan saling mencintai.”

8. Berilah perhatian dan bantu keperluan Saudara Anda

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ اَخِيْهِ.

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang melepaskan kesusahan seorang mukmin di dunia niscaya Allah akan melepaskan kesusahannya di akhirat. Siapa yang memudahkan orang yang kesusahan, niscaya Allah akan memudahkan (urusannya) di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya jika hamba tersebut menolong saudaranya.” (Muslim)

Karena itu, jadikan diri Anda orang yang paling dahulu membantu kala saudara Anda membutuhkan.

Sumber :
Dakwatuna.com

Jumat, Juni 18, 2010

Ketika Allah memilihmu untukku..

Padamu yang Allah pilihkan dalam hidupku..
Ingin ku beri tahu padamu.. Aku hidup dan besar dari keluarga bahagia.. Orang tua yg begitu sempurna.. Dengan cinta yg begitu membuncah..
Aku dibesarkan dgn limpahan kasih yang tak terhingga..

Maka, padamu ku katakan.. Saat Allah memilihmu dalam hidupku, maka saat itu Dia berharap, kau pun sanggup melimpahkan cinta padaku.. Memperlakukanku dgn sayang yang bgt indah..

Padamu yang Allah pilihkan untukku.. Ketahuilah, aku hanya wanita biasa dengan begitu banyak kekurangan dalam diriku, aku bukanlah wanita sempurna, seperti yang mungkin kau harapkan.. Maka, ketika Dia memilihmu untukku, maka saat itu Dia ingin menyempurnakan kekuranganku dgn keberadaanmu, dan aku tahu. Kaupun bukanlah laki2 yg sempurna.. Dan ku berharap ketidaksempurnaanku mampu menyempurnakan dirimu.. Karena kelak kita akan satu.. Aibmu adalah aibku, dan indahmu adalah indahku, kau dan aku akan menjadi 'kita'..

Padamu yg Allah pilihkan untukku..
Ketahuilah, sejak kecil Allah telah menempa diriku dgn ilmu dan tarbiyah, membentukku menjadi wanita yg mencintai Rabbnya.. Maka ketika Dia memilihmu untukku, maka saat itu, Allah mengetahui bahwa kaupun telah menempa dirimu dgn ilmuNya.. Maka gandeng tanganku dalam mengibarkan panji2 dakwah dalam hidup kita.. Itulah visi pernikahan kita.. Ibadah padaNya ta'ala..

Padamu yg Allah tetapkan sebagai nahkodaku.. Ingatlah.. Aku adalah mahlukNya dari tulang rusuk yang paling bengkok.. Ada kalanya aku akan begitu membuatmu marah.. Maka, ketahuilah.. Saat itu Dia menghendaki kau menasihatiku dengan hikmah, sungguh hatiku tetaplah wanita yg lemah pada kelembutan.. Namun jangan kau coba meluruskanku, karena aku akan patah.. Tapi jangan pula membiarkanku begitu saja, karena akan selamanya aku salah.. Namun tatap mataku, tersenyumlah.. Tenangkan aku dgn genggaman tanganmu.. Dan nasihati aku dgn bijak dan hikmah.. Niscaya, kau akan menemukanku tersungkur menangis di pangkuanmu.. Maka ketika itu, kau kembali memiliki hatiku..

Padamu yang Allah tetapkan sebagai atap hunianku.. Ketahuilah, ketika ijab atas namaku telah kau lontarkan.. Maka dimataku kau adalah yang terindah, kata2mu adalah titah untukku, selama tak bermaksiat pada Allah, akan ku penuhi semua perintahmu.. Maka kalau kau berkenan ku meminta.. Jadilah hunian yg indah, yang kokoh, yg mampu mbuatku dan anak2 kita nyaman dan aman di dalamnya..

Padamu yang Allah pilih menjadi penopang hidupku.. Dalam istana kecil kita akan hadir buah hati-buah hati kita.. Maka didiklah mereka menjadi generasi yg dirindukan syurga.. Yang di pundaknya akan diisi dgn amanah2 dakwah, yang ruh dan jiwanya selalu merindukan jihad.. Yang darahnya mengalir darah syuhada.. Dan ku yakin dari tanganmu yg penuh berkah kau mampu membentuk mereka.. Dengan hatimu yg penuh cinta, kau mampu merengkuh hati mereka.. Dan aku akan selalu jatuh cinta padamu..

Padamu yang Allah pilih sebagai imamku.. Ku memohon padamu.. Ridholah padaku, sungguh Ridhomu adalah Ridho Ilahi Rabbi.. Mudahkanlah jalanku ke JannahNya..
Karena bagiku kau adalah kunci Jannahku..

Kamis, Juni 17, 2010

cinta...

Rabb..
Betapa banyak org2 yang mengumbar dusta atas nama cinta.. aku sama sekali tak mengerti..

Betapa banyak org yang menangis kerana tersakiti oleh cinta.. Aku tak mengerti..

Tak sedikit org y hancur juga katanya karena cinta.. Aku sungguh tak mengerti..

Namun ada pula yang bahagia, juga katanya karena cinta.. Kembali aku tak mengerti..

Rabb..
PadaMu ku katakan aku tak tau apa itu cinta.. Seperti apa jatuh cinta.. dan bagaimana itu cinta..

Aku pernah menaruh harapan pada manusia, namun kekecewaan yang ku dapatkan, Rabb bila itu jatuh cinta.. Jangan biarkan aku merasakannya lagi..

Aku pernah memelihara kesetiaan pada manusia, kembali penghianatan yang kurasakan, bila itu di
sebut cinta, kumohon jauhkan aku darinya..

Pernah pula kurangkai mimpi, membangun istana yang indah dengan manusia..Namun semuanya porak-poranda, bila itu yang namanya cinta, matikan rasa itu padaku..

Rabb..
Aku hanya ingin jatuh cinta pada seseorang y juga mencintaiMu..
Aku hanya ingin menaruh harapan, pada seseorang yang hanya berharap padaMu..
Aku hanya ingin memelihara kesetiaan pada dia yang mau menggadaikan diri dan jiwanya padaMu..
Aku hanya ingin merajut mimpi membangun seribu istana, pada dia yang merindukan wajahMu..

Rabb..
ini janjiku padaMu.. Bila kelak Kau mempertemukan aku dengannya..
Maka Akan ku persembahkan selaksa cintaku padanya..
Menjadikannya satu-satunya perhiasan terindah di mata dan hatiku, bukan krn keindahan fisiknya.. Akan ku Jaga kehormatannya dengan sebaik-baiknya, bukan karena kedudukannya y tinggi..
Akan kudidik generasi2 penerus kami menjadi generasi rabbani, bukan karena kenikmtan dunia..

Namun karena cintaku, cintanya, cinta kami.. Terikat oleh CintaMu..

Rabu, Juni 16, 2010

Nikmat Syukur

Syukur adalah memuji sang pemberi nikmat atas kebaikan yang telah ia kuasakan kepada anda.

Syukur seorang hamba itu terdiri atas tiga rukun – dan ketiga-tiganya harus ada. Yaitu;

  1. Secara batin mengakui nikmat.
  2. Secara lahir membicarakannya.
  3. Menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepad Allah‘Azza wa Jalla.

Jadi, syukur itu berkaitan dengan hati, lisan dan anggota badan sekaligus. Hati untuk ma’rifal dan mahabbah. Lisan untuk memuji. Anggota badan untuk menggunakannya dalam menaati Allah dan mencegah dari bermaksiat kepada-Nya.

Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebut syukur dan iman secara beruntun. Dia menyatakan, tidaklah perlu mengadzab makhluk, jika mereka bersyukur dan beriman.

مَايَفْعَلُ اللهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْتُمْ وَءَامَنتُمْ

“Mengapa Allah mengadzab kalian, jika kalian bersyukur dan beriman.” (Qs. An-Nisa: 147)

Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan bahwa di antara hamba-hamba-Nya, yang berhak atas karunia-Nya adalah mereka yang pandai bersyukur.

وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَؤُلآءِ مَنَّ اللهُ عَلَيْهِم مِّن بَيْنِنَآ أَلَيْسَ اللهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ

Dan demikianlah Kami uji sebagian mereka dengan yang lain, supaya mereka berkata, ‘Apakah mereka orang-orang yang diberi karunia oleh Allah di antara kami?’ Bukankah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur.” (Qs. Al-An’am: 53)

Allah ‘Azza wa Jalla membagi manusia menjadi dua; syakuur (yang bersyukur) dan kaafuur (yang kufur). Hal yang paling dimurkai oleh-Nya adalah kekafiran dan orang-orang kafir. Sedangkan, hal yang paling dicintai oleh-Nya adalah kesyukuran dan orang-orang yang pandai bersyukur.

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

“Sungguh telah Kami tunjukkan kepadanya jalan itu. Adakalanya ia bersyukur dan adakalanya ia kufur.” (Qs. Al-Insan: 3)

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan ingatlah ketika Rabb-mu memberitahukan, jika kalian bersyukur niscaya Aku akan tambah bagi kalian. Dan jika kalian kufur, sesungguhnya adzab-Ku itu amatlah berat.” (Qs. Ibrahim: 7)

Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan tambahan (rezeki), tergantung kepada kesyukuran. Dan tambahan dari-Nya adalah tambahan yang tiada batas, sebagaimana syukur itu sendiri juga tiada batas. Allah ‘Azza wa Jalla juga menjadikan banyak pahala bergantung kepada kehendak-Nya. Seperti,

فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ إِن شَآءَ

“Maka, pastilah Allah akan menjadikan kalian kaya dengan karunia-Nya, jika Dia menghendaki.” (Qs. At-Taubah: 28)

وَيَغْفِرُ لِمَن يَشَآءُ

“Dan Allah memberikan ampunan bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” (Qs. Al-Maidah: 40)

وَيَتُوبَ اللهُ عَلَى مَن يَشَآءُ

“Dan Allah menerima taubat dari siapa saja yang Dia kehendaki.” (Qs. At-Taubah: 15)

Allah ‘Azza wa Jallamenjadikan balasan syukur tanpa pembatasan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ

“Dan Kami akan membalas orang-orang yang bersyukur.” (Qs. Ali-Imran: 145)

Tatkala Iblis mengerti nilai syukur sebagai kedudukan tertinggi dan termulia, maka ia pun mencanangkan tujuan akhirnya, yaitu menjauhkan manusia dari bersyukur.

ثُمَّ لاَتِيَنَّهُم مِّنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَآئِلِهِمْ وَلاَتَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Lalu aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari samping kanan, dan dari samping kiri. Sehingga Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Qs. Al-Araf: 17)

Allah ‘Azza wa Jalla pun menyebutkan bahwa orang-orang yang bersyukur itu sedikit.

وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

“Dan sedikit saja dari hamba-hambKu yang pandai bersyukur.” (Qs. Saba’: 13)

Termuat dalam Shahih Bukhari dan, bahwa Nabi bangun malam sampai pecah-pecah kedua (telapak) kaki beliau. Ditanyakan kepada beliau, “Engkau melakukan semua ini, padahal Allah telah mengampuni semua dosamu baik yang sudah maupun yang akan berlalu?” Beliau menjawab, “Tidak pantaskah aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kepada Mu’adz Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَ اللهِ إِنِّي لأُحِبُّكَ فَلاَ تَنْسَ أَنْ تَقُوْلَ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ: اللّهُمَّ أَعِنِّي عَلي ذِكْرِكَ ,َشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu. Maka, di setiap penghujung shalat janganlah kamu lupa membaca (artinya), ‘Ya Allah, tolonglah aku agar selalu ingat kepada-Mu, mensyukuri-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.’” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Adz-Dzahabi)

Syukur adalah pengikat nikmat dan penyebab bertambahnya nikmat tersebut. Umar bin Abdul Aziz berkata, “Ikatlah nikmat-nikmat Allah ‘Azza wa Jalla dengan bersyukur kepada-Nya.”

Ibnu Abu Dunya meriwayatkan, kepada seorang laki-laki dari Hamadzan, Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya nikmat itu berhubungan dengan syukur. Sedangkan syukur itu berkaitan dengan maziid (penambahan nikmat). Keduanya tidak bisa dipisahkan. Maka mazid dari Allah tidak akan terputus sampai terputusnya syukur dari hamba”.

Hasan Al-Bashri berujar, “Perbanyaklah menyebut nikmat-nikmat Allah. Sesungguhnya itu adalah kesyukuran. Allah telah memerintahkan Nabi-Nya untuk menceritakan nikmat Rabbnya. Dia berfirman:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan adapun tentang nikmat Rabb-mu, maka ceritakanlah!” (Qs. Adh-Dhuha: 11)

Allah‘Azza wa Jalla menyukai terlihatnya bekas-bekas nikmat-Nya kepada seorang hamba. Itu adalah syukur dalam wujud perbuatan.

Adalah Abu Al-Mughirah, jika ditanya tentang kabarnya, menjawab, “Pagi ini, kita tenggelam di dalam nikmat, tetapi lemah di dalam bersyukur. Rabb kita menampakkan cinta-Nya kepada kita, padahal Dia tidak membutuhkan kita. Sedangkan kita menampakkan kebencian kepada-Nya, padahal kita sangat membutuhkan-Nya.”

Syuraih berujar, “Setiap kali seorang hamba ditimpa suatu musibah, pasti di sana ada tiga nikmat Allah ‘Azza wa Jalla. Musibah itu tidak berkenaan dengan diin-nya, musibah itu tidak lebih berat daripada yang terjadi, dan musibah itu pasti akan terjadi lalu telah terjadi.”
Yunus bin Ubaid menceritakan seseorang telah bertanya kepada Abu Ghanimah, “Bagaimana keadaanmu?” Ia menjawab, “Pagi ini aku dalam keadaan mendapat dua nikmat yang aku tidak tahu mana yang lebih baik. Yaitu dosa-dosa yang Allah tutupi sehingga tidak ada seorang pun yang mampu menelanjangiku karenanya, serta kecintaan yang Allah semaikan di dalam hati manusia yang tidak akan mampu dicapai oleh amal-amaku.”

Dalam mengomentari ayat:

سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لاَيَعْلَمُونَ

“Akan Kami beri istidraaj (ujian) kepada mereka dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Qs. Al-A’raf: 182)

Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Mereka diliputi oleh kenikmatan dan terhalangi dari bersyukur.” Banyak juga yang menafsirkan, “Setiap kali mereka berbuat dosa, setiap kali itu pula mereka diberi nikmat.”

Seseorang bertanya kepada Abu Hazim. “Apakah syukurnya dua mata itu, wahai Abu Hazim?” Ia menjawab, “Jika kamu melihat kebaikan sebarkanlah, dan jika kamu melihat keburukan tutupilah!”

Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya dua telinga?” Abu Hazim menjawab, “Jika kamu mendengar kebaikan peliharalah, dan jika kamu mendengar keburukan cegahlah!”

Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya dua tangan?” Abu Hazim menjawab, “Jangan kamu gunakan ia untuk mengambil barang yang bukan haknya! Juga penuhilah hak Allah yang ada pada keduanya!”

Orang itu bertanya lagi, “Lalu bagaimana syukurnya perut?” Abu Hazim menjawab, “Hendaknya makanan ada di bagian bawah, sedangkan yang atas dipenuhi dengan ilmu!”

Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya kemaluan?” ia menjawab dengan membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ 5. إِلاَّعَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْمَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ 6. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَآءَ ذَلِكَ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ .7

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka. Kecuali kepada istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Maka mereka tidaklah tercela. Dan barangsiapa mencari selain itu semua, merekalah orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. Al-Mukminun: 5-7)

Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya dua kaki?” Ia menjawab, “Jika kamu melihat seseorang yang shalih meninggal, segera teladani amalannya. Dan jika mayit itu orang yang tidak baik, segera jauhi amal-amal yang dia kerjakan, kamu bersyukur kepada Allah! Sesungguhnya orang yang hanya bersyukur dengan lisannya itu seperti seseorang yang memiliki pakaian tetapi ia hanya memegang ujungnya, tidak memakainya. Maka ia pun tidak terlindungi dari panas, dingin, salju dan hujan.”

Beberapa ulama menulis surat kepada saudaranya. “Pagi ini kami diberi nikmat oleh Allah yang tidak terhingga, padahal kami banyak bermaksiat kepadanya. Kami tidak tahu terhadap yang mana kami harus bersyukur; terhadap keindahan yang dimudahkan ataukah terhadap dosa-dosa yang ditutupi?”

Sumber: Tazkiyatun Nafs, Ibnu Rajab al-Hambali, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Imam al-Ghazali, Pustaka Arafah
Dipublikasikan oleh: www.pengusahamuslim.com

Sabtu, Juni 12, 2010

Secercah Harapan dalam Sepenggal Pesan Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran Anak berbeda dengan orang dewasa. Daya pikir dan

Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran

Anak berbeda dengan orang dewasa. Daya pikir dan imajinasinya yang masih sederhana terkadang menimbulkan kesulitan bagi orang tua untuk mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang sifatnya abstrak. Di antaranya, bagaimana mengajari anak untuk senang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejelekan. Namun sesulit apapun, di sana akan selalu ada jalan. Berikut ini bimbingan Islam dalam mengajari anak beramar ma’ruf nahi munkar.

Anak-anak tumbuh dan berkembang. Tak bisa tidak, mereka pasti akan berhadapan dengan lingkungannya: lingkungan keluarga, lingkungan belajarnya, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas. Tak selamanya yang tampak dalam lingkungannya adalah kebaikan. Entah suatu saat, suatu kesalahan atau keburukan mungkin akan terjadi di hadapan mereka. Terlebih lagi bagi orang yang memiliki mata hati, kini tampak banyak kerusakan yang tersebar.

Tentu takkan ada yang berharap anak mereka turut jatuh dalam kerusakan itu. Bahkan mestinya setiap ayah dan ibu berharap anak mereka terjauh dari semua itu. Lebih dari itu, mestinya setiap ayah dan ibu berharap agar buah hati mereka mampu mengubah keburukan menjadi kebaikan, sesuai kemampuan yang ada pada mereka.

Inilah pula yang diharapkan oleh Luqman ketika dia berpesan kepada anaknya:

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Dan perintahkanlah manusia untuk melakukan kebaikan dan cegahlah mereka dari perbuatan mungkar…”(Luqman: 17)

Demikianlah Luqman Al-Hakim mengajarkan kepada anaknya untuk memerintahkan manusia melakukan kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran sejauh kemampuan dan kesungguhannya. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/194). Demikian pula yang semestinya diajarkan kepada anak-anak.

Begitu pun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar tidak berdiam diri ketika melihat kemungkaran terjadi, sebagaimana perintah ini disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِساَنِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْماَنِ

“Barangsiapa melihat suatu kemungkaran, hendaknya dia mengubah dengan tangannya. Apabila dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Apabila dia tidak mampu, hendaknya dia ingkari dengan hatinya, dan ini selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim no. 49)

Semestinya orang tua mengajarkan kepada anak-anak hal-hal yang berkenaan dengan amar ma’ruf nahi mungkar. Juga diajarkan, apakah amar ma’ruf nahi mungkar yang dilakukan itu akan menggiring pada kemungkaran yang lebih besar daripada kemungkaran yang didapati tersebut ataukah tidak. Apabila ternyata akan terjadi kemungkaran yang lebih besar, maka semestinya amar ma’ruf nahi mungkar itu ditunda penunaiannya hingga suatu saat, ketika kebaikan akan terwujud tanpa ada madharat ataupun madharat yang ada lebih ringan. (Fiqh Tarbiyatil Abna, hal. 204)

Memerintahkan manusia pada kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran akan senantiasa mendapatkan gangguan. Untuk itu, anak-anak didorong untuk bersabar dalam menghadapi segala ujian dan hal-hal yang memberatkan jiwa yang didapati ketika menunaikan kewajiban ini, sebagaimana dorongan Luqman. Dia menasihatkan kepada anaknya:

وَاصْبِرْ عَلَى ماَ أَصاَبَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُوْرِ

“Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya hal itu termasuk perkara yang dikokohkan dan harus diperhatikan.” (Luqman: 17)

Ini pula pengajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma:

الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخاَلِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنَ الَّذِي لاَ يُخاَلِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ

“Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada orang yang tidak mau bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas gangguan mereka.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 300: Shahih)

Dalam ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini tergambar keutamaan seseorang yang bergaul dengan manusia disertai menyuruh mereka untuk berbuat kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran serta bermuamalah dengan baik terhadap mereka. Orang seperti ini lebih mulia daripada orang yang mengasingkan diri dari manusia dan tidak mau bersabar dalam pergaulannya dengan mereka. (Subulus Salam, 4/320)

Anak-anak diajarkan pula untuk berlemah lembut di kala memerintahkan orang lain pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Hal ini sebagaimana dikatakan, “Hendaklah perintahmu pada kebaikan dilakukan dengan kebaikan dan laranganmu dari kemungkaran bukan dengan kemungkaran.” (Makarimul Akhlaq, hal. 57)

Demikian selayaknya yang dilakukan seseorang yang menunaikan amar ma’ruf nahi mungkar, karena akan lebih mudah mencapai tujuan. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menasihatkan, “Siapa yang menasihati saudaranya secara sembunyi-sembunyi, berarti dia telah menasihati dan menghiasinya. Dan siapa yang menasihati secara terang-terangan, berarti dia telah membuka aibnya dan menjelek-jelekkannya.” (Syarh Shahih Muslim, 2/24)

Tentu saja, seseorang harus mengetahui hal-hal yang ma’ruf agar dia dapat menyuruh manusia melakukannya, dan harus pula mengetahui kemungkaran agar dia dapat mencegah mereka darinya (Taisirul Karimir Rahman, hal. 649). Hal ini ditempuh dengan mempelajari dan memahami agama. Barulah ia menegakkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar ini. (Wujubul Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar, Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, hal. 25)

Oleh karena itu, sudah semestinya orang tua mendorong anak-anak mereka untuk mempelajari dan memahami agama. Karena mempelajari dan memahami agama itu sendiri merupakan tanda di mana seseorang akan meraih kebahagiaan dan ini pun menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki kebaikan pada dirinya. Demikian dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disampaikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma ketika berkhutbah di atas mimbar:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan memahamkannya terhadap agama.” (HR Muslim no. 1037)

Hendaknya orang tua membimbing anak-anaknya untuk mengikuti halaqah-halaqah ilmu dan memberikan semangat agar mereka bersungguh-sungguh menempuh jalan untuk menuntut ilmu, tanpa rasa bosan dan letih, karena jalan ini akan menyampaikan mereka pada ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berujung kepada jannah-Nya yang kekal abadi.

Benarlah janji Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim no. 2699)

Siapa kiranya yang tidak mendambakan kebaikan dan keberuntungan bagi anak-anak mereka, sebagaimana dikabarkan oleh Rabb semesta alam:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Dan hendaklah di antara kalian ada suatu kaum yang menyeru pada kebaikan, memerintahkan pada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=257

Bagaimana Asy-Syaikh Muqbil Mendidik Putri Beliau? Pernah membaca buku Nasehati lin Nisa? Buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia den

Pernah membaca buku Nasehati lin Nisa? Buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Nasehatku bagi Para Wanita ini ditulis oleh seorang aalimah (ulama wanita) dari negeri Yaman yang bernama Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah. Beliau hafizhahallah adalah putri dari ulama ahlul hadits di masa kita, yaitu Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wad’I rahimahullah.

Ummu Abdillah adalah seorang aalimah yang memiliki banyak keutamaan. Menurut Al-Ustadz Muhammad Barmim dalam biografi Syaikh Muqbil, Ummu Abdillah mengajar di madrasah nisa’ (khusus wanita) dan memiliki beragam karya tulis ilmiyah. Di antaranya:

- Shahihul Musnad fis Syamail Muhammadiyah (tentang kesempurnaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dicetak dalam dua jilid)
- Jamius Shahih fi ilmi wa Fadhlihi (tentang keutamaan ilmu)
- Tahqiq kitab As-Sunnah Ibnu Abi Ashim
- Nasehati lin Nisa
- dan sekarang beliau masih mengerjakan Shahihul Musnad min Sirah Nabawiyah

Yang ingin saya angkat dalam artikel ini adalah bagaimana cara Syaikh mendidik putrinya sehingga tumbuh menjadi seorang aalimah. Tema ini mungkin jarang diangkat karena biasanya yang dipersiapkan sebagai seorang alim atau ulama adalah anak laki-laki saja. Pernahkah kita bercita-cita putri kita menjadi seorang aalimah? Kalau memang ada keinginan tersebut, mungkin kita bisa bercermin terlebih dahulu dengan metodologi Asy-Syaikh dalam mendidik putrinya.

Ummu Abdillah berkisah tentang bagaimana ayahanda beliau –Syaikh Muqbil- mendidik putri-putrinya,

… Ayahanda tidak pernah menyia-nyiakan kami, betapa pun sibuknya beliau. Oleh karena itulah beliau sangat perhatian terhadap kami dalam mempelajari Al-Quran. Beliau selalu menuntun kami dalam membaca Al-Quran. Kadang beliau rekam agar hapalan kami semakin kokoh. Suatu ketika saudari saya menghapal, dan ayahanda sedang berada di perpustakaan. Saudariku tadi mencari beliau, ingin direkamkan hapalannya. Beliau pun meninggalkan risetnya, merekam hapalan saudariku lalu kembali lagi ke perpustakaan.

Begitu kami mengetahui qiraah yang baik, beliau membeli kaset qiraah Syaikh Al-Husari untuk kami. Beliau juga membelikan untuk masing-masing putrinya satu tape recorder tanpa radio. Ini bentuk penjagaan beliau agar kami tidak mendengar nyanyian.

Setelah kami mengerti lebih banyak, kami dibelikan masing-masing sebuah tape recorder dengan radionya, namun beliau tetap memperingatkan kami terhadap nyanyian dengan keras. Dan alhamdulillah, kami menerima peringatan tersebut. Kami tidak mendengarkan nyanyian sama sekali, seiring dengan rasa tidak senang terhadap nyanyian.

Dalam menghapal, beliau memerintahkan kami untuk hanya menggunakan satu mushaf dari satu penerbit karena itu akan membantu memperkokoh hapalan. Kalau beliau melihat di tangan kami ada mushaf yang berbeda, beliau akan memberi peringatan keras dan sangat marah.

Di antara murid beliau ada orang-orang Sudan dan Mesir yang datang beserta istri-istrinya. Di antara istri-istri mereka ada yang mengajar kami dengan diberi imbalan jasa oleh ayah sebagai bentuk perhatian beliau terhadap pendidikan. Dan apabila di buku-buku yang dipergunakan oleh para guru wanita tersebut ada gambar makhluk bernyawanya, beliau memerintahkan kami untuk menghapusnya. Kami pun menghapus gambar-gambar tersebut disertai dengan kebencian yang sangat terhadap gambar-gambar itu.

Lalu setelah itu kami pun diajari ilmu-ilmu syar’i Al Kitab dan As-Sunnah, sehingga kami pun menghafal bersama para guru tersebut dan kami pun hapal beberapa hadits walhamdulillah.

Beliau rahimahullah terkadang bersenang-senang dan bergurau bersama kami, dalam perkara yang diizinkan oleh Allah. Berbeda dengan kebanyakan kaum muslimin –kecuali yang dirahmati oleh Allah- yang bersenang-senang bersama anak-anak mereka dengan televisi, nyanyian, permainan-permainan gila, serta kerusakan lainnya. Padahal nabi kita bersabda, “Kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang dipimpinnya.”

Beliau selalu melarang kami terlalu banyak keluar, dan beliau selalu mengharuskan kami untuk tidak keluar kecuali seizin beliau.

Ini apa yang dijalankan beliau semasa kami kecil.

Ada pun tentang pendidikan kami, beliau sangat ingin kami mendalami agama Allah dan mencari bekal ilmu syar’i. Sebab itulah, beliau mencurahkan kemampuan beliau untuk membantu kami menuntut ilmu dan membuat kami menggunakan kesempatan kami dengan sebaik-baiknya. Beliau selalu menyediakan waktu khusus untuk mendidik kami. Setiap hari kedua, beliau menanyakan pelajaran yang telah lalu. Jika pelajaran itu terlalu berat, maka beliau berikan dengan cara yang jauh lebih ringan.

Di antara pelajaran yang khusus kami pelajari di rumah adalah:
- Qatrun Nada sampai dua kali
- Syarh Ibnu Aqil sampai dua kali juga
- Tadribur Rawi
- Mushilut Thullabi ila Qowaidil I’rab (namun tidak selesai karena beliau sakit)

Majelis beliau senantiasa penuh dengan kebaikan, diskusi, dan pengarahan, sampai pun di atas hidangan makan atau via telepon.

Ketika beliau di Saudi sebelum berangkat ke Jerman, ayahanda mengucapkan salam lewat telepon kepada saya, “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”. Saya menjawab tanpa mengucapkan, “Wabarakatuh”. Beliau bertanya (menegur), “Mengapa tidak engkau balas dengan yang lebih utama?” sebagai isyarat pengamalan ayat ke 86 dari surat An-Nisa.

Terkadang beliau sengaja salah memberikan pertanyaan untuk menguji pemahaman kami, sebagaimana itu beliau lakukan juga kepada murid laki-laki. Kadang beliau bertanya tentang soal yang cukup berat, untuk memberikan faedah namun disuguhkan dengan pertanyaan terlebih dahulu. Metode ini pun diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana di dalam hadits Muadz.

Kadang ketika kami menemui kesulitan dalam pelajaran atau riset kami, beliau memerintahkan kami untuk meneruskan riset tersebut, atau beliau mengikuti kami ke perpustakaan dan membantu kami. Inilah yang menyebabkan kami begitu berduka karena kehilangan beliau rahimahullah. Siapa yang akan memperhatikan kami sepeninggal ayahanda?

Beliau selalu mendidik dan mengarahkan kami dengan lemah lembut. Dan dengan karunia Allah, kami tidak terdorong sedikit pun untuk menentang beliau, karena semua itu adalah demi kemaslahatan dan keuntungan kami juga. Semuanya adalah mutiara yang diuntai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.

Di antara yang mengagumkan pada diri beliau adalah tidak pernah kepada kami dalam perkara ijtihad kami yang memiliki sisi pandang lain. Kalau kami sudah memahami suatu masalah yang berbeda dengan pemahaman beliau maka beliau tidak memaksa kami, seperti juga kebiasaan beliau bersama murid-muridnya yang laki-laki. Beliau tidak pernah menekan mereka untuk memahami sesuatu yang masih perlu dipertimbangkan. Ini, sebagaimana para pembaca lihat, adalah kemuliaan yang sangat jarang ditemukan.

Beliau rahimahullah juga memperingatkan kami dari masyarakat, karena masyarakat kami adalah masyarakat yang rusak, bersegera dalam kesesatan dan hal-hal yang tidak berguna, kecuali yang dirahmati Allah.

Beliau juga memperingatkan kami dari sikap sombong. Beliau sangat benci kepada wanita yang sombong terhadap suaminya, beliau mengatakan, “Tidak ada kebaikan wanita yang seperti ini.”

Beliau mendorong kami untuk bersikap zuhud terhadap dunia yang rendah ini. Beliau bimbing kami untuk meniatkan apa yang kami makan dan minum untuk menguatkan kami dalam bertakwa, agar memperoleh pahala dari Allah. Beliau katakan, “Janganlah kamu sibukkan dirimu menyiapkan berbagai hidangan makanan. Apa yang mudah diolah, kita makan.”

Beliau bangkitkan semangat kami. Beliau bukan termasuk orang yang suka meruntuhkan semangat keluarga dan anak-anak perempuannya. Beliau membentuk kami dengan sebaik-baiknya, agar kami mudah dan bersemangat untuk bersungguh-sungguh dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat.

Di antara ucapan beliau kepada saya, “Saya berharap agar kamu menjadi wanita yang faqih.” Ya Allah, wujudkanlah harapan ayahanda, duhai Zat yang tidak diharap kecuali kepada-Nya, tempatkanlah beliau di surga firdaus yang tinggi.

(Diringkas dari buku “Secercah Nasehat dan Kehidupan Indah Ayahanda Al-Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I”, terbitan pustaka Al-Haura Jogjakarta).

Silakan dicopy dengan mencantumkan sumber www.anakmuslim.wordpress.com.

Rabu, Juni 09, 2010

TEMPAT-TEMPAT YANG BANYAK DITEMUKAN PARA SYAITAN ?

Ditulis oleh Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al-Imam

Tempat-tempat yang banyak ditemukan para syaitan diantaranya :

1. Tempat peristirahatan unta.

Dalam hadits Abdullah bin Mughaffal radiyallohu ‘anhu berkata, bersabda ..Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam:

صَلُّوا فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ وَلاَ تُصَلُّوا فِى أَعْطَانِ الإِبِلِ فَإِنَّهَا خُلِقَتْ مِنَ الشَّيَاطِينِ

” Shalatlah kalian di tempat peristirahatan (kandang) kambing dan janganlah kalian shalat di tempat peristirahatan (kandang) unta karena sesungguhnya unta itu diciptakan dari syaitan.” (HR. Ahmad (4/85), Ibnu Majah (769) dan Ibnu Hibban (5657) dan selainnya).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah sebagaimana yang disebutkan di dalam “Majmu Fatawa” (19/41) ketika menjelaskan tentang penyebab dilarangnya shalat di tempat peristirahatan unta. Yang benar bahwa penyebab (dilarangnya shalat) di kamar mandi, tempat peristirahatan unta dan yang semisalnya adalah karena itu adalah tempat-tempat para setan.

2. Tempat buang air besar dan kecil

Dalam hadits Zaid bin Arqam radiyallohu ‘anhu, dan selainnya yang diriwayatkan oleh Ahmad (4/373), Ibnu Majah (296), Ibnu Hibban ( 1406), Al Hakim (1/187) dan selainnya bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda :

إِنَّ هَذِهِ الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ ، فَإِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

” Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini dihadiri (oleh para setan, pen), maka jika salah seorang dari kalian hendak masuk kamar mandi (WC), ucapkanlah “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari setan laki-laki dan setan perempuan.”

الْخُبُثِ adalah setan laki-laki dan الْخَبَائِثِ adalah setan perempuan. Demikian banyak orang yang terkena gangguan jin adalah di tempat-tempat buang hajat.

3. Lembah-lembah. Sesungguhnya jin dan setan ditemukan di lembah-lembah dan tidak ditemukan di pegunungan. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dalam “Majmu Fatawa” (19/33) : “Lembah-lembah adalah tempatnya kaum jin karena sesungguhnya mereka lebih banyak ditemukan di lembah-lembah daripada di dataran tinggi.”

4. Tempat sampah dan kotoran.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dalam “Majmu Fatawa” (19/41) : “(Para Setan) ditemukan di tempat-tempat bernajis seperti kamar mandi dan WC, tempat sampah, kotoran serta pekuburan.”

5. Pekuburan.

Telah datang dari hadits Abu Said Al Khudri radiyallohu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:

الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ

” Permukaan bumi itu semuanya masjid (bisa dijadikan tempat untuk shalat, pen) kecuali pekuburan dan kamar mandi.” (HR. Ahmad (3/83), Abu Daud (492), Tirmidzi (317), Ibnu Hibban (1699), Al Hakim (1/251) serta yang lainnya).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah sebagaimana yang disebutkan di dalam “Majmu Fatawa” (19/41) ketika berbicara tentang tempat-tempat jin : “Pada pekuburan itu terdapat sarana menuju kesyirikan sebagaimana pekuburan juga menjadi tempat mangkalnya para syaitan Lihat ucapan beliau sebelumnya. Para syaitan menuntut orang yang hendak menjadi tukang sihir untuk selalu tinggal di pekuburan. Dan disanalah para syaitan turun mendatanginya dan tukang sihir itu bolak balik ke tempat ini. Para syaitan menuntutnya untuk memakan sebagian orang-orang mati.

6. Tempat yang telah rusak dan kosong.

Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam “Al Adab Al Mufrad” (579) dari Tsauban radiyallohu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, berkata kepadaku :

لا تسكن الكفور فإِن ساكن الكفوركساكن القبور

” Janganlah kamu tinggal di tempat yang jauh dari pemukiman karena tinggal di tempat yang jauh dari pemukiman itu seperti tinggal di kuburan.”

Hadits ini hasan. Berkata lebih dari satu ulama bahwa Al Kufuur adalah tempat yang jauh dari pemukiman manusia dan hampir tidak ada seorang pun yang lewat di situ. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang disebutkan dalam “Majmu Fatawa” (19/40-41) ketika berbicara tentang jin : “Oleh karena itu, (para syaitan) banyak ditemukan di tempat yang telah rusak dan kosong.”

7. Lautan

Dalam hadits Jabir radiyallohu ‘anhu berkata : Bersabda Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam :

إن إبليس يضع عرشه على البحر ثم يبعث سراياه

” Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas lautan dalam riwayat lain di atar air dan kemudian dia pun mengutus pasukannya.

(HR. Muslim: 2813).

Dan juga datang dari hadits Abu Musa radiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan yang lainnya dan hadits ini shahih. Sebagian ulama menyebutkan bahwa lautan yang dimaksud adalah samudera “Al Haadi” karena di sanalah tempat berkumpulnya semua benua.

8. Celah-celah di bukit.

Telah datang hadits Ibnu Sarjis radiyallohu ‘anhu dia berkata: bersabda Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam :

لايبلون أَحدكم في الجحر

” Janganlah salah seorang diantara kalian kencing di lubang…”

Mereka berkata kepada Qatadah: “Apa yang menyebabkan dibencinya kencing di lubang?”, dia berkata : “Disebutkan bahwa itu adalah tempat tinggalnya jin”. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (5/82), Abu Daud (29), An Nasaai (34), Al Hakim (1/186) dan Al Baihaqi (1/99). Lebih dari satu ulama yang membenarkan bahwa Qatadah mendengar dari Abdullah bin Sarjis radiyallohu ‘anhu,. Lihat ktab “Jami’ At Tahshiil.”

Hadits ini dishahihkan oleh Al Walid Al Allamah Al Wadi’i dalam “Ash Shahih Al Musnad Mimma Laisa fii Ash Shahihain” (579).

9. Tempat-tempat kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan

Para setan ditemukan di setiap tempat yang di dalamnya manusia melakukan kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan. Tidaklah dilakukan kebid’ahan dan penyembahan kepada selain Allah Subhaanahu wat’ala, kecuali syaitan memiliki andil yang cukup besar di dalamnya dan terhadap para pelakunya.

10.Rumah-rumah yang di dalamnya dilakukan kemaksiatan

Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasalla, bersabda :

أن الملائكة لا تدخل بيتا فيه كلب ولا صورة

” Sesungguhnya malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar.” (HR. Al Bukhari: 3226 dan Muslim : 2106 dari hadits Abu Thalhah dan Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma dan datang pula dari para sahabat yang lain).

Jika malaikat tidak masuk ke dalam rumah, maka syaitanlah yang masuk adalah syaitan karena malaikat adalah tentara-tentara Allah Subhaanahu wata’ala yang diutus untuk menjaga kaum mukminin dan menolak kemudharatan dari mereka. Termasuk kebodohan adalah jika seorang muslim mengusir malaikat dari rumahnya yang menyebabkan masuknya jin dan setan ke dalamnya. Maka makmurkanlah rumah itu dengan dzikir kepada Allah Subhaanhu wata’ala, ibadah, dan membaca Al Qur’an. Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda :

لا تجعلوا بيوتكم مقابر إن الشيطان ينفر من البيت الذي تقرأ فيه سورة البقرة

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai pekuburan karena sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan Surat Al Baqarah.” (HR. Muslim (780), Ahmad (2/337), Tirmidzi (2877) dan selainnya).

11.Pasar-pasar

Telah datang dari Salman radiyallohu ‘anhu, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (2451) dan selainnya berkata :

لا تكونن إن استطعت أول من يدخل السوق ولا آخر من يخرج منها فإنها معركة الشيطان وبها ينصب رايته

” Janganlah engkau menjadi orang pertama yang masuk pasar jika engkau mampu dan jangan pula menjadi orang paling terakhir yang keluar darinya pasar karena pasar itu adalah tempat peperangan para syaitan dan disanalah ditancapkan benderanya.”

Ucapan ini memiliki hukum marfu (disandarkan kepada Rasululla Shallallohu ‘alaihi wasallam, pen). Yang dimaksud dengan ا لمعر كة dalam kata معركة الشيطان adalah tempat peperangan para syaitan dan mereka menjadikan pasar sebagai tempat perang tersebut karena dia mengalahkan mayoritas penghuninya disebabkan karena mereka lalai dari dzikrullah dan gemar melakukan kemaksiatan.

Dan ucapannya ” وبها ينصب رايته ” (dan dengannya dipasang benderanya), merupakan isyarat ditemukannya para syaitan untuk mengadu domba sesama manusia.

Oleh karena itu, pasar merupakan tempat yang dibenci oleh Alla Subhaanahu wata’ala. Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda:

أ حب البلا د إلى الله مساجدها وأبغض البلا د إلى الله أ سواقها

” Tempat yang paling disukai oleh Allah adalah masjid dan tempat yang paling dibenci oleh Allah adalah pasar.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (671) dan selainnya dari hadits Abu Hurairah radiyallohu ‘anhu. Demikianlah para setan berkumpul di tempat-tempat yang di dalamnya gemar dilakukan perbuatan maksiat dan kemungkaran.

12.Jin dan para setan berkeliaran di jalan-jalan dan lorong-lorong.

Dalam hadits Riwayat Bukhari (3303) dan Muslim (2012) dari Jabir radiyallohu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

إذا كان جنح الليل فكفوا صبيانكم فإن للجن انتشارا وخطفة وأطفئوا المصابيح عند الرقاد فإن الفويسقة ربما اجترت الفتيلة فأحرقت أهل البيت

” Jika telah datang malam, maka cegahlah anak-anak kalian untuk keluar karena sesungguhnya jin itu berkeliaran dan melakukan penculikan. Matikan lentera di saat tidur karena sesungguhnya binatang fasik (tikus, pen) itu kadang menarik sumbu lampu sehingga membakar penghuni rumah tersebut”.

SUMBER : http://www.salafybpp.com/index.php?option=com_content&view=article&id=98:tempat-tempat-yang-banyak-ditemukan-para-syaitan-&catid=1:aqidah-islam&Itemid=28

Penjelasan Tentang Hukum Nasyid Didalam Syari’at Islam Serta Fatwa Para Ulama tentang NasyidAkhir-akhir telah berkembang dikalangan sebagian muslimin

Akhir-akhir telah berkembang dikalangan sebagian muslimin suatu jenis hiburan yang dikenal dengan “nasyid islami”, dan dianggap sebagai alternatif pengganti lagu-lagu dan musik yang didendangkan oleh para biduan (para penyanyi-pen) dan biduanita. Masing-masing dari “tim nasyid” tersebut menggunakan berbagai macam variasi dalam menampilkan nasyidnya, ada yang disertai rebana saja, yang kadang disertai dengan tepukan tangan atau alat-alat tertentu, lalu dinyanyikan oleh orang yang bersuara merdu atau secara berkelompok, ada pula yang meluas, dengan menggunakan semua alat musik yang digunakan oleh para pelantun lagu-lagu yang tidak senonoh, bahkan ada yang tidak ada perbedaan antara lagu-lagu tersebut dengan apa yang dinamakan “nasyid islami” kecuali sya’irnya saja. Adapun iramanya, musiknya dan lantunannya, tidak ada perbedaan.

Bila kita kembali melihat sejarah, kita tidak mengetahui dalam sejarah muslimin berdakwah dengan cara-cara seperti ini, kecuali dari kelompok shufiyyah yang dikenal gemar membuat bid’ah dan menganggap baik hal-hal yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, dan para sahabatnya y, sehingga sebagian ulama menghukumi mereka dengan zindiq.

Imam Syafi’i rahimahullah Ta’ala berkata:

“aku meninggalkan Irak dengan munculnya sesuatu yang disebut “at-taghbiir” yang dibuat oleh kaum zindiq, mereka memalingkan manusia dari Alqur’an”.

(diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam “al-amru bil ma’ruf”:36. Abu Nu’aim dalam Al-hilyah (9/146), Al-Albani berkata: sanadnya shahih. Ibnul Qayyim menyebutkan dalam ighatsatul lahfaan (1/229), bahwa telah mutawatir penukilan dari Imam Syafi’i . Lihat :At-tahriim (163).

Imam Ahmad ditanya tentangnya ,beliau menjawab: itu adalah bid’ah. Lalu beliau ditanya: apakah kami duduk bersama mereka? Beliau menjawab, tidak.

(Majmu’ fatawa:11/569)

Abu Dawud berkata : itu tidak menakjubkan aku.

(Al-Insaf,Al-Mardawi:8/343).

At-taghbir adalah bait-bait sya’ir yang mengajak bersikap zuhud didunia, yang dilantunkan oleh seorang penyanyi. Lalu sebagian yang hadir memukulkan potongan ranting diatas hamparan tikar atau bantal, yang disesuaikan dengan lantunan lagunya tersebut. Dari sini, nampaklah bahwa apa yang disebut dengan istilah “nasyid islami” tidak lain dari bid’ah yang telah dimunculkan oleh kaum Shufi, lalu diberi polesan “islami” agar diterima oleh masyarakan yang tidak mengerti tentang hakekat bid’ah ini, seperti halnya kebatilan-kebatilan lain yang disandarkan kepada islam, “musik islami”, ”pacaran islami”, demokrasi islami”, ”demonstrasi islami”, atau embel-embel “islami” yang lainnya. Namun walhamdulillah, syari’at yag mulia ini telah mengajari kita untuk tidak memandang sesuatu hanya sekedar melihat namanya, namun yang terpenting adalah hakekat dari apa yang terkandung dibalik nama tersebut.

Maka, sebagai nasehat bagi kaum muslimin, kami sebutkan beberapa fatwa para ulama seputar hukum yang disebut dengan “nasyid islami”.

Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Syeikhul islam ditanya :

“tentang sekelompok orang yang berkumpul untuk melakukan berbagai dosa besar seperti pembunuhan, perampokan, pencurian. minum khamr dan yang lainnya. Kemudian salah seorang diantara syekh yang dikenal memiliki kebaikan dan mengikuti sunnah ingin mencegah mereka dari hal tersebut. Dan tidak memungkinkan baginya melakukan itu kecuali dengan cara membuat untuk mereka sebuah sama’ (nasyid) yang mereka berkumpul padanya dengan niat ini,dengan menggunakan rebana tanpa alat gemerincing dan nyanyian seorang penyanyi dengan sya’ir-sya’ir yang diperbolehkan tanpa menggunakan seruling.Tatkala dilakukan cara ini, diantara kelompok tersebut ada yang bertaubat, dan orang yang sebelumnya tidak shalat, suka mencuri dan tidak berzakat, berhati-hati dari syubhat dan mengerjakan kewajiban, dan menjauhi perkara yang diharamkan. Maka dibolehkan apakah nasyid seperti ini yang dibuat syekh ini dengan cara tersebut, karena memberi dampak kemaslahatan? Dalam keadaan tidak memungkinkan mendakwahi mereka kecuali dengan cara ini?

Maka beliau menjawab dengan panjang lebar, dan diantara yang beliau katakan:

“sesungguhnya syekh tersebut ingin membuat kelompok yang hendak melakuka berbagai dosa besar itu bertaubat, dan tidak memungkinkan baginya hal itu kecuali dengan cara yang disebutkan berupa metode yang bid’ah, ini menunjukkan bahwa syekh tersebut jahil tentang metode-metode yang syar’i yang menyebabkan para pelaku maksiat bertaubat, atau tidak mampu melakukannya. Karena sesungguhnya Rasul Shallallohu ‘alaihi wasallam, para shahabat, dan tabi’in mereka mendakwahi orang yang lebih buruk dari mereka yang disebutkan ini, dari kalangan orang-orang kafir, fasiq dan pelaku maksiat dengan cara-cara yang syar’i, yang telah Allah Subhaanahu wata’ala, memberikan kecukupan kepada mereka dengan cara itu dari berbagai cara-cara bid’ah. Dan tidak boleh dikatakan: bahwa tidak terdapat cara-cara yang syar’i yang Allah Subhaanahu watala’a, mengutus Nabi-nya dengannya yang dapat menjadikan para pelaku maksiat bertaubat, sebab telah diketahui secara pasti dan penukilan yang mutawatir bahwa telah bertaubat dari kekafiran, kefasikan, kemaksiatan, orang-orang yang tidak ada yang mampu menghitung jumlahnya kecuali Allah Azzawajalla, dengan cara-cara yang syar’i, yang tidak disebutkan padanya seperti apa yang dilakukan dari berkumpul dengan cara bid’ah, bahkan orang-orang terdahulu dari kalangan muhajirin dan anshar dan yang mengikuti mereka dengan kebaikan –dan mereka adalah para wali Allah yang bertaqwa dari kalangan umat ini- telah bertaubat kepada Allah Subhaanahu wata’ala, dengan cara-cara yang syar’i.

(majmu’ fatawa:11:624-625)

Fatwa Al-Imam Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Beliau menyebutkan dalam kitabnya “tahriim alaat at-tharb”, hal: 181, setelah menyebutkan tentang hukum nyanyian dan musik,lalu beliau berkata:

“masih tersisa bagiku kalimat terakhir yang dengannya aku menutup risalah yang bermanfaat ini –insya Allah Azzawajalla-, yaitu septar apa yang mereka sebut dengan istilah “nasyid islami atau nasyid agama”. Mak a aku mengatakan:bahwa telah jelas pada pasal ketujuh tentang sya’ir-sya’ir yang boleh didendangkan dan yang tidak diperbolehkan, sebagaimana pula telah jelas sebelumnya tentang haramnya alat-alat musik seluruhnya, kecuali duf (rebana/gendang yang terbuka bagian bawahnya) pada hari raya dan pesta pernikahan untuk para wanita, dan dari pasal terakhir ini kami jelaskan bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu wata’ala, kecuali dengan apa yang disyariatkan Allah Azzawajalla, apalagi mendekatkan diri kepada-Nya dengan sesuatu yang diharamkan?, dan karena itulah para ulama mengharamkan nyanyian kaum shufiyyah, dan sangat keras pengingkaran mereka terhadap orang-orang yang menganggapnya halal, Apabila seorang pembaca menghadirkan dalam benaknya prinsip-prinsip yang kokoh ini, maka akan jelas baginya dengan sejelas-jelasnya bahwa tidak ada perbedaan dari sisi hukum antara nyanyian kaum shufiyyah dengan nasyid islami.

Bahkan pada nasyid islami terdapat hal negatif lainnya, yaitu terkadang nasyid tersebut didendangkan seperti lantunan nyanyian-nyanyian yang tidak punya rasa malu, dan dietakkan berdasarkan peraturan-peraturan musik ala timur atau ala barat yang membuat girang para pendengarnya dan membuat mereka berjoget, serta mengeluarkan mereka dari kesadaran mereka, sehingga yag menjadi tujuan utamanya adalah lantunan dan kegembiraan, dan bukan hanya sekedar nasyid. Maka ini adalah bentuk penyelisihan yang baru, yaitu tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak punya rasa malu. Dan dapat menghasilkan penyelisihan lain dibelakang hal tersebut, yaitu tasyabbuh dengan mereka dalam hal berpaling dari al-qur’an dan meninggalkannya.Sehingga mereka termasuk kedalam keumuman sesuatu yang dikeuluhkan oleh Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam dari kaummya, sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya Subhaanahu wata’ala :

يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوراً

Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an itu sesuatu yang tidak diacuhkan”. (QS.Al-furqan:30)

Sesungguhnya aku benar-benar mengingat bahwa tatkala aku berada di Damaskus–dua tahun sebelum aku berhijrah ke sini (Oman)- bahwa sebagian pemuda muslim mulai bernyanyi dengan nasyid yang maknanya masih selamat (dari penyimpangan), dengan tujuan untuk menyaingi nyanyian kaum shufiyyah seperti qasidah Al-Buwaishiri dan yang lainnya, dan nasyid tersebut terekam dikaset. Lalu tidak berapa lama kemudian nasyid tersebut sudah dibarengi dengan pukulan rebana, kemudian pada awal mulanya mereka menggunakannya pada acara-acara pesta pernikahan,dengan alasan bahwa menggunakan rebana pada acara tersebut boleh, kemudian kaset tersebut menyebar dan dicopi menjadi beberapa kaset salinan, dan tersebarlah penggunaannya disekian banyak rumah, dan merekapun menyimaknya siang malam, apakah dalam sebuah acara tertentu ataupun tidak, dan hal tersebut menjadi hiburan mereka, dan tidak hal tersebut terjadi melainkan karena hawa nafsu yang mendominasi, dan kebodohan terhadap tipu daya setan,maka itu memalingkan mereka dari perhatian terhadap alqur’an dan mendengarnya, apalagi mempelajarinya, sehingga al-qur’an pun menjadi sesuatu yang ditinggalkan sebagaimana yang disebut dalam ayat yang mulia tersebut. Berkata Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya (3/317):

“Allah Azzawajalla berfirman dengan mengabarkan tentang Rasul-Nya dan Nabi-Nya Muhammad Shallallohu ‘alaihi wasallam, bahwa ia berkata: (QS.Al-furqan:30), yang demikian itu karena orang-orang musyrik tidak mau mendengar al-qur’an dan menyimaknya, sebagaimana firman Allah Azzawajalla:

وَقَيَّضْنَا لَهُمْ قُرَنَاء فَزَيَّنُوا لَهُم مَّا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَحَقَّ عَلَيْهِمُ الْقَوْلُ فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِم مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ إِنَّهُمْ كَانُوا خَاسِرِينَ

25. Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka dan tetaplah atas mereka keputusan azab pada umat-umat yang terdahulu sebelum mereka dari jinn dan manusia, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang rugi

(QS.Fushshilat:25)

Adalah mereka jika dibacakan kepada mereka al-qur’an maka mereka ribut dan memperbanyak percakapan pada perkara yang lain, sehingga mereka tidak mendengarnya, maka ini termasuk meninggalkannya, dan meninggalkan beriman dengannya, dan meninggalkan pembenaran terhadapnya termasuk mengabaikan al-qur’an, dan meninggalkan mentadabburi dan memahaminya termasuk mengabaikannya, dan meninggalkan beramal dengannya, melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya, adalah termasuk mengabaikannya, dan berpaling darinya menuju kepada selainnya dari sya’ir, atau perkataan, atau nyanyian, atau yang melalaikan, atau sebuah ucapan, atau satu metode yang diambil dari selain –nya termasuk mengabaikannya. Maka kami memohon kepada Allah yang maha Mulia, yang maha pemberi anugerah, maha kuasa atas segala apa yang Dia inginkan, agar menghindarkan kita dari kemurkaan-Nya, dan mengantarkan kita menuju apa yang diridhaiNya dari menghafal kitab-Nya dan memahaminya, dan menegakkan kandungannya, baik dimalam hari maupun disiang hari, dengan cara yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya, sesungguhnya Dia Maha mulia dan Maha Pemberi”.

(tahriim alaat at-tharb:181-182).

Fatwa syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin

Beliau –rahimahullah – ditanya:” aku pernah mendengar sebagian nasyid islami dan padanya terdapat lantunan-lantunan yang menyerupai nyanyian, namun tanpa musik dan dengan suara yang indah. Maka apakah hukumnya? Sebagai pengetahuan bahwa ada sebagian ikhwan tidak senang dengannya dan mengatakan: bahwa itu termasuk amalan kaum shufiyyah? Aku berharap dari syekh yang mulia untuk memberi jawaban!

Maka beliau menjawab setelah mengucapkan hamdalah dan shalawat kepada Rasul Shallallohu ‘alaihi wasallam:

“Nasyid-nasyid yang ditanyakan oleh penanya ini yang dinamakan dengan nasyid islami, terdapat padanya sebagian perkara terlarang Diantaranya bahwa nasyid tersebut dinyanyikan seperti nyanyian para biduan, yang bernyanyi dengan nyanyian-nyanyian tidak senonoh, dan diantara hal yang terlarang bahwa itu dilantunkan dengan suara yang indah dan merdu. Dan juga diantaranya terkadang dibarengi dengan tepuk tangan, atau memukul piring dan yang semisalnya. Dan yang disebut pada pertanyaan yang tidak ada tepukan tangan dan tidak ada pukulan piring atau yang semisalnya, namun sipenyanya berkata bahwa ia dilantunkan seperti nyanyian yang tidak senonoh, dan dengan suara yang indah dan merdu. Maka kami berpandangan agar tidak didengarkan nasyid seperti ini, sebab dapat menimbulkan fitnah dan menyerupai lantunan nyanyian para biduan yang tidak punya rasa malu. Dan yang lebih baik dari itu, seseorang mendengarkan nasehat-nasehat yang bermanfaat, yang diambil dari kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya Shallallohu ‘alaihi wasallam, dan perkataan para sahabat dan para imam dari kalangan para ahli ilmu dan agama, karena padanya sudah terdapat kecukupan dan kepuasan dari yang lainnya. Seseorang jika terbiasa tdak mengambil sesuatu sebagai nasehat kecuali dengan cara tertentu , seperti lantunan nyanyian, maka hal itu menyebabkan dia tidak dapat mengambil manfaat dengan nasehat-nasehat yang lain. Sebab jiwanya telah terbiasa tidak mengambilnya kecuali nasehat dengan cara ini, dan ini sangat berbahaya, dapat menyebabkan seseorang bersikap zuhud terhadap nasehat alqur’an yang mulia dan sunnah nabi, serta perkataan para ulama dan para imam.”

(diterjemahkan dari kaset: nur ‘alad darb,kaset no:258,bagian kedua)

Fatwa Al-Allamah Hamud bin Abdillah At-Tuwaijari

“Sesungguhnya sebagian nasyid-nasyid yang yang banyak dilakukan oleh para pelajar diberbagai acara dan ditempat-tempat musim panas, dan mereka menamakannya dengan “nasyid-nasyid islami”, bukan dari islam, sebab telah dicampuri dengan nyanyian, lantunan naik turun, dan membuat girang yang membangkitkan para pelantun nasyid dan pendengarnya, dan mendorong mereka untuk bergoyang dan memalingkan mereka dari dzikrullah ,bacaan al-qur’an, mentadabburi ayat-ayatnya, dan mengingat apa-apa yang disebut padanya berupa janji, ancaman, berita para nabi dan umat-umat mereka,dan yang lainnya dari hal-hal yang bermanfaat bagi siapa yang mentadabburinya dengan sebenar-benar tadabbur, dan mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya, dan menjauhi apa yang disebutkan didalamnya dari larangan-larangan dan dia menghendaki dari ilmu dan amalannya wajah Allah Subhaanahu wata’ala.

(kitab: “iqamatud dalil ‘alal man’i minal anasyid al-mulahhanah wat-tamtsiil:6.dari situs sahab.net)

Barangsiapa yang mengqiyaskan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan lantunan nyanyian, dengan sya’ir-sya’ir para sahabat Radiyallohu ‘anhu, tatkala mereka membangun masjid nabawi, dan tatkala mereka menggali parit khandaq, atau mengqiyaskan dengan sya’ir perjalanan yang biasa diucapkan para sahabat untuk memberi semangat kepada untanya diwaktu safar, maka ini adalah qiyas yang batil. Sebab para sahabat radiyallohu anhum mereka tidak pernah bernyanyi dengan sya’ir-sya’ir tersebut dan menggunakan lantunan-lantunan yang membuat girang yang membangkitkan para pelantun nasyid dan pendengarnya, seperti yang dilakukan oleh sebagian pelajar diberbagai acara dan tempat-tempat musim panas.

Namun para sahabat radiyallohu anhum mereka hanya mencukupkan dalam melantunkan sya’ir-sya’ir tersebut dengan mengangkat suara, dan tidak disebutkan bahwa mereka berkumpul untuk melantunkan nasyid dengan satu suara seperti yang dilakukan para pelajar dizaman kita. kebaikan semua kebaikan dengan mengikuti apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam dan para sahabatny, dan kejahatan semua kejahatan dengan menyelisihi mereka, lalu mengambil perkara-perkara baru yang bukan dari bimbingan mereka ,dan tidak dikenal pada zaman mereka.

Namun itu berasal dari bid’ah kaum shufiyyah yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan melalaikan. Telah disebutkan dari mereka bahwa mereka berkumpul untuk melantunkan nasyid yang dilantunkan dengan lantunan nyanyian dalam berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam menjunjung Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam, dan mereka berkumpul untuk melakukan hal itu dan mereka menamakannya dengan dzikir, namun pada hakekatnya merupakan olok-olokan terhadap Allah dan dzikir-Nya. Dan siapa yang kaum shufi yang sesat menjadi pendahulu dan panutan mereka, maka itu adalah seburuk-buruk yang telah mereka pilih untuk diri-diri mereka.” (hal:7-8)

Dan beliau juga berkata: “sesungguhnya penamaan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan lantunan nyanyian dengan nama “nasyid islami”, menyebabkan timbulnya perkara-perkara jelek dan berbahaya:

- Diantaranya adalah: menjadikan bid’ah ini termasuk diantara perkara islam dan penyempurnanya, dan ini mengandung unsur tambahan terhadap syari’at islam, dan mengandung pernyataan bahwa syari’at islam belum sempurna di zaman Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam.

- Bertentangan dengan firman Allah Azzawajalla :

(اليوم أكملت لكم دينكم)

(QS.Almaidah:3)

Maka ayat yang mulia ini merupakan nash yang menunjukkan kesempurnaan agama bagi umat ini, maka pernyataan bahwa nasyid yang berlirik (lagu) tersebut sebagai islami mengandung unsur penentangan terhadap nash ini, dengan menyandarkan nasyid-nasyid yang bukan dari agama islam kepada islam dan menjadikannya bagian darinya.

- Menisbahkan kepada Rasul Shallallohu ‘alaihi wasallam kekurangan dalam menyampaikan dan menjelaskan kepada umatnya, dimana beliau tidak menganjurkan mereka melantunkan nasyid secara berjama’ah dengan lirik lagu dan mengabarkan kepada mereka bahwa itu adalah nasyid islami.

- Menisbahkan kepada Rasul Shallallohu ‘alaihi wasallam, dan para sahabatnya Radiyallohu ‘anhu dengan menelantarkan salah satu perkara islam dan tidak mengamalkannya.

- Menganggap baik bid’ah nasyid yang dilantunkan dengan lantunan nyanyian, dan memasukkan kedalam perkara islam. Telah disebutkan oleh Asy-Syathibi dalam “Al-i’tisham” apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Habib dari Ibnul Majisyun berkata: aku mendengar Malik (bin Anas) berkata: barangsiapa berbuat bid’ah didalam islam dan ia menganggapnya baik,maka sungguh sia telah menganggap bahwa Muhammad Shallallohu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah, sebab Allah berfirman:

(اليوم أكملت لكم دينكم)

“maka apa yang pada masa itu tidak menjadi agama, maka pada hari inipun tidak menjadi agama.” (hal:11).

Fatwa Syekh Soleh Al-Fauzan

Syekh Soleh Al-Fauzan menyebutkan dalam kitabnya “al-khuthab alminbariyyah” (3/184-185):

“Diantara yang perlu menjadi perhatian: apa yang banyak beredar diantara para pemuda yang semangat menjalankan agama berupa kaset-kaset yang terekam padanya nasyid-nasyid, dengan suara berjama’ah yang mereka namakan “nasyid islami”, dan ini salah satu jenis nyanyian, dan terkadang dengan suara yang menimbulkan fitnah, dan dijual dibeberapa toko perekaman bersama dengan kaset rekaman al-qur’an al-karim, dan ceramah-ceramah Agama. Dan penamaan nasyid-nasyid ini dengan “nasyid islami” ini adalah pemberian nama yang keliru. Sebab Islam tidak pernah mensyari’atkan kepada kita nasyid, Islam hanya mensyari’atkan kepada kita berdzikir kepada Allah, membaca alqur’an, dan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Adapun nasyid-nasyid tersebut, maka itu berasal dari agama kelompok bid’ah shufiyyah, yang menjadikan agama mereka permainan dan hal yang melalaikan. Menjadikan nasyid sebagai agama adalah menyerupai kaum nashara, yang menjadikan agama mereka bernyanyi sejara berjama’ah dan lantunan yang membuat orang bergoyang. Maka wajib berhati-hati dari nasyid-nasyid ini, dan melarang menjual dan mengedarkannya. Disebabkan karena apa yang terkandung dari nasyid ini yang menimbulkan fitnah dan semangat yang tidak terkontrol, dan mengadu domba dikalangan kaum muslimin.”

(As’ilah al-manahij al-jadidah, Jamal bin Furaihan Al-Haritsi: 20-21)

Perbedaan antara apa yang dinamakan dengan “nasyid islami” dengan dendangan sya’ir para sahabat Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam

- Mereka mendendangkan sya’ir-sya’ir mereka diwaktu-waktu tertentu, seperti ketika safar (yang disebut dengan “hida’”), dengan tujuan mengusir rasa kantuk, atau tatkala melakukan satu pekerjaan yang cukup berat seperti membangun rumah ,parit, dan yang semisalnya (yang disebut rajz), sedangkan “nasyid islami” menjadi hiburan disetiap waktu, dengan alasan sebagai alternatif pengganti lagu-lagu cabul dan tidak punya rasa malu.

- berkata Sa’ib bin Al-Musayyab:

إني لأبغض الغناء وأحب الرجز

“sesungguhnya aku membenci nyanyian dan menyukai rajz”

(HR.Abdur razzaq dalam al-mushannaf:11/19743. Dishahihkan Al-Albani dalam at-tahriim:279)

- Apa yang mereka lantunkan dari sya’ir-sya’ir tersebut disebut dengan nasyid kaum Arab, dan bukan nasyid islami.

- Tujuan mereka melantunkan bait-bait syair tersebut adalah untuk meringankan beban yang sedang mereka alami, dari keletihan diwaktu safar, atau sedang bekerja keras. Sedangkan “nasyid islami” dibuat dengan tujuan “sarana dakwah”, agar orang yang mendengarnya menjadi sadar dari perbuatan maksiat yang dia lakukan, sebagaimana yang telah lalu dari fatwa syeikhul islam Ibnu Taimiyyah, atau dengan alasan sebagai alternatif pengganti lagu-lagu cabul.

- Lantunan syair mereka tidak menyebabkan bergoyang dan melenggak-lenggokkan badan, berbeda dengan yyang disebut “nasyid islami”.

- Lantunan syair-syair mereka tidak dibarengi dengan alat musik, sedangkan apa yang disebut “nasyid islami” mayoritasnya disertai dengan alat musik’

- Lantunan sya’ir mereka tidak disertai dengan intonasi do-re-mi seperti halnya nyanyian, berbeda dengan yang disebut nasyid islami yang menggunakan intonasi nyanyian, dengan lirik yang sama seperti nyanyian secara umum, bahkan diantara nasyid tersebut ada yang tidak memiliki perbedaan sama sekali dengan lagu-lagu cabul kecuali gubahannya saja. Adapun liriknya, lantunannya persis dan tidak berbeda.

- Mereka melantunkan syair-syair tersebut secara individu, bukan berjama’ah, tidak seperti apa yang dinamakan oleh mereka dengan “nasyid islami”.

(lihat kitab:al bayan li akhthaa’ ba’dhil kuttab, Syekh Saleh Fauzan :341, kitab _at-tahriim, Al-Albani:279).

Semoga Allah Azzawajalla, senantiasa membimbing kita untuk mengenal al-haq dan mengikutinya, dan memperlihatkan kepada kita kebatilan agar kita dapat menjauhkan diri darinya.

Balikpapan, Ma’had Ibnul Qoyyim 23 Safar 14329 H.

SUMBER : http://www.salafybpp.com/index.php?option=com_content&view=article&id=88:nasyid-disebut-nyanyian-islami-bolekah-di-dalam-islam-&catid=25:fataawa&Itemid=53

* * *

Fatwa Para Ulama Tentang Nasyid

Berikut adalah kumpulan fatawa para ulama islam dan kaum muslimin mengenai haramnya nasyid, mengingat kesesatan yang satu ini sangat tersebar luas dan telah memakan banyak korban dari kalangan masyarakat kaum muslimin yang awam, bahkan yang dianggap ‘lebih berkecimpung’ dalam dunia islam, baik melalui jalur politik maupun hiburan, wallahul musta’an.

Berikut nama para ulama yang kami bawakan fatwanya:

FATWA ASY-SYAIKH AL-’ALLAMAH
MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANY

Berkata Asy-Syaikh dalam kitabnya ‘Haramnya Alat-Alat Musik’ :

Fatwa beliau tentang Anasyid Islamiyah :
Telah jelas pada fasal tiga yang lalu apa-apa yang boleh dilagukan (dibaguskan suara) pada syi’ir dan yang tidak boleh. Sebagaimana telah jelas sebelumnya haramnya alat-alat musik semuanya kecuali duf pada hari ‘id dan walimah untuk wanita saja.
Dan pada fasal yang terakhir ini (di jelaskan –pent.) bahwasanya tidak boleh bertaqarrub kepada Allah kecuali sesuai dengan syari’at Allah. Maka bagaimana boleh bertaqarrub kepadaNya dengan apa-apa yang di haramkan ?, oleh karena itu, para ulama mengharamkan ghina Shufiyyah.

Dan lebih diingkari lagi adalah orang-orang yang menghalalkannya, maka apabila pembaca menghadirkan dalam pikiran usul-usul yang kuat ini (tidak bertaqarrub kepada Allah kecuali sesuai dengan syari’at Allah) jika baginya dengan sejelas-jelasnya bahwasanya tidak ada perbedaan dari segi hukum antara lagu-lagu (ghina) Shufiyah dan nasyid-nasyid Ad-Diniyah (menurut sangkaan mereka –pent.).
Bahkan kadang pada nasyid-nasyid ini ada bahayanya/penyakit lain, yaitu nasyid-nasyid ini kadang dilagukan (lirik-lirik nadanya seperti lirik-lirik nada lagu-lagunya orang gila) dan mengeraskan dengan cara-cara musik Barat dan orang-orang Barat yang mempesona para pendengar dan menjadikan mereka menari-nari dan mengeluarkan mereka dari kondisi mereka (yang sebenarnya –pent.). Maka yang menjadi tyjuan adalah lagu-lagu dan musik bukan nasyid itu sendiri dan ini jelas merupakan penyelisihan yang baru yaitu tasyabbuh dengan orang-orang kuffar dan orang-orang pelawak.
Dan di balik itu timbul lagi penyelisihan yang lain (… syariat -pent) yaitu menyerupai mereka, dalam keberpalingan mereka dari Al-Qur’an dan jauhnya atau hijrahnya mereka dari Al-Qur’an maka masuklah mereka ke dalam keumuman pengaduan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dari kaumnya. Sebagaimana firman Allah, “Berkatalah Rasul “Ya Rabbku sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan”. (QS. Al-Furqan : 30).

Dan saya mengingat sekali ketika saya di Damaskus dua tahun sebelum pindahnya saya ke sini (Oman) bahwasanya sebahagian pemuda muslim mulai menyenandungkan sebagian nasyid-nasyid yang selamat maknanya (dari khurafat dan syirkiah) dengan maksud menyelisihi gina orang-orang sufiah seperti Qasidah Al-Busiriyyah dan selainnya. Dan yang demikian di rekam dalam kaset, dan tidak lama kemudian sampai diiringi dengan gendang pada duf. Kemudian awalnya digunakan pada acara walimatul ursy dengan alasan bahwa (duf) boleh pada acara walimah. Kemudian kaset menyebar dan direkam dan menyebarlah penggunaannya di kebanyakan rumah-rumah dan mulailah mereka mendengarkan nasyid-nasyid ini siang dan malam apakah pada peringatan-peringatan (hari-hari tertentu seperti hari ‘Id atau walimah -pent) atau selainnya dan jadilah yang demikian sebagai hiburan dan adat kebiasaan mereka, dan apa-apa selain itu yang merupakan penguasaan hawa nafsu dan kejahilan dengan tipu daya syaithan maka syaithan memalingkan mereka dari memperhatikan dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an apalagi mempelajarinya, dan Al-Qur’an menjadilah suatu yang tidak di acuhkan bagi mereka sebagaimana dijelaskan oleh ayat yang lalu (di atas).

Ibnu Kastir berkata dalam tafsirnya : “Allah telah berkata dalam rangka mengabarkan tentang Rasul dan NabiNya Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bahwasanya beliau berkata : “Ya; Rabbku sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini sebagai suatu yang telah diacukan”. (QS. Al-Furqan : 30).
Yang demikian karena orang-orang musyrikin dahulu tidak mau mendengar Al-Qur’an dan tidak mau memperhatikannya, sebagaimana firman Allah, “Dan orang-orang kafir berkata janganlah kamu mendengarkan dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya”. (QS. Al-Fushilat : 26).

Maka mereka (orang kafir) jika dibacakan Al-Qur’an pada mereka, mereka memperbanyak hiruk pikuk dan pembicaran yang lain supaya mereka tidak mendengarkan (Al-Qur’an). Maka itulah hijrahnya (tidak acuannya) terhadap Al-Qur’an dan tidak mau beriman dengannya.
(Dan diantara perbuatan / sifat yang termasuk sifat menghijrai / tidak acuh terhadap Al-Qur’an adalah sebagai berikut –pent.) :
• Tidak membenarkannya.
• Tidak mentadabburi dan tidak memahaminya / tidak mau memahaminya.
• Meninggalkan beramal / tidak mengamalkannya.
• Tidak mentaati perintahnya dan tidak menjauhi larangannya.
• Berpaling darinya (Al-Qur’an) kepada selainnya seperti syi’r atau ucapan, lagu, permainan, atau cara-cara, jalan-jalan yang diambil dari selain Al-Qur`an, ini adalah termasuk menghijrai (tidak acuh pada Al-Qur`an -pent.)

Maka kita meminta pada Allah Yang Mulia Sang Pemberi Karunia dan Yang Maha Berkuasa atas apa-apa yang dikehendakiNya supaya melepaskan kita dari apa-apa yang dimurkaiNya dan supaya menggunakan kita pada apa-apa yang diridhoinya, seperti menghafal kitabNya dan memahaminya serta mengamalkan segala konsekwesi (keharusannya) sepanjang malam dan siang, sesuai dengan apa yang dicintaiNya dan diridhoiNya sesungguhnya Dialah yang Maha Mulia dan Maha Pemberi”. (Tafsir Ibnu Kastir 3/217).

___________

FATWA ASY-SYAIKH ‘ABDUL ‘AZIZ ALU SYEIKH HAFIZHOHULLAH

Apa hukum mendengarkan kaset-kaset nasyid Islamiyah ?
Beliau menjawab –hafizhohullah- :

“Sesungguhnya apa yang dinamakan dengan nasyid-nasyid Islamiyah yang kami telah dengar sebagian, sungguh disayangkan sekali kami mendapatkan nasyid-nasyid tersebut dengan nada-nada musik yang dipilih padanya suara yang paling halus, lembut dan yang paling bagusnya, yang menyentuh hati, maka disenandungkan nasyid-nasyid tersebut seolah-olah dia adalah musik. Bahkan sebagian suara-suaranya (yang menyenandungkan nasyid) melebihi suara-suara musik dan nada-nada musik, karena suara-suara tersebut dipilih dan dengan jenis yang khusus.
Dan ditutup, dihiasi dengan pakaian Islam sedang agama Islam berlepas diri dari perkara-perkara ini (nasyid-nasyd ini –pent.) Agama Islam terkandung didalamnya suatu kekuatan dan kemuliaan (bukan perkara-perkara yang bid’ah dan rendah ini –pent.)

Dan mereka disebutkan dengan nasyid-nasyid tersebut dari firman Allah / Kalamullah dan nasyid-nasyid tersebut menghalangii dari membaca Al-Qur`an dan mereka bergantung dengan nasyid-nasyid tersebut dan yang paling menyedihkan lagi adalah bahwasanya nasyid-nasyid tersebut dengan gendang-gendang dan duf atau rebana dengan nada-nada yang mereka namakan dengan Islamiyah dan ini tidak diragukan lagi tentang kesalahannya (atau kita tidak perlu ragu bahwasanya itu salah –pent.)
Saya berharap kepada saudara-saudara kami (semuanya) supaya menjauhinya (nasyid-nasyid tersebut). (Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyah no. 66 hal. 86-87)

________________

FATWA ASY-SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALEH AL-’UTSAIMIN

1. Ditanyakan kepada beliau :
Apa hukumnya mendengarkan Nasyid-nasyid ?
Apakah boleh bagi seorang dai’yah mendengarkan nasyid-nasyid Islamiah ?

Jawab : Nasyid-nasyid islamiah dulu saya pernah mendengarnya dan tidak ada padanya yang buat lari. Dan akhir-akhir ini saya mendengarkannya dan saya dapatkan nasyid-nasyid tersebut dilagukan dan bermusik seperti nyanyian-nyanyian yang diiringi dengan musik dan kalau seperti ini maka saya berpendapat / melihat bahwa tidak boleh mendengarkannya.

Adapun jika nasyid-nasyid tersebut bisa saja tanpa dinyanyikan dan disenandungkan maka mendengarkannya tidak apa-apa akan tetapi dengan syarat seorang tidak menjadikan nasyid-nasyid ini sebagai suatu kebiasaan yang selalu dia mendengarkannya dan syarat lain, dia tidak menjadikan hatinya tidak mendapatkan manfaat kecuali dengan mendengarkan nasyid-nasyid tersebut, dan tidak merasa dapat nasehat dan mauidzah kecuali dengannya.
• Karena apabila di jadikan sebagai suatu kebiasaan maka dia akan meninggalkan yang lebih penting.
• Dan apabila dia menganggap bahwa di tidak dapati nasehat atau tidak menerima nasehat kecuali dengannya maka dia akan berpaling dari nasehat yang paling agung dan bermanfaat yakni apa-apa yang ada dalam kitabullah Al-Qur’anal Karim dan sunnah atau hadits-hadits Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Maka apabila dia kadang atau sekali-sekali mendengarkannya atau dia lagi mengendarai mobil dan (ingin mendengarkannya) dan ingin supaya (agak santai) dalam perjalanan maka tidak apa.

2. Di tanyakan juga pada Syaikh Shaleh Al-Utsaimin semoga Allah menjaga beliau :
• Assalamu ‘alaikum warahmatullah.
• Apakah boleh bagi laki-laki bernasyid Islami.?
• Apakah boleh bernasyid dengan diiringi dengan memukul duf ?.
• Apakah boleh bernasyid di selain hari raya dan pesta-pesta ?

Beliau menjawab :
Bismillahirrahmanirrahim, wa’alikumussalam.
Bernasyid islami / nasyid-nasyid islami adalah nasyid yang diada-adakan (bid’ah) yang diada-adakan oleh orang-orang sufi oleh karena itu harus berpaling dari nasyid-nasyid ini ke nasehat-nasehat Al-Qur’an dan sunnah, kecuali di medan-medan perang untuk memberi semangat menyerang dan jihad fi sabilillahi Ta’ala maka ini baik dan jika diiringi dengan duf maka ini jauh dari kebenaran.
(Fatwa Aqidah hal 651 no 369. cetakan maktabah As-Sunnah)

___________

FATWA ASY-SYAIKH SHALEH BIN FAUZAN AL-FAUZAN.

Di tanyakan kepada beliau (Syeikh) Shaleh Al-Fauzan pertanyaan berikut :
Telah benyak pembicaraan tentang nasyid-nasyid Islamiah dan ada yang berfatwa tentang bolehnya dan ada yang mengatakan bahwa nasyid-nasyid Islamiah sebagai ganti kaset-kaset lagu nyanyian maka bagaimana pendapat Syeikh (dalam hal ini -pent) ?.
Maka beliau (semoga Allah Ta’ala menjaganya) menjawab :

Penamaan ini (nasyid Islamiah) adalah penamaan yang tidak benar, dia adalah penamaan yang baru (diada-adakan) maka tidak ada yang dinamakan dengan nasyid-nasyid Islamiah dalam kitab-kitab Salaf dan kitab ulama yang dianggap ucapannya dan ahlul ‘ilmi dan yang ma’ruf adalah : bahwa orang-orang sufilah yang menjadikan nasyid-nasyid sebagai agama bagi mereka, yang mereka namakan dengan nama : “As-Sama’” (السماع) dan masa kita sekarang ini ketika banyak hizib-hizib (kelompok-kelompok dan jama’ah-jama’ah). Maka bagi setiap hizib (golongan) dan jamaah dan nasyid-nasyid hamasiah (pembangkit semangat) mereka namakan nasyid-nasyid tersebut dengan nasyid-nasyid Islamiah. Penamaan ini tidak ada (dasar) kebenarannya, karena tak adanya dasar kebenarannya maka tidak boleh menggunakan nasyid-nasyid ini dan tidak boleh menyebarkan di kalangan umat (manusia) semoga Allah memberikan taufiqNya.

Majallah Da’wa no : 1632.
Bulan Dzulqa’dah tahun : 1418 H.
atau 5 Maret 1998.

SUMBER : http://al-atsariyyah.com/?p=304