Rabu, September 15, 2010

Untaian Nasehat Ibnu Taimiyyah : "Bahaya Syahwat Tersembunyi "

Syaikhul Islam berkata, "Kesyirikan mendominasi jiwa manusia, sebagaimana disebutkan dalam hadits وَهُوَ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ "Kesyirikan pada umat ini lebih samar daripada rayapan semut", dan dalam hadits yang lain "Abu Bakar berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ . كَيْفَ نَنْجُو مِنْهُ وَهُوَ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ ؟
"Wahai Rasulullah, bagaimana kita bisa selamat dari kesyirikan sementara ia lebih samar dari rayapan semut?".
Maka Nabi –sallallahu 'alaihi wa sallama- berkata kepada Abu Bakar

أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَةً إذَا قُلْتَهَا نَجَوْتَ مِنْ دِقِّهِ وَجِلِّهِ ؟ قُلْ : اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ
Maukah aku ajarkan kepadamu sebuah kalimat yang jika engkau mengucapkannya maka engkau akan selamat dari kesyirikan baik yang kecil maupun yang besar?, katakanlah, "Yaa Allah aku berlindung kepada Engkau dari perbuatan syirik kepadamu yang aku mengetahuinya dan aku memohon ampun kepadaMu dari kesyirikan yang tidak aku ketahui"

Umar senantiasa berkata dalam doanya,

اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا وَلَا تَجْعَلْ لِأَحَدٍ فِيهِ شَيْئًا
"Yaa Allah jadikanlah seluruh amalanku ikhlas untuk wajahMu, dan janganlah jadikan sedikitpun amalanku untuk seorangpun"

Sering sekali syahwat khofiyyah (syahwat tersembunyi) mengotori jiwa sehingga merusak perealisasian jiwa terhadap peribadatan dan kecintaan terhadap Allah dan pengikhlasan agama kepada Allah, hal ini sebagaimana disinyalir oleh Syaddad bin Aus –rahimahulloh-, beliau berkata

يَا بَقَايَا الْعَرَبِ إنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرِّيَاءُ وَالشَّهْوَةُ الْخَفِيَّةُ
"Wahai kaum Arab yang masih tersisa, sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah riyaa' dan syahwat khofiyyah"

Abu Dawud As-Sajistaani pernah ditanya, "Apakah itu syahwat tersembunyi?", beliau berkata, حُبُّ الرِّئَاسَةِ "Senang kepemimpinan".
Dari Ka'ab bin Malik bahwa Nabi –sallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda,

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي زَرِيبَةِ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

"Kerusakan yang timbul di kandang kambing akibat diepaskannya dua ekor serigala yang dalam keadaan lapar tidaklah lebih parah daripada kerusakan yang timbul terhadap agama seseorang akibat semangatnya untuk mencari harta dan kedudukan" Imam At-Thirmidzi berkata, "Hadits ini hadits hasan shahih"


Nabi –shallallahu 'alaihi wa sallam- menjelaskan bahwasanya kerusakan pada agama seseorang yang semangat untuk mencari harta dan kedukukan tidak kurang dari kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala yang lapar yang dilepas di kandang kambing. Dan hal ini tentu sudah jelas, karena sesungguhnya agama yang lurus tidak akan termasuki semangat mencari harta dan kedudukan. Karena hati jika telah merasakan manisnya peribadatan kepada Allah dan indahnya kecintaan kepada Allah maka tidak ada sesuatupun yang lebih dicintainya daripada hal itu, apalagi sampai mendahulukan sesuatu diatas hal itu.
Karena hal ini maka orang yang ikhlas akan dipalingkan oleh Allah dari keburukan dan perbuatan keji sebagaimana firman Allah

كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas (QS 12:24).

Sesungguhnya orang yang ikhlash kepada Allah telah merasakan manisnya peribadatan kepada Allah sehingga mencegahnya untuk menyerahkan peribadatan kepada selain Allah. Manisnya cinta kepada Allah yang dirasakannya mencegahnya untuk mencintai selain Allah, karena pada hatinya tidak ada yang lebih manis dan lebih lezat, lebih baik, lebih lembut, dan lebih nikmat daripada manisnya iman yang mengandung peribadatan kepada Allah, kecintaan dan keikhlasan kepadaNya. Hal ini melazimkan tertariknya hati kepada Allah, maka jadilah hati selalu kembali kepada Allah, disertai rasa khouf dan roghbah dah rohbah kepadaNya. Hal ini sebagaimana firman Allah

مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ
(yaitu) orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan Dia datang dengan hati yang bertaubat, (QS 50 :33)

Karena seseorang yang mencintai sesuatu maka dia kawatir akan kehilangan apa yang dicintainya dan datangnya perkara yang dibencinya. Maka jadilah dia seorang hamba Allah dan pecintaNya yang berada diantara khouf dan rojaa'. Allah berfirman

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (QS 17:57)

Jika seorang hamba ikhlash kepada Allah maka Allah akan memilihnya lalu Allah akan hidupkan hatinya dan menarik hatinya, lalu Allah akan memalingkan dari hatinya semua yang bertentangan dengan pemilihan Allah ini, Allah akan memalingkan hatinya dari keburukan dan kekejian, dan sang hambapun kawatir akan timbulnya hal-hal yang buruk.

Hal ini berbeda dengan hati yang tidak ikhlas kepada Allah, maka ia selalu dalam pencarian, kehendak, dan kecintaan yang tidak jelas dan terkendali. Maka ia akan menghendaki apa yang mendatanginya dan ia akan berpegang teguh dengan apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya sebagaimana ranting pohon kalau dilewati oleh hembusan angin apa saja maka akan menggoyangkannya mengikuti arah angin tersebut. Maka terkadang hatinya terpikat oleh gambar-gambar dan bentuk-bentuk yang haram dan juga yang tidak haram. Maka jadilah ia tawanan dan budak kepada dzat yang kalau seandainya dzat tersebut ia jadikan budaknya maka itu merupakan suatu kekurangan dan tercela (bagaimana lagi jika dia yang menjadi budak dzat tersebut?-pen).
Terkadang hatinya terpikat oleh kedudukan dan kepamimpinan, akhirnya ia bisa ridho karena sebuah kalimat dan juga bisa marah karena sebuah kalimat. Ia menjadi budak orang yang memujinya, meskipun dengan pujian yang batil, dan dia akan memusuhi orang yang memusuhinya meskipun musuhnya tersebut di atas kebenaran. Terkadang ia diperbudak oleh dirham dan dinar, dan demikian juga perkara-perkara yang lain yang semisalnya yang bisa memperbudak hati-hati manusia, dan ternyata memang hati-hati manusia menyukai perkara-perkara tersebut. Maka jadilah ia menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya, dan dia mengikuti hawa nafsunya tanpa ada petunjuk dari Allah.

Barangsiapa yang tidak ikhlas kepada Allah dan tidak menjadi hamba Allah, tidak menjadikan hatinya menyembah Allah saja tanpa syarikat dimana Allahlah yang paling ia cintai dari segala sesuatu, sehingga hatinya menjadi rendah, hina, dan tunduk dihadapan Allah, -barangsiapa yang tidak demikian- maka ia akan menjadi budak benda-benda yang ada, dan syaitan akan menguasai hatinya, sehingga ia termasuk orang-orang yang disesatkan syaitan dan menjadi saudara-saudara syaitan. Maka jadilah hatinya terpenuhi dengan keburukan dan kekejian yang sangat banyak yang tidak mengetahui hakekatnya kecuali Allah.

Ini merupakan perkara yang pasti terjadi dan tidak bisa dihindarkan. Jika hati tidak condong dan berjalan menuju Allah, dalam kondisi berpaling dari selain Allah, jika tidak demikian maka akan terjerumus dalam kesyirikan" (Majmuu' al-Fataawaa 10/215-217)

Sungguh nasehat emas Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- di atas mengingatkan kita kepada bahayanya syahwat tersembunyi, yang sering menghinggapi kita tanpa kita sadari. Karenanya dinamakan dengan syahwat yang samar dan tersembunyi. Bagaimana bisa kita menyadarinya sementara kesamarannya lebih samar daripada rayapan semut hitam di dalam kegelapan malam. Tidak seorangpun yang bisa merasakan bahwa dirinya dihinggapi syahwat ini kecuali orang yang diberi bashiroh (petunjuk) dari Allah.

Ada beberapa faedah yang bisa diambil dari nasehat di atas;
Pertama : Ternyata seorang sekelas Abu Bakar As-Shiddiq juga kawatir terjerumus dalam syahwat yang tersembunyi ini. Padahal kita tahu bahwasanya beliau telah dijamin masuk surga dan bagaimana tingkat keimanan beliau yang sangat tinggi. Oleh karenanya sungguh berbahagia orang yang selalu memperhatikan gerak-gerik hatinya, selalu mengecek apakah niatnya sudah lurus atau belum, karena orang yang seperti inilah yang sadar akan bahayanya syahwat yang tersembunyi. Adapun orang yang tidak pernah mengecek gerak-gerik hatinya, tidak pernah meneliti perubahan di hatinya bagaimana mungkin dia akan tahu bahwasanya hatinya sedang terjangkit syahwat tersembunyi ini atau tidak.
Kedua : Syahwat tersembunyi yang ditafsirkan dengan "cinta kepemimpinan dan cinta kedudukan (terpandang di masyarakat)" ternyata sangat berbahaya dalam merusak agama seseorang. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kerusakannya lebih parah daripada kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala.
Perhatikanlah kembali lafal hadits nabi tentang serigala

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي زَرِيبَةِ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
"Kerusakan yang timbul di kandang kambing akibat diepaskannya dua ekor serigala yang dalam keadaan lapar tidaklah lebih parah daripada kerusakan yang timbul terhadap agama seseorang akibat semangatnya untuk mencari harta dan kedudukan"

Kita dapat merasakan kerusakan yang ditimbulkan serigala tersebut pada poin-poin berikut ini:

  • Serigala adalah binatang buas, jika tidak dalam keadaan laparpun ia sudah buas, bagaiamana lagi jika dalam keadaan lapar?, tentunya semakin lapar akan semakin buas.
  • Rasulullah tidak menyebutkan seekor serigala, akan tetapi beliau menyebutkan dua ekor serigala. Jika seekor serigala saja sudah merusak bagaimana lagi jika dua ekor serigala yang dalam keadaan lapar
  • Kambing-kambing yang didatangi serigala terdapat dalam kandang, tentunya kambing-kambing tersebut tidak bisa lari menyelamatkan diri dari dua ekor serigala buas tersebut.

Oleh karenanya tidak diragukan lagi kerusakan yang diakibatkan oleh dua ekor serigala tersebut, tentunya tubuh kambing-kambing tersebut akan tercabik-cabik oleh keganasan dua ekor serigala buas tersebut. Namun ternyata kerusakan ini tidaklah lebih parah daripada kerusakan dan tercabik-cabiknya agama seseorang yang diakibatkan oleh syahwat tersembunyi yang menjangkitinya. Bagaimana tidak?, agama seseorang yang dia sangka telah dia bangun di atas bangunan megah ternyata hancur lebur seperti debu yang beterbangan hanya karena adanya syahwat tersembunyi ini, tidak ada nilainya di sisi Allah.

Betapa banyak orang yang setelah banyak beramal merasa dirinya lebih hebat dari yang lainnya, sehingga akhirnya merasa bahwa perkataannya dan pendapatnyalah yang harus didengar dan diikuti, merasa bahwa dirinyalah yang pantas untuk dijadikan panutan. Merasa dirinyalah yang pantas untuk menjadi pemimpin??!! Merasa geram dan marah jika ada pendapatnya diselisihi, bukan karena diselisihinya al-haq(kebenaran), akan tetapi karena merasa perkatannya tidak diikuti dan tidak didengar?, merasa ada yang mendahuluinya dan berani membangkangnya?...inilah syahwat khofiyyah. Betapa banyak orang yang marah karena merasa perkataan mereka dilanggar –bukan karena syari'at yang dilanggar- namun mereka membungkus syahwat khofiyyah ini dengan label syari'at, seakan-akan kemarahan mereka dikarenakan pelanggaran syari'at, seakan-akan mereka marah karena Allah. Namun ternyata kemarahan mereka adalah karena syahwat khofiyyah. Wallahul musta'aan
Ketiga : Diantara faedah yang luar biasa dari keikhlasan adalah Allah menjaga orang yang ikhlas dari fitnah syahwat. Allah berfirman,

كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas (QS 12:24).

Ada dua qiro'ah dari lafal (الْمُخْلَصِينَ),
Pertama : Dengan memfathahkan huruf lam (المخلَصين) yang artinya Nabi Yusuf termasuk hamba-hamba yang dipilih oleh Allah.
Kedua : Dengan mengkasrohkan huruf laam (المخلِصين) yang artinya Nabi Yusuf –alaihis salaam- termasuk hamba-hamba Allah yang ikhlash (lihat penjelasan As-Syaukani dalam fathul qodiir dan juga As-Syinqiithi dalam adwaaul bayaan).
Akan tetapi dua tafsiran ini tidak bertentangan bahkan saling berkaitan yaitu orang yang ikhlas kepada Allah maka dia akan dipilih oleh Allah sehingga dijaga oleh Allah dari segala perbuatan keji dan keburukan. Hal ini sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyyah diatas "Jika seorang hamba ikhlash kepada Allah maka Allah akan memilihnya lalu Allah akan hidupkan hatinya dan menarik hatinya, lalu Allah akan memalingkan dari hatinya semua yang bertentangan dengan pemilihan Allah ini, Allah akan memalingkan hatinya dari keburukan dan kekejian"

Sesungguhnya keikhlasan akan membuahkan rasa manisnya iman dan lezatnya peribadatan kepada Allah, oleh karenanya orang yang ikhlas tidak akan mencari kelezatan dan kenikmatan pada perkara-perkara yang dibenci oleh Allah, dan dia tidak akan mau meninggalkan kelezatan iman and ikhlas yang dirasakannya, maka dia tidak akan membiarkan dirinya terjangkiti oleh syahwat khofiyyah.

Disusun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com

Jangan Biarkan Hati Anda Menderita Karena Hasad

Hasad (dengki) merupakan penyakit hati yang berbahaya bagi manusia, karena penyakit ini menyerang si penderita dan meracuninya; membuat dia benci terhadap kenikmatan yang diperoleh saudaranya, dan merasa senang jika kenikmatan tersebut musnah dari tangan saudaranya.

Pada hakikatnya penyakit ini mengakibatkan si penderita tidak ridha dengan qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah: “Sesungguhnya hakikat hasad adalah bagian dari sikap menentang Allah ‘Azza wa Jalla, karena ia membuat si penderita benci kepada nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hambanya; padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan nikmat tersebut untuknya. Hasad juga membuatnya senang dengan hilangnya nikmat tersebut dari saudaranya, padahal Allah ‘Azza wa Jalla benci jika nikmat itu hilang dari saudaranya. Jadi, hasad itu hakikatnya menentang qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Lihat Al-Fawaaid hal.157, cetakan Darul Fikr – Beirut)

Penyakit ini sering dijumpai di antara sesama teman sejabatan, seprofesi, seperjuangan, atau sederajat. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai ada pegawai kantor yang hasad kepada teman sekantornya. Tukang bakso hasad kepada tukang bakso lainnya, guru hasad kepada guru, orang ahli ibadah atau Ustadz atau Kyai hasad kepada yang sederajat dengannya. Jarang dijumpai hasad tersebut pada orang yang beda kedudukan dan derajatnya, seperti tukang bakso hasad kepada Kyai, atau tukang becak hasad kepada Ustadz, meskipun tidak menafikan kemungkinan terjadinya.

Penyakit hasad hendaknya dijauhi oleh setiap Muslim, karena mudharat-nya sangat besar, terutama bagi si penderita, baik mudharat dari sisi agama maupun dunianya. Tidakkah kita ingat, kenapa Iblis dilaknat Allah ‘Azza wa Jalla? Tidak lain karena sikap hasad dan sombongnya kepada Adam ‘alaihis salam yang sama-sama makhluk Allah Ta’ala.

Dari sisi lain, hasad merupakan sifat sebagian besar Yahudi dan Nasrani, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَىٰ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

“Ataukah mereka (orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad dan orang-orang Mukmin) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?” (QS. An-Nisaa’ [4] : 54)

Allah Ta’ala juga berfirman tentang hasad mereka:

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. Al-Baqarah [2] : 109)

Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang Muslim dari sifat hasad tersebut, beliau bersabda:

لَا تَقَاطَعُوا وَ لَا تَدَابَرُوا وَ لَا تَبَاغَضُوا وَ لَا تَحَاسَدُوا وَ كُوْنُوا إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ

“Janganlah kalian memutuskan tali persaudaraan, saling berpaling ketika bertemu dan saling membenci serta saling dengki. Jadilah kalian bersaudara sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah.” (HR. Muslim, lihat Shahih Muslim juz 8 hal. 10)

Sebab-sebab Hasad

Sumber dari penyakit hasad adalah cinta dunia, baik cinta harta benda, kedudukan, jabatan, maupun pujian manusia.

Dunia memang sempit, sering menyempitkan mereka yang memburu dan mencintainya, sehingga tak jarang mereka berjatuhan pada lembah hasad, karena takut kekayaan dunia tidak akan bisa dimiliki kecuali ia berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya dan berkurang jika dibelanjakan berbeda dengan akhirat yang sangat luas, seperti langit yang tak berujung dan seperti lautan yang tidak bertepi. Karena sangat luasnya, sehingga tidak menyempitkan orang yang memburu dan mencintainya, sebagaimana kita tidak menjumpai orang tidak berjejal-jejal untuk melihat keindahan langit di waktu malam, karena luasnya dan cakupannya terhadap setiap mata yang memandang.

Ibnu Sirin rahimahullah berkata: “Aku tidak pernah hasad pada seorangpun dalam masalah dunia, karena jika dia termasuk ahli surga, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam masalah dunia, padahal dia akan masuk surga. Dan jika termasuk ahli neraka, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam hal dunia, padahal dia akan masuk neraka.” (Raudhatul Uqala Wanuzhatul Fudhala hal.119, Cet. Maktabah Ashriyah – Beirut)

Jika tujuan seseorang adalah akhirat, maka hatinya bersih dari hasad, tenang, jernih, seperti air yang memancar dari mata air pegunungan, lembut bagaikan sutera, tidak ada tempat bagi hasad di dalamnya. Akan tetapi, jika tujuannya adalah dunia, maka hati sangat rawan terjangkit hasad, mudah ternoda dan keruh. Oleh sebab itu, bagi mereka yang mempunyai belas-kasihan terhadap hatinya, hendaknya ia meninggalkan cinta dunia dan menggantinya dengan cinta akhirat. Karena kenikmatan akhirat tidaklah menyempitkan orang yang memburunya. Ia adalah kenikmatan yang sesungguhnya, kenikmatan yang luar biasa, tidak sebanding dengan kenikmatan-kenikmatan dunia. Kenikmatan tersebut bisa dirasakan oleh orang yang sangat mencintainya, mencari, dan memburunya di dunia ini. Jika seseorang tidak ingin memburu kenikmatan hakiki tersebut, atau lemah keinginannya, maka dia bukanlah ksatria, karena yang memburu kenikmatan yang hakiki tersebut adalah ksatria. (Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal.188-189, cet. Maktabah Darul Bayan – Damaskus. -Bittasharruf)

Obat Hasad

Setelah kita mengetahui bahwa hasad adalah penyakit hati yang berbahaya, maka tentunya kita ingin mengetahui obat dan terapi hasad tersebut.

Sebenarnya, penyakit hati yang satu ini tidaklah dapat diobati dengan pil atau kapsul dari Apotik atau dengan suntik, herbal, atau pijat urat, akan tetapi penyakit hati ini hanya dapat diobati dengan ilmu dan amal.

Adapun obat yang pertama adalah ilmu. Ilmu yang bermanfaat untuk mengobati hasad adalah pengetahuan tentang hakikat hasad itu sendiri. Diantaranya mengetahui bahwa hasad itu berbahaya bagi si penderita, baik bagi agamanya atau dunianya. Di dunia, hatinya selalu menderita dan tersayat-sayat, boleh jadi dia mati karenanya. Bagaimana tidak? Dia membenci orang lain yang mendapat kenikmatan dan mengharap nikmat tersebut musnah darinya. Padahal, hal itu telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak akan musnah sampai saat yang telah ditentukan.

Orang yang hasad ibarat orang yang melempar bumerang kepada musuh. Bumerangnya tidak mengenai sasaran, tetapi bumerang itu kembali kepadanya, sehingga mengenai mata kanannya dan mengeluarkan bola matanya. Lalu dia bertambah marah dan kembali melempar kedua kalinya dengan lebih kuat. Akan tetapi, bumerang itu masih seperti semula, tidak menemui sasaran dan kembali mengenai mata sebelah kirinya sehingga dia buta. Kemarahannya pun tambah menyala-nyala, kemudian dia melempar ketiga kalinya denga sekuat tenaga, akan tetapi bumerang tersebut kembali mengenai kepalanya sampai hancur, sedangkan musuhnya selamat dan menertawakan dia, karena dia mati atas perbuatannya sendiri. Sedangkan di akhirat nanti, dia akan mendapat adzab dari Allah Ta’ala, jika hasad tersebut melahirkan perkataan dan perbuatan, karena statusnya adalah orang yang telah menzhalimi orang lain ketika di dunia.

Perlu diketahui pula bahwa hasad juga tidak berbahaya bagi orang yang dihasad, baik agama dan dunianya. Dia tidak berdosa dengan hasad orang lain kepadanya. Bahkan, dia mendapatkan pahala jika hasad terebut keluar berwujud perkataan dan perbuatan, sebab dia termasuk orang yang dizhalimi. Kenikmatan yang ada padanya juga tidak akan musnah karena hasad irang lain kepadanya, sebab kenikmatan tersebut telah ditakdirkan untuknya

Adapun obat kedua adalah amal perbuatan. Amal perbuatan yang manjur untuk mengobati hasad adalah melakukan perbuatan yang berlawanan dengan perbuatan yang ditimbulkan oleh hasad. Misalnya; gara-gara hasad, seseorang ingin mencela dan meremehkan orang yang dihasad. Jika seperti ini, hendaknya dia melakukan hal yang berbeda yaitu memuji orang yang dihasad tersebut. Kemudian jika hasad itu membuatnya sombong kepada orang yang dihasad, maka hendaknya tawadhu kepadanya. Jika hasad membuatnya tidak berbuat baik atau tidak memberi hadiah kepada orang yang dihasad, maka hendaknya ia melakukan sebaliknya, yaitu berbuat baik dan memberikan kepadanya hadiah. Dengan seperti ini, insyaAllah hasad di hati akan segera lenyap dan hati kembali sehat dan normal. (Mukhtashar Minhajul Qashisin hal.189-190, cet.Maktabah Darul Bayan, Damaskus. -Bittasharruf)

Adakah Hasad yang Diperbolehkan?

Mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya. Apakah benar hasad itu ada yang diperbolehkan? Jawabannya, marilah kita simak sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ حَسَدَ إِلَّا فِيْ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَا لَا فَسَلَّطَهُ عَلَي هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ وَ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَ يُعَلِّمُهَا

“Tidak ada hasad kecuali kepada dua orang. Yang pertama; kepada seseorang yang telah diberi harta kekayaan oleh Allah dan ia habiskan di jalan yang benar. Yang kedua; kepada sesorang yang telah diberi hikmah (ilmu) oleh Allah dan ia memutuskan perkara dengannya serta mengajarkannya.” (Muttafaq ‘alaih. Lihat Shahih al-Bukhari no. 6886, cet. Dar Ibnu Katsir – Beirut, dan juga Shahih Muslim no. 1933, cet. Darul Jiel dan Darul Auqaf al-Jadidah – Beirut)

Akan tetapi, hasad dalam hadits ini berbeda pengertiannya dengan hasad yang telah disebutkan di atas. Hasad yang ini disebut oleh para ulama dengan Ghibtah, yaitu menginginkan kenikamatan seperti yang telah diperoleh oleh orang lain dengan tanpa membenci orang tersebut, serta dengan tidak mengharapkan kenikmatan itu musnah darinya.

Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad hafizhahullah dalam menjelaskan hadits di atas berkata: “Yang dimaksud hasad di sini adalah ghibtah.” (Syarah Sunan Abu Dawud hadits “iyyakum wa hasad”)

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ghibtah adalah ingin mendapatkan kenikmatan sebagaimana yang diperoleh oleh orang lain dengan tanpa mengharapkan nikmat tersebut musnah darinya. Jika perkara yang di-ghibtah tersebut adalah perkara dunia, maka hukumnya adalah mubah (boleh). Jika perkara tersebut termasuk perkara akhirat, maka hukumnya adalah mustahab (disukai), dan makna hadits di atas adalah tidak ada ghibtah yang dicintai (oleh Allah Ta’ala) kecuali pada dua perkara (yang tersebut di atas) dan yang semakna dengannya. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim Ibnul Hajjaj, juz 6 hal. 97, cet.2, Dar Ihya Turats al Arabi – Beirut)

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Artikel ini diambil dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (No. 06-07)/Tahun XIII/Ramadhan-Syawwal 1430 H/September-Oktober 2009M.

Penulis: Ustadz Nur Kholis bin Kurdian

Jumat, September 03, 2010

Tiga Pokok Kebahagiaan

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Ada tiga pokok yang menjadi pondasi kebahagiaan seorang hamba, dan masing-masingnya memiliki lawan. Barangsiapa yang kehilangan pokok tersebut maka dia akan terjerumus ke dalam lawannya. [1] Tauhid, lawannya syirik. [2] Sunnah, lawannya bid’ah. Dan [3] ketaatan, lawannya adalah maksiat. Sedangkan ketiga hal ini memiliki satu musuh yang sama yaitu kekosongan hati dari rasa harap di jalan [ketaatan kepada] Allah dan keinginan untuk mencapai balasan yang ada di sisi-Nya serta ketiadaan rasa takut terhadap-Nya dan hukuman yang dijanjikan di sisi-Nya.” (al-Fawa’id, hal. 104)

Tauhid Mengantarkan Menuju Bahagia

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman/syirik, mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. al-An’aam: 82). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Abdullah Ibnu Mubarak rahimahullah berkata, “Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niat (yang ikhlas), dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niat (yang tidak ikhlas).”

Syirik Mengantarkan Menuju Sengsara

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tiada seorang penolongpun bagi orang-orang yang zalim itu.” (QS. al-Maa’idah: 72). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka dia pasti masuk neraka.” (HR. Muslim).

Sunnah Mengantarkan Menuju Bahagia

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad); Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran: 31). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam itu datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing sebagaimana datangnya, maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR. Muslim). Imam Malik rahimahullah berkata, “Sunnah adalah [laksana] bahtera Nabi Nuh, barangsiapa yang menaikinya akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal akan tenggelam.”

Bid’ah Mengantarkan Menuju Sengsara

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia justru mengikuti selain jalan orang-orang beriman, niscaya akan Kami biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatannya dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan -dalam agama-, [dan setiap yang diada-adakan itu adalah bid'ah] dan setiap bid’ah pasti sesat [dan setiap kesesatan di neraka].” (HR. Muslim, tambahan dalam kurung dalam riwayat Nasa’i)

Ketaatan Mengantarkan Menuju Bahagia

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia akan mendapatkan keberuntungan yang sangat besar.” (QS. al-Ahzab: 71). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku pasti masuk surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat pun bertanya, “Siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Barangsiapa mentaatiku masuk surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka dialah orang yang enggan itu.” (HR. Bukhari). Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah menjamin bagi siapa saja yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang ada di dalamnya bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akherat.”

Kemaksiatan Mengantarkan Menuju Sengsara

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi nafsu (ketaatan) sedangkan neraka diliputi dengan perkara-perkara yang disenangi nafsu (kemaksiatan).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hilangnya Harapan dan Rasa Takut

Sementara ketiga hal di atas -tauhid, sunnah, dan ketaatan- memiliki satu musuh yang sama yaitu ketiadaan rasa harap dan rasa takut. Yaitu ketika seorang hamba tidak lagi menaruh harapan atas apa yang Allah janjikan dan tidak menyimpan rasa takut terhadap ancaman yang Allah berikan. Akibat ketiadaan harap dan takut ini maka timbul berbagai dampak yang membahayakan. Di antara dampaknya adalah; [1] terlena dengan curahan nikmat sehingga lalai dari mensyukurinya, [2] sibuk mengumpulkan ilmu namun lalai dari mengamalkannya, [3] cepat terseret dalam dosa namun lambat dalam bertaubat, [4] terlena dengan persahabatan dengan orang-orang saleh namun lalai dari meneladani mereka, [5] dunia pergi meninggalkan mereka namun mereka justru senantiasa mengejarnya, [6] akherat datang menghampiri mereka namun mereka justru tidak bersiap-siap untuk menyambutnya. Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan bahwa ketiadaan rasa harap dan takut ini bersumber dari lemahnya keyakinan. Lemahnya keyakinan itu timbul akibat lemahnya bashirah/pemahaman. Dan lemahnya bashirah itu sendiri timbul karena jiwa yang kerdil dan rendah (lihat al-Fawa’id, hal. 170).

Bersihkan Jiwamu!

Jiwa yang kerdil dan rendah akan merasa puas dengan perkara-perkara yang hina, sementara jiwa yang besar dan mulia tentu hanya akan puas dengan perkara-perkara yang mulia (lihat al-Fawa’id, hal. 170). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh berbahagia orang yang menyucikan jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. asy-Syams: 9-10). Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Yaitu orang yang menyucikan jiwanya dari dosa-dosa dan membersihkannya dari aib-aib, lalu dia meninggikannnya dengan ketaatan kepada Allah serta memuliakannya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 926). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang dimaksud penyucian di sini ialah dia menyucikan dirinya dengan cara membebaskannya dari syirik dan noda-noda maksiat, sehingga jiwanya menjadi suci dan bersih.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 165)

Dari sinilah, kita menyadari betapa besar peran ilmu yang diamalkan. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa seusai sholat Subuh dengan doa yang sangat indah, Allahumma inni as’aluka ‘ilman nafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqabbalan. Yang artinya; “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezki yang baik, dan amalan yang diterima.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya akan dipahamkan dalam urusan agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sedangkan ilmu dan pemahaman seorang hamba tentang agamanya diukur dengan rasa takutnya kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Cukuplah rasa takut kepada Allah sebagai bukti ilmu -seseorang-.”

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Bersabarlah Wahai Saudaraku…

Seorang muslim sejati tidak pernah terlepas dari tiga keadaan yang merupakan tanda kebahagiaan, yaitu bila dia mendapat nikmat maka dia bersyukur, bila mendapat cobaan maka dia bersabar dan bila berbuat dosa maka dia beristighfar. Sungguh menakjubkan keadaan seorang muslim. Bagaimanapun keadaannya dia tetap masih bisa menuai pahala.

Betapa Mulianya Sabar

Diantara ketiga keadaan ini datangnya cobaan demi cobaan terkadang membuat hati kita mendongkol, lisan menggerutu dan tangan melayang lempar sana, lempar sini, tonjok kanan tonjok kiri. Lalu apa hasilnya? Ingatlah saudaraku semoga Alloh merahmatimu, sesungguhnya Alloh menjanjikan kebersamaan-Nya yang istimewa bagi orang-orang yang mau bersabar. Alloh Ta’ala berfirman, “Dan bersabarlah kalian sesunguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar.” (Al Anfal: 46). Inilah kebersamaan khusus yang Alloh janjikan berupa penjagaan, pertolongan dan pembelaan di saat yang dibutuhkan. Bahkan dengan kesabaran jugalah kepemimpinan dalam agama bisa diraih. Alloh Ta’ala berfirman, “Dan Kami telah menjadikan pemimpin-pemimpin di kalangan mereka (Bani Isro’il) yang membimbing dengan petunjuk dari Kami tatkala mereka mau bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (As Sajdah: 24). Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Dengan sabar dan yakin itulah akan bisa diraih imamah/kepemimpinan dalam ad dien.”

Dan sifat sabar termasuk salah satu ciri yang melekat pada diri para Rosul manusia-manusia paling mulia di atas muka bumi. Alloh Ta’ala berfirman, “Sungguh para Rosul sebelum engkau (Muhammad) telah didustakan maka mereka pun bersabar terhadap pendustaan itu, dan mereka disakiti hingga tibalah pertolongan Kami.” (Al An’am: 34). Demikianlah betapa agungnya sabar. Sampai-sampai Rosul bersabda, “Sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran.” (Arba’in no. 19)

Pengertian Sabar dan Macam-Macamnya

Sabar adalah menahan jiwa dari mendongkol, menahan lisan dari berkeluh kesah dan marah serta menahan anggota badan dari melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan seperti menampar-nampar pipi atau merobek-robek kerah baju (Al Jadid fi Syarhi Kitab At Tauhid, hlm. 314). Sabar ada tiga macam; (1) Sabar dalam ketaatan, (2) Sabar dalam menahan diri dari melakukan kemaksiatan dan (3) Sabar dalam menghadapi takdir Alloh yang terasa menyakitkan.

Di antara ketiga macam sabar ini, sabar dalam ketaatan adalah macam sabar yang tertinggi. Namun adakalanya bersabar dalam menahan diri dari kemaksiatan justeru lebih berat daripada bersabar dalam ketaatan. Syaikh Al Utsaimin menjelaskan, Seperti misalnya cobaan yang menimpa seorang laki-laki berupa godaan wanita cantik yang mengajaknya untuk berzina di tempat sunyi yang tidak diketahui siapapun selain Alloh, sementara laki-laki ini masih muda dan memendam syahwat dalam dirinya. Maka bersabar agar tidak terjatuh dalam maksiat seperti ini menjadi lebih sulit bagi jiwanya. Bisa jadi mengerjakan sholat seratus rokaat itu lebih ringan baginya daripada harus menghadapi beratnya ujian semacam ini. (Al Qoulul Mufid, Syaikh Al Utsaimin)

Alloh Ta’ala berfirman, “Alloh mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali Imron: 146). Ujian demi ujian hendaknya justeru menempa kepribadian kita agar menjadi hamba yang semakin dicintai oleh Alloh Ta’ala, yang bersyukur bila mendapat nikmat, bertaubat bila berdosa dan bersabar dalam ketaatan, dalam menghindari maksiat dan tatkala menghadapi musibah. Wallohul musta’aan.

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Janganlah Berburuk Sangka Kepada Allah

Para pembaca yang budiman, perlu untuk kita ketahui bersama bahwa Alloh adalah Dzat yang maha sempurna, baik dari Nama, Sifat maupun perbuatan-Nya. Tidak ada satupun aib atau cela yang terdapat pada Alloh.

Sebagai bentuk realisasi tauhid, kita dilarang mengingkari nama dan sifat yang telah ditetapkankan oleh Alloh Ta’ala. Kita wajib percaya dan menerima sesuatu yang telah ditetapkan Alloh kepada para hambaNya.

Segala Sesuatu Diciptakan Dengan Hikmah

Alloh menciptakan langit dan bumi beserta isinya, semuanya tentu mengandung hikmah yang agung dan tidak dalam rangka kesia-siaan. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah (hanya sia-sia saja). Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka…” (Ash-Shood: 27). Termasuk tatkala Alloh memberikan manfaat (kebaikan) atau suatu mudhorot (musibah) pada seseorang, tentunya hal ini juga mengandung hikmah yang agung di dalamnya.

Untuk itu kita harus selalu berhusnuzhon (berprasangka baik) terhadap segala sesuatu yang telah Alloh tetapkan kepada para hamba-Nya agar kita termasuk orang-orang yang beruntung.

Rahasia di Balik Musibah

Para pembaca yang budiman, tidaklah Alloh menimpakan suatu musibah kepada para hambaNya yang mu’min kecuali untuk tiga hal:

  1. Mengangkat derajat bagi orang yang tertimpa musibah, karena kesabarannya terhadap musibah yang telah Alloh tetapkan.
  2. Sebagai cobaan bagi dirinya.
  3. Sebagai pelebur dosa, atas dosanya yang telah lalu.

Su’udzon Itu Tercela

Su’udzon (berprasangka buruk) pada Alloh merupakan sifat tercela yang harus dijauhi dari diri setiap orang yang beriman karena hal ini merupakan salah satu dari dosa besar. Sikap seperti ini juga merupakan kebiasaan orang-orang kafir dan munafiq. Mereka berprasangka kepada Alloh dengan prasangka yang buruk dan mengharapkan kekalahan dan kehancuran kaum muslimin. Akan tetapi Alloh membalik tipu daya mereka serta mengancam mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan akhirat.

Alloh berfirman yang artinya, “Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Alloh. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Alloh memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.” (Al-Fath: 6)

Adzab dunia yang akan diterima oleh orang kafir dan munafiq adalah berupa keresahan dan kegelisahan yang melanda hati mereka tatkala melihat keberhasilan kaum muslimin. Adapun adzab akhirat, mereka akan mendapatkan murka Alloh serta dijauhkan dari rahmat Alloh dan dimasukkan ke dalam neraka jahannam yang merupakan sejelek-jelek tempat kembali.

Berprasangka buruk pada Alloh merupakan bentuk cemooh atau ingkar pada takdir Alloh, Misalnya dengan mengatakan “Seharusnya kejadiannya begini dan begitu.” Atau ucapan, “Kok rejeki saya akhir-akhir ini seret terus ya? Lagi apes memang…” serta bentuk ucapan-ucapan yang lain. Banyak orang berprasangka buruk pada Alloh baik yang berkaitan dengan dirinya sendiri maupun orang lain. Tidak ada yang dapat menghindar dari prasangka buruk ini kecuali bagi orang-orang yang memahami nama dan sifat Alloh. Maka sudah selayaknya bagi orang yang berakal dan mau membenahi diri, hendaklah ia memperhatikan permasalahan ini dan mau bertobat serta memohon ampun terhadap prasangka buruk yang telah ia lakukan.

Jauhi Prasangka Buruk Kepada Alloh

Sikap berburuk sangka merupakan sikap orang-orang jahiliyah, yang merupakan bentuk kekufuran yang dapat menghilangkan atau mengurangi tauhid seseorang. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Alloh seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: ‘Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Alloh.’ Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.’ Katakanlah: ‘Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.’ Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (Ali-Imran: 154)

Perlu untuk kita ketahui bersama, berprasangka buruk kepada Alloh dapat terjadi pada tiga hal, yaitu:

  1. Berprasangka bahwa Alloh akan melestarikan kebatilan dan menumbangkan al haq (kebenaran). Hal ini sebagaimana persangkaan orang-orang musyrik dan orang-orang munafik. Alloh berfirman yang artinya, “Tetapi kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya (terbunuh dalam peperangan, pen) dan syaitan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa.” (Al-Fath: 12)

    Perbuatan seperti ini tidak pantas ditujukan pada Alloh karena tidak sesuai dengan hikmah Alloh janji-Nya yang benar. Inilah prasangka orang-orang kafir dan Neraka Wail-lah tempat mereka kembali.

  2. Mengingkari Qadha’ dan Qadar Alloh yaitu menyatakan bahwa ada sesuatu yang terjadi di alam ini yang di luar kehendak Alloh dan taqdir Alloh. Seperti pendapat Sekte Qodariyah.
  3. Mengingkari adanya hikmah yang sempurna dalam taqdir Alloh. Sebagaimana pendapat Sekte Jahmiyah dan Sekte Asy’ariyah.

Iman dan tauhid seorang hamba tidak akan sempurna sehingga ia membenarkan semua yang dikabarkan oleh Alloh, baik berupa nama dan sifat-sifat-Nya, kesempurnaan-Nya serta meyakini dan membenarkan janji-Nya bahwa Dia akan menolong agama ini

Untuk itu sekali lagi marilah kita instropeksi diri, apakah kita termasuk orang yang seperti ini (orang gemar berprasangka buruk pada Alloh) sehingga kita dijauhkan dari surga Alloh yang kekal? Kita berdo’a kepada Alloh agar menjauhkan kita semua dari berprasangka buruk kepadaNya. Wallohu a’lam.

***

Penulis: Abu Farhan Wali Sabara
Artikel www.muslim.or.id

Mungkinkah Allah Mengampuniku?

Para pembaca yang semoga dirahmati Alloh, mungkin ada yang bertanya, “Aku ingin bertaubat, namun dosaku terlalu banyak. Tidak ada satu macam perbuatan keji pun melainkan telah kukerjakan. Tidak ada satu bentuk dosa pun melainkan aku telah terjerumus ke dalamnya. Mungkinkah Alloh mengampuni dosa-dosaku?!!”

Bagi siapa saja yang merasa dosanya sulit diampuni maka perhatikanlah kisah berikut ini.

Kisah Taubat Pembunuh 100 Jiwa

Kisah ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al Khudri rodhiyallohu ‘anhu, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang membunuh 99 jiwa, lalu ia bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi, maka ia ditunjukkan kepada seorang rahib (ahli ibadah), lalu ia mendatangi rahib tersebut dan berkata, ‘Jika ada orang yang membunuh 99 jiwa, apa taubatnya bisa diterima?’ Rahib pun menjawab, ‘Tidak.’ Lalu orang tersebut membunuh rahib itu sehingga genap sudah dia membunuh 100 nyawa. Kemudian ia kembali bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi, lalu ia ditunjukkan kepada seorang yang ‘alim, lalu dia berkata, ‘Jika ada orang telah membunuh 100 jiwa, apakah masih ada pintu taubat untuknya?’ Orang alim itu pun menjawab, ‘Ya Siapakah yang menghalangi nya untuk bertaubat? Pergilah ke daerah ini karena di sana terdapat sekelompok orang yang menyembah Alloh Ta’ala, maka sembahlah Alloh bersama mereka dan janganlah kembali ke daerahmu yang dulu karena daerah tersebut adalah daerah yang jelek.’ Laki-laki ini lantas pergi menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut. Ketika sampai di tengah perjalanan, maut menjemputnya. Maka terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat azab. Malaikat rahmat berkata, ‘Orang ini pergi untuk bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Alloh’. Sedangkan malaikat azab berkata, ‘Sesungguhnya orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun’. Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai juru damai. Malaikat ini berkata, ‘Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju,pen.), daerah yang jaraknya lebih dekat, maka daerah tersebut yang berhak atas orang ini.’ Mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan teryata orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju, Oleh karena itu ruhnya dibawa oleh malaikat rahmat.” (HR. Bukhori & Muslim)

Wahai saudaraku, siapakah yang dapat menghalangi dari pintu taubat? Laki-laki ini telah membunuh 100 nyawa dan dia telah Alloh ampuni. Jika demikian mengapa Anda berputus asa dari rohmat Alloh dan ampunan-Nya yang begitu luas ??!

Pesan yang Terkandung Dalam Kisah di Atas

Pertama; Pembunuh masih memiliki kesempatan untuk bertaubat. Dalilnya adalah firman Alloh yang artinya, “Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, namun Dia mengampuni dosa-dosa di bawah syirik, bagi siapa yang Dia kehendaki.” (An Nisaa’: 48). Yaitu Alloh mengampuni dosa-dosa di bawah syirik, apabila Dia menghendaki. Ini merupakan pendapat mayoritas para ulama. Ayat ini juga menunjukkan tentang keutamaan ikhlas dan ikhlas merupakan sebab dosa terampuni.

Kedua; Hati ahli maksiat lebih mudah tergugah untuk bertaubat kepada Alloh daripada ahli bid’ah karena dia merasa berbuat salah.

Ketiga; Orang yang berilmu lebih utama daripada ahli ibadah karena ahli ibadah yang jahil (bodoh) terkadang dengan kejahilannya bertindak ‘ngawur’ sekalipun menurut dia hal itu baik. Bertitik tolak dari hal ini dapat diketahui bahwa orang yang terjun berdakwah, harus memiliki ilmu agar tidak membuat kerusakan yang lebih besar.

Keeempat; Orang yang bertaubat hendaknya berpindah dari lingkungan yang jelek ke lingkungan yang baik. Karena bergaul dengan orang-orang sholeh merupakan penyebab iman menjadi kuat dan tipu daya syaithon makin lemah.

Luasnya Ampunan Alloh

Pembaca yang semoga dirahmati Alloh, perhatikanlah hadits qudsi berikut yang menceritakan luasnya ampunan Alloh Subhanahu wa Ta’ala!!

Dari Anas rodhiyallohu ‘anhu, “Saya mendengar Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, Alloh Ta’ala berfirman, ‘…Hai anak Adam, sungguh seandainya kamu datang menghadapKu dengan membawa dosa sepenuh bumi, dan kau datang tanpa menyekutukan-Ku dengan sesuatupun. Sungguh Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula’.” (HR. Tirmidzi, dihasankan oleh Al Albani di Shohihul Jaami’)

Semoga Alloh menerima taubat dan membersihkan dosa-dosa kita. Amiin.

***

Penulis: Abu Isma’il M. Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id