Selasa, Januari 11, 2011

Apakah Anda Terjangkiti Penyakit Riyaa'? (Segera Deteksi Diri Anda Sendiri!!!)

Penyakit yang sangat berbahaya ini… mengakibatkan hancurnya amalan dan menjadikannya seperti debu yang berterbangan tidak bernilai. Betapa banyak amalan yang telah dikumpulkan oleh seseorang selama bertahun-tahun –dan bisa jadi puluhan tahun- dan bisa jadi sudah bertumpuk amalan tersebut setinggi gunung yang menjulang ke langit… akan tetapi ternyata semuanya hancur lebur tidak bernilai sama sekali di sisi Allah.

Allah berfirman :

كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا

Seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan (QS Al-Baqoroh : 264)

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, "Yaitu hujan yang deras tersebut menjadikan batu yang licin tersebut bersih, yaitu tanpa tersisa sedikitpun tanah sama sekali, bahkan seluruh tanah telah sirna. Maka demikianlah amalan-amalannya orang-orang yang riyaa' akan hancur dan sirna di sisi Allah, meskipun yang nampak pada orang-orang mereka memiliki amal sebagaimana tanah (yang nampak di atas batu licin tadi -pen). Oleh karenanya Allah berfirman ((mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan))" (Tafsir Ibnu Katsiir 1/319)

Sungguh ini merupakan permisalan yang sangat menghinakan orang-orang yang beramal karena riyaa'. Mereka menyangka bahwasanya mereka telah mengumpulkan amal yang banyak. Bahkan bukan hanya mereka yang menyangka demikian, tetapi orang-orang lain yang melihat mereka juga menyangka demikian, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang sholeh yang memiliki banyak amalan. Akan tetapi ternyata amalan mereka dimusnahkan oleh Allah dengan sekejap bahkan tidak tersisa sama sekali seperti tanah yang nampak bertumpuk di atas batu yang licin lantas tersiram dengan hujan yang sangat deras sekali, sehingga hilanglah tanah tersebut dan tidak tersisa sama sekali. Na'uudzu billaahi min dzaalik, kita berlindung kepada Allah dari kehinaan ini.

Inilah hal yang sangat menyedihkan dan sangat menyakitkan serta sangat menghinakan, tatkala orang yang beramal dengan riyaa' menyangka bahwasanya ia telah mengumpulkan amal dengan sebanyak-banyaknya, dan ia telah berbangga dengan hal itu, bahkan masyarakat menyangka dirinya sebgai orang sholeh dan memujinya, namun ternyata pada hakekatnya amalannya tidak bernilai sama sekali di sisi Allah. Oleh karenanya disebutkan dalam hadits tentang tiga orang riyaa' yang pertama kali didzab di neraka (yaitu orang yang mati syahid, orang yang berilmu, dan orang yang dermawan), maka Allah mengatakan kepada mereka bertiga, "Apa yang kalian lakukan dengan kenikmatan yang telah Aku berikan kepada kalian?", maka mereka bertiga menjawab, "Kami beramal ikhlas karena Engkau yaa Allah". Maka Allah membantah mereka dengan berkata, "Kalian dusta, akan tetapi kalian beramal supaya dikatakan (oleh masyarakat) sebagai pemberani…, supaya dikatakan sebagai orang alim…, supaya dikatakan sebaga dermawan, dan sungguh telah dikatakan demikian…" (lihat HR Muslim no 1905)

Sungguh masyarakat benar-benar menyangka mereka bertiga adalah orang-orang sholeh yang banyak beramal, dan masyarakat menyebut-nyebut mereka, akan tetapi semua itu hanyalah semu, karena pada hakekatnya amalan mereka tidak bernilai sama sekali.

Bahkan…bukan hanya tidak bernilai akan tetapi malah menyebabkan mereka menjadi orang-orang yang pertama diadzab di neraka jahanam.

Yang menjadi permasalahan besar adalah penyakit ini sangat sulit untuk dideteksi, sungguh betapa banyak orang yang merasa diri mereka ikhlas namun pada kenyataannya ia telah terjangkiti penyakit berbahaya ini. Oleh karenanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sangat mengkhawatirkan penyakit ini. Beliau bersabda :

إِنَّ أَخْوَفَ ما أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قالوا وما الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يا رَسُولَ اللَّهِ قال الرِّيَاءُ يقول الله عز وجل لهم يوم الْقِيَامَةِ إذا جُزِىَ الناس بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إلى الَّذِينَ كُنْتُمْ تراؤون في الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هل تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً

"Sesungguhnya perkara yang paling aku khawatirkan menimpa kalian ada syirik kecil", mereka (para sahabat) berkata, "Wahai Rasulullah, apa itu syirik kecil?", beliau berkata, "Riyaa', pada hari kiamat tatkala manusia dibalas amal perbuatan mereka maka Allah berkata kepada orang-orang yang riyaa', "Pergilah kaliah kepada orang-orang yang dahulu kalian riyaa' kepada mereka (mencari pujian mereka -pen) semasa di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan ganjaran kalian dari mereka?" (HR Ahmad dalam musnadnya 5/428 no 23680 dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam As-Shahihah no 951)

Rasulullah juga bersabda :

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هو أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي من الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ قال قُلْنَا بَلَى فقال الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ لِمَا يَرَى من نَظَرِ رَجُلٍ

"Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang perkara yang lebih aku takutkan menimpa kalian daripada Dajjal?", kami (para sahabat) berkata, "Tentu wahai Rasulullah", beliau berkata, "Syirik yang samar, yaitu seseorang berdiri melakukan sholat lalu ia perindah sholatnya karena dia tahu ada orang lain yang sedang melihatnya sholat" (HR Ahmad 3/30 no 11270 dan Ibnu Majah no 4204 dan dihasankan oleh Syaikh Albani)

Finahnya riyaa' lebih ditakuti Nabi menimpa sahabat lebih daripada fitnahnya Dajjal karena dua perkara:

- Karena sulitnya seseorang untuk menyelamatkan hatinya dari riyaa. Syaikh Utsaimin berkata, "Fitnah yang laing besar di dunia ini adalah fitnahnya Dajjaal, akan tetapi ketakutan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap fitnahnya syirik yang samar ini (riyaa'-pen) lebih besar daripada ketakutan beliau terhadap fitnahnya Dajaal. Hal ini dikarenakan sangat sulitnya menghindarkan diri dari riyaa'" (Majmuu' Fataawaa wa Rosaail syaikh Al-'Utsaimiin 10/712)

- Karena ftinah Dajjal hanya muncul di akhir zaman menjelang hari kiamat, adapun fitnah riyaa' senantiasa dan selalu mengancam. (lihat Mirqootul Mafaatiih 15/262)

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menamakan riyaa' dengan syirik yang samar, yang tidak nampak oleh orang lain, dan juga menimpa seseorang terkadang tanpa ia sadari.

Sahl bin Abdillah At-Tusturi pernah berkata,

لاَ يَعْرِفُ الرِّيَاءَ إِلاَّ مُخْلِصٌ، وَلاَ النِّفَاقَ إِلاَّ مُؤْمِنٌ، وَلاَ الْجَهْلَ إِلاَّ عَالِمٌ، وَلاَ الْمَعْصِيَةَ إِلاَّ مُطِيْعٌ

"Tidaklah mengetahui riyaa' kecuali orang yang ikhlash, tidak mengetahui kemunafikan kecuali orang mukmin, tidak mengetahui kejahilan kecuali orang yang 'alim, dan tidak mengetahui kemaksiatan kecuali orang yang ta'at" (Syu'ab Al-Iiman karya Al-Baihaqi 1/188 no 6480)

Sungguh benar… memang hanya orang yang berusaha meraih keikhlasan yang senantiasa memperhatikan gerak-gerik hatinya, senantiasa mengecek kondisi hatinya, apakah hatinya berpenyakit riyaa? Apakah berpenyakit ujub?.



Kecintaan Manusia terhadap Pujian

Merupakan perkara yang semakin menjadikan seseorang mudah terjangkiti penyakit riyaa' yaitu karena sifat dasar manusia adalah ingin dipuji dan ingin dihargai. Sungguh kenikmatan yang dirasakan seseorang tatkala dipuji dan dihormati sangatlah besar…sangatlah lezaat…, jauh lebih besar dari kenikmatan-kenikmatan yang lain.. bahkan jauh lebih nikmat dari nikmatnya seseorang yang memiliki harta berlimpah.

Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika didapati seseorang yang mengorbankan hartanya yang begitu banyak untuk disedekahkan –bahkan mungkin hingga ratusan juta, atau bahkan sampai miliayaran- hanya demi untuk dihormati dan dipuji dan dikatakan sebagai dermawan.

Demikian juga tidaklah mengherankan jika didapati seseorang yang menghabiskan waktunya siang dan malam tidak kenal lelah selama bertahun-tahun untuk mempelajari ilmu dan mendakwahkannya, atau untuk mempelajari Al-Quran, menghafalkannya dan mengajarkannya, hanya demi untuk dikenal oleh masyarakat bahwasanya ia adalah seorang yang 'alim atau seorang qoori' yang ahli baca Al-Qur'an.

Bahkan yang lebih dari ini semua adalah tidak mengherankan jika didapati seseorang yang telah mengorbankan sesuatu yang paling berharga yang ia miliki di dunia ini, yaitu ruhnya dan nyawanya hanya agar dipuji oleh masyarakat dan dikenal sebagai pahlawan pemberani. Bukankah tidak semua orang yang meninggal di medan pertempuran adalah seorang yang mati syahiid?

Ada seseorang bertanya kepada Nabi :

الرَّجُلُ يُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ شَجَاعَةً وَيُقَاتِلُ رِيَاءً فَأَيُّ ذلك في سَبِيلِ اللَّهِ؟

"Seseorang berperang karena membela sukunya, ada yang berperang karena menampakan keberaniannya, dan ada yang berperang karena riyaa', maka manakah diantara mereka yang fi sabiilillah?"

(Dalam riwayat yang lain فإن أَحَدَنَا يُقَاتِلُ غَضَبًا "Sesungguhnya salah seorang di antara kami ada yang berperang karena marah? (HR Al-Bukhari no 123), dalam riwayat yang lain الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُذْكَرَ وَيُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ من في سَبِيلِ اللَّهِ "Seseorang berperang untuk mencari gonimah (harta rampasan perang), seseorang berperang agar dikenang, dan seseorang berperang agar nampak kedudukannya (dalam hal keberanian dan kepahlawanannya -pen), maka manakah di antara mereka yang fi sabiilillah?" (HR Al-Bukhari 2958)

Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :

من قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ في سَبِيلِ اللَّهِ

"Barangsiapa yang berperang agar perkataannya Allahlah yang tertinggi maka itulah yang fi sabiilillah" (HR Al-Bukhari no 7020)

Memang ketenaran dan popularitas suatu kenikmatan yang sangat ledzat, yang senantiasa dikejar-kejar oleh banyak orang dengan melalui banyak pengorbanan… bahkan mengorbankan jiwa raga…

Mereka menyangka bahwasanya dengan terseohornya mereka dan dikenalnya mereka sebagai seorang yang alim -atau seorang yang rajin ibadah, atau seorang pemberani, atau seorang dermawan- merupakan puncak kemuliaan dan kebahagiaan. Apakah mereka tidak tahu bahwasanya mencari ketenaran merupukan puncak dari kehinaan dan keterpurukan..???



Ikhlas atau Riyaa? (Uji diri sendiri!!!)

Keikhlasan merupakan amalan hati tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, bahkan terkadang seseorang merasa dirinya telah ikhlas namun ternyata ia tidak ikhlas, bahkan ternyata ia telah terjangkiti penyakit riyaa' tanpa ia sadari. Oleh karenanya seorang muslim hendaknya senantiasa mengecek kondisi relung-relung hatinya pada lubuk hatinya yang paling dalam.

Berikut ini beberapa pertanyaan yang membantu kita –baik para pembaca sekalian maupun si penulis sendiri- untuk mengetahui jauh dekatnya diri kita dari keikhlasan, demikian untuk mengetahui juga parah tidaknya penyakit riyaa' yang telah menjangkiti kita. Dan diharapkan pertanyaan-pertanyaan berikut dijawab dengan jujur dan teliti.

Pertama : Apakah engkau senantiasa berhenti sejenak sebelum beramal apapun (baik sebelum sholat, sebelum berdakwah, sebelum menulis sebuah tulisan ilmiyah, sebelum menulis status maupun catatan, atau memberi komentar di facebook, dll) untuk mengecek apakah niatku sudah benar ikhlas karena Allah atau tidak?? (Selalu – sering – terkadang –jarang – hampir tidak pernah)

Untuk menjawab pertanyaan ini ada sebaiknya kita merenungkan atsar berikut ini :

Ada orang yang berkata kepada Naafi' bin Jubair rahimahullah, أَلاَ تَشْهَدُ جَنَازَةً؟, "Apakah engkau tidak menghadiri janazah?" maka beliaupun berkata, كَمَا أَنْتَ حَتَّى أنْوِيَ "Tetaplah di tempatmu hingga aku berniat". Beliaupun berfikir sejenak lantas beliau berkata, "Mari kita jalan" (Jaami'ul 'Uluum wal Hikam 29).

Kedua : Apakah engkau senantiasa berusaha menjadikan kecintaan dan kebencianku pada seseorang adalah karena Allah bukan karena perkara dunia apapun? (Selalu –sering –terkadang –jarang –hampir tidak pernah)

Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita renungkan yang berikut ini :

Kita semua mengetahui akan keutamaan cinta dan benci karena Allah. Betapa indahnya tatkala kita mengucapkan kepada saudara kita Uhibbuka fillah (Aku mencintaimu karena Allah), lantas saudara kita menjawab Ahabbakallahu aldzii ahbatnii fiih (Semoga Allah –yang engkau mencintaiku karenaNya- juga mencintaimu). Kita semua sudah mengetahui sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

أَوْثَقُ عُرَى الإِيْمَانِ الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ وَالْحُبُّ فِي اللهِ وِالْبُغْضُ فِي اللهِ

"Tali keimanan yang paling kuat adalah berwalaa' karena Allah dan memusuhi karena Allah, cinta karena Allah dan benci karena Allah" (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 998)

Bukankah kita tahu bahwasanya yang hanya boleh dibenci secara mutlak seratus persen hanyalah orang kafir, sedangkan seorang muslim yang bercampur pada dirinya maksiat dan ketaatan maka tidak boleh kita membencinya secara total. Demikian juga seorang muslim yang tercampur pada dirinya sunnah dan bid'ah maka tidak boleh kita membencinya secara total. Akan tetapi kita mencintainya sesuai dengan kadar ketaatan dan sunnah yang dilakukannya dan kita membencinya sesuai dengan kadar maksiat dan bid'ah yang dilakukannya. (lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah dalam Majmuu' Al-Fataawaa) Inilah penerapan yang benar dari kaidah Al-Walaa wal Baroo'.

Namun sering kita dapati :

- Ternyata terkadang kita sangat membenci saudara kita yang menyelisihi kita dalam beberapa perkara, padahal perkara-perkara tersebut merupakan perkara khilafiah ijtihadiah

- Terkadang kita membenci saudara kita secara total padahal saudara kita tersebut hanya terjerumus dalam sebuah bid'ah dan kita telah mengetahui semangatnya dalam melaksanakan sunnah dan ketaatan kepada Allah.

- Terkadang kita ikut-ikutan mentahdziir dan menghajr saudara kita sesama ahlus sunnah bukan karena Allah, akan tetapi lantaran kita takut kalau kita tidak ikut mentahdzir maka kitalah yang kena tahdzir dan dihajr, padahal batin kita menolak hal tersebut???!!!. Ini berarti kita beramal karena selain Allah, mentahdzir bukan karena takut kepada Allah akan tetapi karena takut kepada manusia.

Ketiga : Apakah engkau senantiasa bergembira tatkala ada orang lain (dari manapun juga dia, dan dari pondok atau yayasan atau lulusan manupun) yang ikut menyebarkan dakwah Ahlus Sunnah wal Jama'ah? (selalu – sering – terkadang – jarang – hampir tidak pernah).

Suatu penyakit yang sering menimpa seorang da'i tatkala datang seorang da'i yang lain yang lebih berilmu atau lebih pandai berceramah bahkan lebih disukai oleh para pendengar atau pemirsa. Terkadang seseorang berdakwah selama bertahun-tahun dan berhasil mengumpulkan banyak pengikut, dan selama itu ia merasa bahwa dirinya telah ikhlas dalam berdakwah. Namun kebenaran keikhlasannya teruji tatkala datang seorang da'i yang lebih piawai daripada dirinya. Di sinilah akan nampak apakah ia ikhlas ataukah tidak. Jika dia ikhlas tentunya ia akan sangat bergembira karena ada dai yang lain yang membantunya dalam menyebarkan dakwah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, terlebih lagi akan bertambah kegembiraannya tatkala ia tahu bahwasanya dai tersebut sangat pandai dalam berdakwah.

Akan tetapi jika ternyata selama ini dakwah yang ia bangun bukan di atas keikhlasan maka yang timbul adalah rasa hasad dan dengki yang amat sangat terhadap dai tersebut.

Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata, "Orang yang berdakwah kepada selain Allah terkadang berdakwah kepada dirinya sendiri, ia berdakwah kepada al-haq (kebenaran) agar ia diagungkan di hadapan masyarakat dan dihormati" (Al-Qoul Al-Mufiid 1/126) Beliau juga berkata, "Banyak orang yang kalau berdakwah kepada kebenaran mereka berdakwah kepada diri mereka sendiri" (Al-Qoul Al-Mufiid 1/136)

Cukuplah bagi kita kisah berharga yang pernah di alami oleh Al-Imam Al-Bukhari, dimana beliau ditahdzir dan dihajr oleh gurunya sendiri karena hasad (sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Qoyyim dalam As-Sowaa'iq Al-Mursalah dan juga Ibnu Hajr dalam Hadyu As-Saari). Padahal sebelum kedatangan Imam Al-Bukhari maka gurunya tersebut banyak memuji beliau dan menganjurkan murid-muridnya untuk menghadiri majelis Imam Al-Bukhari. Namun tatkala majelis Imam Al-Bukhari ternyata dihadiri banyak orang maka timbullah hasad dalam diri sang guru tersebut.

Keempat : Apakah engkau senantiasa mengecek niatmu di tengah amalmu? (selalu – sering –terkadang – jarang – hampir tidak pernah)

Kita harus menyadari bahwasanya meraih keikhlasan adalah perkara yang sulit, akan tetapi lebih sulit lagi adalah menjaga keikhlasan tersebut. Ada dua bentuk menjaga kelanggengan keikhlasan

- Menjaga keikhlasan agar tetap langgeng pada amalan-amalan berikutnya.

- Menjaga keikhlasan tatkala sedang beramal. Yaitu sebagaimana kita ikhlas tatkala memulai amalan (di awal amalan) demikian juga kita berusaha menjaga keikhlasan tersebut tatkala melakukan amalan.

Sufyan At-Tsauri pernah berkata,

مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِي لأَنَّهَا تَتَقَلَّبُ عَلَيَّ

"Tidak pernah aku meluruskan sesuatu lebih berat dari meluruskan niatku, karena niatku selalu berbolak-balik padaku" (jaami'ul 'Uluum wal Hikam 29)

Sungguh benar perkataan Sufyan, niat selalu berbolak-balik dan berubah-ubah. Sulaiman bin Dawud Al-Haasyimi berkata,

رُبَّمَا أُحَدِّثُ بِحَدِيْثٍ وَلِيَ فِيهِ نِيَّةٌ، فَإِذَا أَتَيْتُ عَلَى بَعْضِهِ تَغَيَّرَتْ نِيَّتِي، فَإِذَا الْحَدِيْثُ الْوَاحِدُ يَحْتَاجُ إِلَى نِيَّاتٍ

"Terkadang aku menyampaikan sebuah hadits dan aku memiliki niat yang benar dalam menyampaikan hadits tersebut. Maka tatkala aku menyampaikan sepenggal dari hadits tersebut berubahlah niatku. Ternyata untuk menyampaikan satu hadits membutuhkan banyak niat" (Jaami'ul 'Uluum wal Hikam 41)

Kelima : Apakah engkau selalu berusaha menyembunyikan segala amalan sholehmu? (selalu – sering – terkadang – jarang – hampir tidak pernah)

Menyembunyikan amalan merupakan perkara yang sulit sekali, karena memang hati kita berusaha dan gembira tatkala ada orang yang mengetahui amalan sholeh kita, sehingga orang tersebut akan tahu kedudukan kita. Akan tetapi barangsiapa yang berusaha untuk menyembunyikan amalan sholehnya serta membiasakan dirinya dengan hal itu maka akan dimudahkan oleh Allah. Para salaf dahulu berusaha untuk menyembunyikan amalan mereka (silahkan lihat http://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/1-ikhlas-dan-bahaya-riya?start=2)

Keenam : Apakah engkau selalu tidak terpengaruh dengan pujian dan celaan masyarakat, karena yang engkau perhatikan hanyalah penilaian Allah dan bukan penilaian manusia? (Selalu – sering –terkadang – jarang – hampir tidak pernah)

Inilah hakekat inti dari keikhlasan, yaitu seseorang hanya menyibukan hatinya untuk mengetahui bagaimana penilaian Allah terhadap amal sholeh yang ia kerjakan, dan tidak peduli dengan penilaian masyarakat. Sungguh ini merupakan perkara yang sulit dan butuh perjuangan yang sangat berat untuk bisa mencapai hal ini. Oleh karenanya di antara definisi ikhlas adalah :

نِسْيَانُ رُؤْيَةِ الْخَلْقِ بِدَوَامِ النَّظْرِ إِلَى الْخَالِقِ

"Melupakan pandangan makhluq (manusia) dengan selalu memandang kepada Maha Pencipta" (Tazkiyatun Nafs 13)

Pertanyaan-pertanyaan di atas hanyalah sebagai renungan bagi kita semua, yang mungkin selama ini di antara kita ada yang telah merasa ikhlas dan terlepas dari riyaa' maka hendaknya kita bermuhasabah dengan pertanyaan-pertanyaan di atas.

Madinah Munawwarah, 05 Safar 1432 / 09 Januari 2011

Firanda Andirja
www.firanda.com

Sabtu, Januari 08, 2011

Wasiat Imam Ibnu Jauzi kepada sang buah hatinya

Sekilas tentang Ibnul Jauzi:

Imam Ibnu Jauzi adalah seorang ahli fikih, penasehat dan pakar pendidikan hati (tarbiyatun nufus). Majelis taklimnya dikenal dengan jama'ahnya yang berjumlah ribuan orang. Bahkan pernah sesak oleh ratusan ribu orang. Apabila acara taklimnya diadakan ba'da ashar, maka dari pagi jama'ahnya sudah menyesaki lokasi dan saling berebutan tempat. (Lihat: Siyar A'lam Nubala oleh Imam Dzahabi 21/365 dan Dzail Thobaqot Hanabilah oleh Ibnu Rajab Hambali 1/399)

Wasiatnya kepada sang buah hati:

Memburu keutamaan dalam agama:

Ibnul Jauzi memiliki banyak karya tulisan. Yang paling masyhur di antaranya adalah kitab لفتة الكبد فى نصيحة الولد . Ibnu Jauzi berwasiat kepada anaknya Muhammad yang dijuluki dengan Abu Qosim. Katanya:


Wahai anakku...Ketahuilah -Semoga Allah merestuimu- bahwa anak Adam tidak diistimewakan dengan akal melainkan agar ia mengajaknya berpikir. Untuk itulah hadirkanlah akalmu, gerakkanlah ia dan tegurlah dirimu dengan akalmu itu, niscaya akan jelas olehmu bahwa dirimu itu adalah makhluk yang memiliki beban dalam hidup ini(mukallaf). Engkau diwajibkan melaksanakan ibadah-ibadah fardhu. Dua malaikat selalu menyertaimu dengan menghitung lafaz-lafaz dan pandangan matamu. Sesungguhnya nafas-nafas kehidupan adalah derap-derap langkah menuju ajal, batas kontrakmu di dunia ini sangat sebentar, sementara 'penjara' di dalam kubur amat lama sekali, lalu siksa yang mengiringi hawa nafsu terasa sangat keras. Lantas, di manakah kelezatan kemarin (di dunia)?! Ia telah pergi dan meninggalkan penyesalannya. Dan di mana pulakah syahwat diri itu?! Ia t'lah meninggalkan isi kepala dan lenyap sudah.

Tidaklah orang yang berbahagia itu kecuali karena ia melawan hawa nafsunya. Dan tidaklah orang celaka melainkan karena ia lebih mementingkan dunianya...
Malas meraih berbagai keutamaan dalam agama adalah seburuk-buruknya teman dekat dan cinta kesantaian akan mewarisi penyesalan..,Waspadalah! dan tegurlah dirimu! Ketahuilah bahwa melaksanakan kewajiban agama dan meninggalkan hal-hal yang haram merupakan suatu keharusan. Kapan saja seseorang melampaui batas, maka nerakalah yang dijanjikan untuknya.

Ketahuilah, bahwa mencari keutamaan adalah akhir keinginan mereka yang bersungguh-sungguh. Dan dengan sungguh-sungguh itulah kekuatan hadir..

Oleh karena itu orang yang memiliki cita-cita besar harus meraih segala keutamaan itu, kemudian menyibukkan diri dengan menghafal al-Qur'an dan mempelajari tafsirnya, hadits Rasulullah saw, mengenal siroh beliau saw dan siroh para sahabatnya, dan para ulama setelah mereka, untuk menentukan pilihan martabat yang lebih tinggi..

Tidaklah cita-cita mulia itu terhenti melainkan karena kejelekannya. Sebab, kalau tidak, kapan saja himmah (cita-cita mulia) itu meninggi ia tidak akan tergoda oleh dunia.

Kapan saja engkau melihat dalam dirimu ada rasa lemah (bete), bertanyalah kepada Allah, atau rasa malas mengadulah kepada-Nya. Engkau tidak akan memperoleh kebaikan selain dengan mentaati-Nya. Dan tidaklah kebaikan itu terlewati dari dirimu kecuali lantaran kemaksiatan yang engkau lakukan.

Pengalaman hidup:

Aku akan ceritakan sekilas pengalaman hidupku. Mudah-mudahan kamu bisa mencontohnya.
Aku punya himmah (cita-cita yang besar dan mulia) yang besar sekali. Suatu kali aku berada di kelas tempat belajar dan menghafal al-Qur'an. Waktu itu usiaku sekitar 6 tahun. Aku punya teman-teman bermain yang usianya jauh di atasku. Kala itu aku dikarunia akal yang matang melebihi akal orang-orang dewasa. Sedikitpun aku tidak senang bermain bersama teman-teman sebayaku di jalan-jalan, dan tertawa terbahak-bahak bersama mereka.

Suatu kali, disaat umurku 7 tahun, aku datang ke teras masjid untuk mencari hadits. Tiba-tiba terdengar seseorang sedang membacakan sanad (riwayat hadits atau al-Qur'an) yang sangat panjang. Seketika aku hafal semua yang aku dengar itu. Dan kemudian aku pulang dan menuliskannya di rumah..

Sungguh, Allah telah memanag dan mendidik diriku ini, memberikan pahala yang lebih baik bagiku, menjagaku dari musuh-musuh dan para pendengki yang membuat makar atasku, membentangkan sebab-sebab turunnya ilmu, memberikan penghasilan kepadaku dari arah yang tidak aku sangka-sangka, memberikan karunia pemahaman, cepat menghafal dan pandai menulis buku. Sedikitpun aku tidak menyukai dunia. Malah Allah membuatku merasa cukup dengannya dan menambahkan lebih bagiku serta aku bisa diterima oleh semua secara luas oleh manusia...

Aku pernah berkeliling mendengarkan hadits dari para guru, nafasku hampir putus karena keletihan berlari agar tidak tertinggal mereka. Pernah juga aku bangun pagi dan tidak memiliki makanan sedikitpun. Demikian pula di sore harinya.

Rahasia dari itu adalah bahwa aku mengumpulkan semua wasiatku itu dari firman Allah swt yang berbunyi:

واتقوا الله ويعلمكم الله

Artinya: "Dan bertakwalah kepada Allah niscaya Dia akan mengajarkanmu.."(Qs al-Baqoroh: 282).

Kamis, Januari 06, 2011

Makna Wanita Diciptakan Dari Tulang Rusuk

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri) *1 , karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk…” Dalam satu riwayat: “Wanita itu seperti tulang rusuk….” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Apakah memang wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki ataukah hanya penyerupaan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits yang kedua?

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta` yang saat itu diketuai Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu menjawab, “Zahir hadits menunjukkan bahwa wanita –dan yang dimaukan di sini adalah Hawa – diciptakan dari tulang rusuk Adam. Pengertian seperti ini tidaklah menyelisihi hadits lain yang menyebutkan penyerupaan wanita dengan tulang rusuk.

Bahkan diperoleh faedah dari hadits yang ada bahwa wanita serupa dengan tulang rusuk. Ia bengkok seperti tulang rusuk karena memang ia berasal dari tulang rusuk. Maknanya, wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok maka tidak bisa disangkal kebengkokannya. Apabila seorang suami ingin meluruskannya dengan selurus-lurusnya dan tidak ada kebengkokan padanya niscaya akan mengantarkan pada perselisihan dan perpisahan. Ini berarti ‘memecahkan’ nya.

Dalam riwayat Al-Imam Muslim rahimahullahu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, ia tidak bisa lurus untukmu di atas satu jalan. Bila engkau ingin bernikmat-nikmat dengannya maka engkau bisa bernikmat-nikmat dengannya namun padanya ada kebengkokan. Jika engkau memaksa untuk meluruskannya, engkau akan memecahkannya. Dan pecahnya adalah talaknya.”

Namun bila si suami bersabar dengan keadaan si istri yang buruk, kelemahan akalnya dan semisalnya dari kebengkokan yang ada padanya niscaya akan langgenglah kebersamaan dan terus berlanjut pergaulan keduanya. Hal ini diterangkan para pensyarah hadits ini, di antaranya Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bari (6/368) semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semua.

Dengan ini diketahuilah bahwa mengingkari penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam tidaklah benar.” (Fatwa no. 20053, kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta`, 17/10)

Penulis: Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta`

Catatan Kaki :

1 Al-Qadhi rahimahullahu berkata: “Al-Istisha` adalah menerima wasiat, maka makna ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan terhadap para istri maka terimalah wasiatku ini.” (Tuhfatul Ahwadzi)

Sumber :

http://ummuammar88.wordpress.com/2009/05/13/wanita-diciptakan-dari-tulang-rusuk/

Wasiat Penting Rasulullah Yang Terabaikan

Sesungguhnya termasuk perkara penting yang harus selalu kita ingat adalah wasiat-wasiat Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam. Diantaranya yaitu wasiat perpisahan yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan kepada para sahabat –semoga Allah meridhoi mereka seluruhnya-. Dikisahkan oleh ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ’anhu sebagai berikut:

Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sholat bersama kami, kemudian beliau memberi kami sebuah peringatan yang sangat baik. Oleh karenanya, mata-mata kami berlinang dan hati-hati kami bergetar. Maka seorang berkata: “wahai Rosulullah! Seolah-olah ini adalah peringatan orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau pesankan kepada kami?”. Beliau pun bersabda: “Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar, dan taat (kepada penguasa kalian) walaupun dia seorang budak Habsyi. Sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup dari kalian setelahku niscaya dia akan melihat perselisihan yang cukup banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa` Ar-Rosyidin Al- Mahdiyyin (para khalifah yang terbimbing lagi mendapat petunjuk). Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah atasnya dengan gigi-gigi geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara baru dalam agama. Karena sesungguhnya setiap perkara baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Abu Dawud, dan dihasankan oleh Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rohimahullah dalam kitabnya ”Al Jami’us Shohih mimma laisa fis Shohihain” 1/198-199 Cet. Daarul Atsaar Yaman)

Hadits ini merupakan wasiat yang sangat agung, di dalamnya terkandung beberapa pelajaran penting yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk kita tunaikan sepeninggalnya. Dengan mengamalkannya, kita tidak akan terombang-ambing dalam mengarungi ombak dan badai kehidupan dunia ini, sebelum kita menyusul beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ke alam barzakh dan akherat nanti.

Pada hadits yang mulia ini, beliau mewasiatkan tiga perkara kepada kita: yang pertama untuk setiap pribadi yang muslim, yang kedua terhadap pemerintah kaum muslimin, dan yang ketiga mengenai pengamalan agama secara benar.

Adapun yang berkenaan dengan setiap pribadi yang muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah azza wa jalla.” Wasiat beliau untuk bertakwa kepada Allah merupakan wasiat yang sangat agung. Wasiat ini adalah ajaran yang menuntun kita untuk membentengi diri dengan keimanan yang kuat kepada Allah Ta’ala. Seorang yang bertakwa kepada Allah niscaya akan berhasil membina dirinya. Dengan bertakwa, berarti dia berhasil pula meraih keutamaan serta ganjaran yang cukup besar disisi Allah Ta’ala. Kebaikan dunia dan akhirat terdapat dalam bertakwa kepada Allah. Sekian banyak janji Allah dalam Al-Qur’an hanya dipersiapkan bagi orang-orang yang bertakwa. Di antaranya, Allah berfirman:

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan untuknya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 2-3)

Inilah beberapa keutamaan bertakwa kepada Allah yang akan diraih dalam menapaki kehidupan dunia ini. Allah akan membentangkan jalan keluar dari segala problema hidup yang membelitnya, Allah akan melimpahkan rezeki kepadanya dari arah yang tiada disangka-sangkanya, dan Allah akan mencukupkan kebutuhannya bila takwa disertai dengan penyandaran diri kepada-Nya. Demikianlah janji Allah kepada orang-orang yang bertakwa. Maka barangsiapa yang ingin meraih keberuntungan ini, hendaklah dia bertakwa kepada Allah. Adapun keutamaan bertakwa kepada Allah yang akan digapai dalam kehidupan kampung akherat yaitu memuaskan diri dengan mereguk berbagai kenikmatan surga yang tiada banding. Allah berfirman (yang artinya):

“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rob kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. (Ali Imron: 133)

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam naungan (yang teduh) dan (di sekitar) mata-mata air. Dan (mendapat) buah-buahan dari (macam-macam) yang mereka inginkan. (Dikatakan kepada mereka): “Makan dan minumlah kalian dengan enak karena amal yang telah kalian kerjakan”. (Al Mursalaat: 41-43)

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan. (Yaitu) kebun-kebun dan buah anggur. Dan gadis-gadis remaja yang sebaya. Dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula) perkataan dusta. Sebagai pembalasan dari Robmu dan pemberian yang cukup banyak”. (An Naba`: 31-36)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat senada yang berbicara tentang pahala dan ganjaran bagi orang-orang yang bertakwa di kampung akherat nanti.

Bertakwa kepada Allah artinya melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan Nya. Bertakwa adalah kalimat yang singkat tetapi pengamalannya merupakan perkara yang cukup berat. Kebanyakan manusia terombang-ambing dalam bertakwa kepada Allah diantara dua kondisi. Sebagian dari mereka tidak menunaikannya sesuai dengan yang dikehendaki dan diridhoi oleh Allah. Sedangkan sebagian yang lain berlebihan ketika mengamalkannya sehingga melampaui batas dalam beragama. Namun yang berbahagia dan beruntung adalah orang-orang yang menunaikan dan mengamalkannya sesuai dengan keridhoan Allah Ta’ala dan tidak melampui batas agama. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kalian meninggal dunia melainkan sebagai orang-orang yang beragama Islam.” (Ali ‘Imran: 102)

Wasiat beliau yang kedua yaitu menyangkut hubungan dengan pemerintah kaum muslimin, hubungan dalam bernegara dan bermasyarakat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan (yang artinya): “Aku wasiatkan kepada kalian untuk mendengar dan taat walaupun yang berkuasa atas kalian adalah seorang budak Habasyi.” Ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menunjukkan betapa penting mendengar dan taat kepada pemerintah yang muslim. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang taat kepadaku berarti dia telah taat kepada Allah. Barangsiapa yang bermaksiat kepadaku berarti dia telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada penguasanya berarti dia telah taat kepadaku. Dan barangsiapa yang durhaka kepada penguasanya berarti dia telah durhaka kepadaku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu hurairah radhiyallahu ’anhu)

Maka mendengar dan taat kepada pemerintah kaum muslimin merupakan perkara yang diperintahkan oleh Islam. Tentu saja mendengar dan taat yang diperintahkan oleh Islam itu dalam batas norma-norma kebaikan. Semuanya harus berpijak kepada ajaran Al Quran dan As-Sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“sungguh ketaatan itu hanya dalam perkara yang baik.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu)

Adapun untuk yang selain kebaikan, kita tidak diperintahkan untuk mendengar dan taat kepada pemerintah. Namun bukan berarti bahwa kita diperbolehkan melakukan tindakan-tindakan yang menjatuhkan kewibawaan pemerintah tersebut. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Penguasa itu adalah naungan Allah diatas muka bumi, maka barangsiapa yang memuliakannya niscaya dia akan dimuliakan oleh Allah. Dan barangsiapa yang menghinakannya niscaya dia akan dihinakan oleh Allah.” (HR. Ibnu Abi ’Ashim dan yang selainnya, dari sahabat Abu Bakroh radhiyallahu ’anhu, dihasankan oleh Syaikh Al Albani rohimahullah)

Selanjutnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya: “Walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habasyi”. Ini bukan berarti bahwa kita disyariatkan untuk mengangkat penguasa dari seorang budak habsyi. Sebab kekuasaan itu pada hakekatnya hendaklah diserahkan kepada seorang yang bersuku Quraisy. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Para pemimpin (kaum muslimin) itu adalah dari suku Quraisy”. (HR. Ahmad, At-Thabrani, Al Baihaqi, At-Thayalisi, Ibnu Abi ‘Ashim, dan yang lainnya, dari beberapa orang sahabat nabi, diantaranya: Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib, Abu Barzah Al-Aslami, dan yang lainnya. Hadist ini dishahihkan oleh syaikh Al-Albani di dalam Al-Irwa` no (250) )

Sedangkan dalam hadits yang lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya ingin memberikan permisalan. Yang beliau lakukan ini dalam rangka mempertegas perintahnya untuk mendengar dan taat kepada pemerintah kita dalam segala kondisi, baik sewaktu sulit atau mudah, suka atau murka, bahkan walaupun mendzolimi kita, selama tidak mengandung maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengambil ba’iat dari para sahabatnya –semoga Allah meridhoi mereka seluruhnya- agar tetap mendengar dan taat kepada penguasa mereka. Sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian sahabat:

“Baik dalam keadaan kami suka maupun tidak suka”. (HR.Al Bukhari dan Muslim dari sahabat Ubadah bin As-Shamit radhiyallahu ’anhu)

Adapun wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang ketiga yaitu mengenai pengamalan agama secara benar. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya):

“Barangsiapa yang masih hidup dari kalian setelahku niscaya dia akan melihat perselisihan yang cukup banyak”.

Yakni perselisihan dalam masalah agama. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Wajib atas kalian untuk berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa` Ar-Rosyidin Al- Mahdiyyin (para khalifah yang terbimbing lagi mendapat petunjuk)”.

Yakni berpegang kepada ajaran agama yang telah diwariskan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya, secara lebih khusus para Khulafa` Ar-Rosyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) –semoga Allah meridhoi mereka seluruhnya-. Perintah beliau ini membimbing kita untuk memahami agama sesuai dengan Sunnahnya dan pemahaman para sahabatnya.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Berpegang teguhlah kalian dengannya dan gigitlah atasnya dengan gigi-gigi geraham kalian”.

Pernyataan ini merupakan penekanan yang extra dalam memegang sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sekuat-kuatnya, sampai diibaratkan seperti menggigitnya dengan gigi-gigi geraham. Seorang yang menggigit dengan gigi-gigi gerahamnya terbukti lebih kuat daripada yang menggigit dengan gigi-giginya yang lain. Bahkan gigitannya tidak akan mampu dilepaskan walaupun dengan tarikan yang menghentak kecuali jika gigi-gigi geraham itu telah tercabut dari akarnya.

Maksud dari semua ini yaitu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita agar memegang teguh sunnahnya dengan sekuat tenaga dan kemampuan. Sebab di masa belakangan sepeninggal beliau nanti, akan terjadi perkara-perkara baru dalam agama yang memancing kita untuk mengikuti angkara murka hawa nafsu kita. Oleh karena itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara baru dalam agama. Karena sesungguhnya setiap perkara baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat”.

Wallahu a’lam bish shawab.

Oleh: Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al Maidani

http://alhujjah.wordpress.com/2008/03/28/wasiat-fundamental-yang-terabaikan/#more-46

Kepada Siapa Kita Menyandarkan Nasib Kita?

Menyandarkan hidup sepenuhnya kepada Allah subhanahu wata’ala tanpa dibarengi dengan usaha yang nyata bukanlah termasuk perangai orang yang bertawakkal dengan sebenarnya.

Secara bahasa, tawakkal bermakna الاعتماد (bersandar) dan التفويض (berserah diri). Bertawakkal kepada Allah ta’ala berarti menyandarkan dan menyerahkan segala urusan dia hanya kepada-Nya.

Seorang yang bertawakkal kepada Allah adalah dengan dia benar-benar menyandarkan dirinya kepada Allah saja, dan dia tahu bahwa kebaikan itu datang hanya dari Allah ‘azza wajalla semata, Allah ta’ala sajalah satu-satunya Dzat yang mengatur segala urusannya. Dan dia pun juga memahami apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

“Wahai anak kecil, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapatkan (pertolongan dan karunia) Dia berada di hadapanmu. Jika Engkau meminta, maka mintalah hanya kepada Allah. Jika Engkau meminta pertolongan, maka mintalah tolong hanya kepada Allah. Ketahuilah, kalu saja manusia berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu, maka tidaklah mereka bisa memberimu manfaat kecuali dengan sesuatu yang Allah tulis bagimu, dan kalaulah mereka berkumpul untuk menimpakan mudharat kepadamu, maka tidaklah mereka mampu untuk memudharatkanmu kecuali dengan sesuatu yang memang telah Allah tulis bagimu.” [HR. Ahmad dan At-Tirmidzi. Lihat penjelasan Ibnu Rajab di dalam kitabnya Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam hal.174]

Tawakkal merupakan kewajiban bagi seorang hamba yang dituntut untuk menunaikannya dengan ikhlas kepada Allah subhanahu wata’ala.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

“Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya kalian bertawakal jika memang kalian mengaku beriman.” (Al-Maidah 23).

Dan firman-Nya:

“Jika kalian mengaku beriman kepada Allah, maka hanya kepada-Nya lah hendaknya kalian bertawakkal jika kalian memang benar-benar orang-orang yang berserah diri.” (Yunus: 84)

Pada dua ayat ini, Allah menjadikan tawakkal sebagai syarat keimanan dan keislaman seseorang. Hal ini menunjukkan tentang pentingnya permasalahan tawakal ini bagi seorang hamba. Tawakal merupakan wujud realisasi tauhid yang paling tinggi dan mulia yang dimiliki oleh seorang hamba. Segala yang dikerjakan dan diamalkan oleh seorang hamba, baik yang berhubungan dengan permasalahan dunianya maupun akhiratnya, dia kembalikan dan dia sandarkan semuanya hanya kepada Allah ‘azza wajalla semata, bukan kepada yang lain.

Namun yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa sikap tawakkal itu tidaklah kemudian mengabaikan upaya untuk melakukan sebab-sebab (yakni beramal dan berusaha) dengan sesuatu yang bisa mengantarkan kepada yang dia inginkan. Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bertawakkal dan sekaligus beramal mencari sebab-sebab teraihnya sesuatu yang dikehendaki tersebut. Ini merupakan bentuk tawakkal yang paling sempurna. Hanya saja jangan sampai seseorang bersandar sepenuhnya kepada sebab-sebab yang dia kerjakan tersebut dan kemudian melupakan ketergantungan dan bersandarnya diri kepada Allah subhanahu wata’ala.

Allah ta’ala berfirman:

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.” (Al-Anfal: 60)

Dan firman-Nya:

“Bersiap siagalah kalian.” (An-Nisa’: 71)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling mulia dan paling sempurna tawakkalnya kepada Allah ‘azza wajalla, walaupun demikian beliau berusaha mencari dan melakukan sebab-sebab sebagai wujud dari tawakkal beliau kepada Rabbnya. Salah satunya adalah ketika berperang, beliau menyiapkan dan membawa senjata, memakai pakaian perang, memakai pelindung kepala dan yang lainnya dari perlengkapan perang. Tidak kemudian beliau pergi berperang dengan tanpa perlengkapan dengan alasan bergantung kepada Allah ta’ala. [Lihat Zaadul Ma’aad karya Ibnul Qayyim (I/130-133) dan (III/380-481)].

Dikisahkan bahwa sebagian kaum muslimin yang hendak pergi menunaikan ibadah haji namun tanpa membawa perbekalan. Bahkan mereka berkata: ‘Kami bertawakkal kepada Allah’. Ini adalah keliru, sehingga kemudian Allah subhanahu wata’ala turunkan kepada mereka perintah untuk menyiapkan perbekalan.

Allah ‘azza wajalla berfirman:

“Dan berbekallah kalian. Maka sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)

Bersandar sepenuhnya kepada sebab-sebab (misal hanya mengandalkan pada upaya dan kerja keras saja, red) merupakan bentuk kesyirikan. Namun meninggalkan sebab-sebab dan pasrah begitu saja merupakan sikap yang tercela dalam syariat. Maka, janganlah tawakkal ini menjadikan seseorang malas dan lemah, pasrah begitu saja tanpa mau berusaha mencari sebab. Dan juga janganlah kemudian seseorang berusaha mencari sebab-sebab (berupaya keras, red) namun tidak bersandar kepada Allah subhanahu wata’ala. Wajib bagi seseorang untuk menunaikan keduanya: mencari sebab dan bersandar kepada Allah.

Jika ada yang berkata: ‘Saya akan bertawakkal saja kepada Allah untuk mendapatkan rezeki. Saya akan tinggal di rumah saja dan tidak perlu repot-repot mencari rezeki’.

Maka kita katakan kepadanya bahwa ini tidak benar dan bukan merupakan bentuk tawakkal yang sesungguhnya. Karena Allah subhanahu wata’ala -Dzat yang telah memerintahkan untuk bertawakkal- juga telah berfirman:

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu akan dibangkitkan.” (Al-Mulk: 15)

Dan juga jika ada seseorang yang hendak meminum racun, kemudian berkata: ‘Saya bertawakkal kepada Allah agar racun ini tidak memudharatkan saya’. Inipun bukan merupakan bentuk tawakkal yang benar dan bahkan menyelisihi larangan Allah subhanahu wata’ala, karena Allah subhanahu wata’ala telah berfirman:

“Janganlah kalian membunuh diri-diri kalian sendiri. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian.” (An-Nisa: 29).

Walhasil, bahwa mencari sebab-sebab yang telah Allah subhanahu wata’ala tentukan tidaklah meniadakan kesempurnaan tawakkal. Bahkan hal ini merupakan bagian dari kesempurnaan tawakkal itu sendiri.

[Diterjemahkan dengan ringkas dari kitab Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan (I/33-37) oleh Al-Ustadz ‘Abdullah Imam]

http://www.assalafy.org/mahad/?p=471, judul asli : Kusandarkan Hidupku Pada-Mu, Hakekat Tawakkal

Beriman Pada Takdir Allah, Tanpa Pasrah dan Tetap Berupaya

Sebagian kaum muslimin cenderung salah memahami makna takdir, mereka hanya pasrah terhadap takdir yang telah ditentukan Allah hingga akhirnya malas untuk berusaha/berupaya. Jika kaum muslimin memahami dengan benar masalah takdir ini, niscaya mereka akan mengetahui kekuasaan Allah yang Maha Besar dan Mutlak. Dan bahwasanya segala daya upaya dan kekuatan kita ada di bawah kekuasaan Allah.

Dalil-dalil tentang Takdir

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghendaki segala sesuatu yang akan terjadi, sedang terjadi dan telah terjadi di alam ini. Dan Ia juga telah mencatatnya di lauhul mahfudh jauh sebelum diciptakannya langit dan bumi.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:

“Allah telah mencatat takdir para mahluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi”. (HR. Muslim)

Takdir juga merupakan salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim. Maka seluruh kaum muslimin harus beriman bahwa segala sesuatu sudah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang baik ataupun yang buruknya; yang manis maupun yang pahitnya; sengsara atau bahagia. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam ketika menjawab pertanyaan dari Jibril tentang iman bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat dan beriman kepada takdir baik dan buruknya”. (HR. Muslim)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran yang sudah ditentukan.” (al-Qamar: 49)

“Dan Allah menciptakan kalian dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kalian berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seseorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah. “(Fathir: 11)

Masalah Takdir adalah Kekuasaan Allah

Yang dimaksud adalah bahwa Allah Maha Berkuasa untuk mentakdirkan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya dalam keadaan manusia tetap memiliki ikhtiar, usaha dan kehendak. Namun semua kehendak, ikhtiar dan usaha manusia tidak akan lepas dari apa yang telah Allah tentukan.

“Dan tidaklah kalian berkehendak, kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (al-Insaan: 30)

Maka semua yang diamalkan oleh manusia adalah apa yang telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

”Dan Allah menciptakan kalian dan apa-apa yang kalian kerjakan. “(ash-Shaafaat: 96)

Sehingga dengan keyakinan mereka terhadap takdir ini, Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak pernah putus asa dalam berusaha. Hanya saja mereka mengiringi usahanya dengan do’a dan berharap kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar mendapatkan taufik dan keberhasilan, karena mereka mengetahui dan meyakini bahwa Allahlah yang menentukan dan menakdirkan. Tidak ada kekuatan dan daya upaya kecuali dengan bantuan Allah.

Dengan demikian, kaum muslimin yang beriman kepada takdir akan menjadi manusia yang besar hati, kuat, semangat dan tabah dalam menghadapi ujian-ujian dan musibah. Karena mereka tahu apa yang terjadi dari keberhasilan, kegembiraan, dan kesuksesan adalah dari Allah, sehingga mereka bersyukur kepada Allah. Demikian pula sebaliknya ketika mereka ditimpa kegagalan, kesedihan, dan musibah-musibah, maka mereka tahu bahwa itu adalah dengan takdir dari Allah, hingga mereka pun bersabar atas apa yang menimpanya dan mengucapkan: “Sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali kepada-Nya”. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

“..(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. (al-Baqarah: 156)

Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang beriman bertawakal.” (at-Taubah: 51)

Hikmah Beriman Kepada Takdir

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang hikmah diberitakannya masalah takdir kepada manusia:

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakan-nya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan putus asa terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. “(al-Hadiid: 22-23)

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:

“Sungguh mengagumkan keadaan seorang mukmin, seluruh perkaranya adalah baik; dan tidaklah demikian bagi seseorang pun kecuali mukmin. Jika ia diberikan kesenangan ia bersyukur, maka itu baik bagi-nya; dan jika ia ditimpa kesusahan ia sabar, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim)

Adab Manusia Dalam Menyikapi Takdir Allah

Dengan keimanan kita kepada takdir Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kita menyatakan ketika kita mendapati kebaikan, keberhasilan, kegembiraan dan kesuksesan: “Ini dari Allah”. Kemudian mensyukurinya dengan ucapan ‘alhamdulillah’ dan menggunakan kenikmatan dan kebaikan tersebut untuk apa yang diridlai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Namun ketika kita mendapatkan musibah, kejelekan, kesedihan, dan kegagalan, maka yang kita nyatakan adalah sebab terjadinya musibah tersebut, walaupun kita mengetahui semuanya adalah takdir dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Namun Allah menciptakan segala sesuatu dengan sebab-sebabnya. Maka kita ucapkan: “Ini akibat kelalaian kita”, “Ini karena disebabkan dosa-dosa kita”, “Ini akibat kecerobohan dan kelemahan kita” dan seterusnya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri… “(an-Nisaa’: 79)

Yakni kita menyatakan bahwa Allah mentakdirkan kejelekan-kejelekan tersebut adalah karena dosa-dosa kita. Sehingga pernyataan ini tidak bertentangan dengan ayat lain yang menyatakan semua adalah dari Allah.

“…dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”. Dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan : ‘Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)’. Katakanlah: ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah’… “(an-Nisaa’: 78)

Hal ini sama seperti ketika kita memanggil Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang baik. Kita tidak boleh memanggil Allah dengan kalimat: “Wahai pencipta setan”, “Wahai pencipta kejelekan”, karena hal ini mengandung celaan, walaupun kita meyakini bahwa setan dan seluruh kejelekan adalah ciptaan Allah. Berbeda halnya ketika kita mengatakan: “Wahai pencipta segala mahluk” atau “Wahai pencipta segala kebaikan dan kejelekan”. Walaupun sesungguhnya setan, monyet, babi dan seluruh makhluk-makhluk lain adalah ciptaan Allah, namun kita wajib menjaga adab ketika berbicara tentang Allah.

Hal ini seperti ucapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang mengkisahkan ucapan Ibrahim ‘alahi salam: “dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku.” (asy-Syu’araa: 80)

Dalam ayat ini, Ibrahim ‘alahi salam menisbatkan sakitnya kepada dirinya “aku sakit”, tetapi menisbahkan kesembuhannya kepada Allah “Dialah yang menyembuhkanku”. Walaupun Ibrahim tentu meyakini bahwa penyakit dan kesembuhan seluruhnya dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Atau seperti ayat Allah yang mengkisahkan ucapan jin: “Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Rabb mereka menghendaki kebaikan bagi mereka. “ (al-Jin: 10)

Dalam ayat ini, ketika membicarakan tentang kejelekan disebut dengan kata “dikehendaki” tanpa disebutkan siapa yang menghendakinya “apakah kejelekan yang dikehendaki?” Namun ketika berbicara tentang kebaikan disebutkan dengan jelas pelakunya: “Atau Rabb-mu menghendaki kebaikan”.

(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 54/Th. II , 14 Shafar 1426 H/25 Maret 2005 M, penulis Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli “Beriman kepada Taqdir, tidak menafikan adanya usaha”. (Ada sedikit mengalami penyaduran dan peringkasan, untuk melihat naskah aslinya silahkan lihat di http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=966