“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan
musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu...” (QS. Al
Mumtahanah, 60: 1)
Sentimentalisme, atau dengan kata lain, kerinduan romantis, menjadikan
dirinya lebih sering dikenal dalam samaran "cinta". Misalnya, seperti
yang akan dibahas pada bahasan berikutnya, kaum nasionalis romantis
menyatakan mencintai negara mereka, yang menjadi alasan bagi mereka
untuk memusuhi atau bahkan menyerang bangsa-bangsa lain.
Atau
kita bisa memperhatikan seorang pemuda yang jatuh cinta kepada seorang
gadis yang dijadikan satu-satunya fokus dalam hidupnya. Yang menuntun
pemuda itu menulis bagi sang gadis puisi, "Aku cinta kepadamu", dan
menjadi terobsesi dengannya sampai hendak bunuh diri, dan bahkan
"memuja" sang gadis, adalah gagasan "cinta". Kemudian ada kaum
homoseksual, mereka yang jelas-jelas melanggar larangan Tuhan, tanpa
malu-malu dan berkeras mempraktikkan penyimpangan seksualnya; mereka
juga mengklaim telah menemukan "cinta".
Sementara bagi
mayoritas orang, mereka mengira bahwa setiap perasaan yang
mengatasnamakan "cinta" dianggap mulia, murni dan bahkan suci, dan bahwa
contoh-contoh kerinduan romantis seperti yang disebutkan di atas, dapat
diterima sepenuhnya.
Cinta memang perasaan yang indah, yang
dianugrahkan Allah kepada manusia, tetapi penting untuk membedakan
apakah cinta itu nyata atau tidak, dan untuk menimbang-nimbang kepada
siapa cinta ditujukan, dan sentimen apa yang menjadi dasarnya.
Penyelidikan demikian akan menjelaskan perbedaan antara sentimentalisme
yang mengarah pada cinta yang menyimpang, dan cinta sejati, seperti yang
difirmankan Allah di dalam Al Quran.
Menurut Al Quran, cinta
harus ditujukan kepada yang berhak menerimanya. Mereka yang tidak pantas
menerimanya tidak perlu dicintai. Bahkan kita diharuskan menjaga jarak
secara emosional dari mereka, atau setidaknya, tidak merasakan
kecenderungan ke arah mereka. Tetapi mereka yang pantas mene-rimanya,
pantas dicintai karena sifat-sifat baiknya.
Satu-satunya Zat
yang berhak menerima cinta mutlak adalah Allah, yang menciptakan kita
semua. Allah yang menciptakan kita, melimpahi dengan nikmat yang tidak
terhitung banyaknya, yang menunjukkan jalan, dan menjanjikan surga abadi
untuk kita. Dia menolong kita keluar dari setiap kecemasan dan dengan
sabar mendengarkan setiap doa kita.
Dialah yang memberi kita
makan hingga kenyang, mengobati kita apabila sakit dan kemudian
mengembalikan semangat kita. Karena itu, mereka yang memahami misteri
alam semesta akan mencintai Allah di atas segalanya, dan mencintai siapa
saja yang dicintai Allah, yaitu orang-orang yang taat mengikuti
kehendak-Nya.
Di lain pihak, para pembangkang yang memberontak
terhadap Allah, Tuhan mereka, tidaklah layak untuk dicintai. Memberikan
cinta kepada orang-orang itu adalah kesalahan besar, bertentangan dengan
peringatan Allah terhadap orang beriman dalam firman-Nya berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan
musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka
mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah,
Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan
mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu
memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka,
karena rasa kasilh sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu
sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu
yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang
lurus.” (QS. Al Mumtahanah, 60: 1)
Seperti yang dinyatakan pada
ayat di atas, orang beriman tidak boleh memberikan cintanya kepada
pembangkang. Ada hal penting di sini yang perlu diingat: meskipun orang
beriman tidak merasakan cinta dalam hatinya bagi seseorang yang menolak
agama, dia harus tetap berusaha dengan segala daya untuk mengajaknya
beriman dan patuh kepada Allah. "Tidak mencintai" orang seperti itu
bukan berarti mem-bencinya, atau tidak menghendaki apa yang baik
baginya.
Sebaliknya, orang beriman kepada Allah akan
menjelaskan makna agama kepada siapa saja yang mencari jalan lurus, dan
yang mau menerima petunjuk. Orang beriman yang mengingatkan orang lain
tentang keberadaan surga dan neraka, dan memperingatkannya tentang
kematian, hari perhitungan, dan kehidupan akhirat, akan memenuhi
tugasnya dengan kepedulian dan kasih sayang.
Bahkan jika
seseorang tetap tidak beriman, walaupun segenap daya upaya sudah
dikerahkan, ini tidaklah menghalangi Muslim untuk berbuat adil
terhadapnya. Kecuali seseorang mencoba menyakiti orang-orang beriman,
atau menyebabkan konflik dan pertentangan antar se-sama, seorang muslim
harus tetap bersikap toleransi kepada semuanya, karena Allah sudah
memberi perintah kepada orang-orang yang beriman:
“Allah tiada
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim.” (QS. Al Mumtahanah, 60: 8-9)
Pada ayat di atas, seperti
juga ayat sebelumnya (QS. Al Mumtahanah, 60: 1), Allah, dengan
kebijaksanaan-Nya, mengajarkan kita suatu hal yang sangat penting untuk
dipahami. Emosi tidak boleh menuntun perilaku seseorang, karena ia dapat
menjerumuskannya pada kesalahan besar. Seseorang harus bertindak, tidak
menurutkan emosinya, tetapi menurutkan akal sehatnya, kehendak
bebasnya, dan perintah Allah. Lebih jauh, dia harus melatih emosinya
agar selaras dengan akal sehat dan kehendaknya.
Kita dapat
mengenali kebutuhan ini dalam diri siapa saja yang sudah jatuh ke dalam
perangkap sentimentalitas. Ratusan juta orang diperbudak oleh perasaan,
ambisi, nafsu, kebencian dan kemarahan mereka. Mereka melakukan hal-hal
yang tidak rasional, dan mem-benarkan tindakan mereka dengan menyatakan
ketidakberdayaan, misalnya berkata, "Saya tidak bisa menahannya, saya
benar-benar menyukainya," atau "Saya tidak berdaya. Saya
menginginkannya. Saya merasa menyukainya." Tetapi sebenarnya, sesuatu
yang "disukai" seseorang tidak berarti baik atau sah.
Perasaan
di dalam diri kita selalu mendorong kita untuk melakukan kesalahan,
dengan setan menghasut kita melakukan kesalahan yang lebih besar lagi.
Ketika seseorang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak
Allah, dan berdalih, "Saya tidak kuasa menahannya. Saya merasa
menyukainya," sebenarnya dirinya bertindak sebagai alat setan. Di dalam
Al Quran, Allah merujuk orang-orang seperti itu melalui ayat berikut:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat ber-dasarkan ilmu-Nya dan
Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan
tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (mem-biarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak
mengambil pelajaran?” (QS. Al Jaatsiyah, 45: 23)
Pada bahasan
berikutnya, akan diteliti pelbagai contoh romantisisme berlebihan,
sejenis sentimentalisme. Akan dibahas pula bahaya yang mengancam manusia
dari cara berpikir demikian, dan bagaimana penyakit itu bisa diatasi.
http://www.facebook.com/layla.yudha.5