Selasa, Oktober 16, 2012

Dua Anak Lebih, Baik!

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim



Suatu ketika datang kepada saya suami-isteri usia 50-an tahun atau bahkan sudah mendekati 60 tahun. Ada masalah yang ingin mereka konsultasikan. Me­reka kesulitan mengendalikan perilaku anak bungsunya dan merasa tidak mampu mengasuh anak tersebut dengan kebiasaan serta nilai-nilai mulia. Awalnya anak ini tumbuh de­ngan kebiasaan yang baik, tetapi tatkala memasuki SLTP, perilakunya berubah. Anak manis itu mulai me­rokok, begadang, kasar kepada orangtua dan pacaran sampai jauh malam. Tak ada yang bisa mereka la­kukan karena –menurut cerita orangtuanya—anaknya tak bisa dikerasi. Dinasehati tak mendengar, dice­gah melawan, dan dikerasi melawan. Sementara ketika kedua orangtua mengambil sikap lunak, anak itu tak berubah perilakunya.

Apa yang salah pada anak ini? Orangtuanya memiliki waktu yang cukup, bahkan lebih dari cukup untuk mengasuh, menemani dan memberi pendidikan terbaik kepada anak. Meskipun kedua orangtuanya sangat sibuk, mereka berdua memiliki komitmen yang baik dalam urusan mendidik anak. Mereka sendiri menyandang gelar doktor dan masing-masing memegang peranan penting di lembaga pendidikan. Bah­kan karena ingin menjamin anaknya sukses, mereka mempersiapkan anak-anaknya secara cermat penuh perhitungan. Demi memastikan agar anak keduanya memperoleh perhatian secara memadai dan biaya pendidikan yang cukup, mereka secara sengaja merencanakan agar jarak kelahiran antara anak pertama dan kedua di atas 10 tahun. Dan sesuai rencana, jarak kelahiran anaknya benar-benar sesuai keinginan.

Tetapi….

Rupanya ada yang lupa ia perhitungkan bahwa kerepotan bukanlah banyaknya urusan yang ha­rus kita selesaikan. Betapa banyak orang yang harus menangani sangat banyak urusan setiap hari, tetapi ia tetap mampu menghadapinya dengan senyum lebar. Pada saat yang sama, ia mampu terlibat aktif da­lam berbagai kegiatan. Sebaliknya, urusan kecil dapat memusingkan kepala manakala kita tidak siap meng­hadapinya.

Mengasuh anak juga demikian. Bukan banyaknya anak yang menyebabkan kita tak punya kesem­patan mengurus diri sendiri, bukan juga aktifnya mereka yang menjadikan kita merasa kelelahan dan te­gang terus-menerus. Kesiapan mental kitalah yang lebih banyak berpengaruh terhadap bagaimana kita merasakan tiap-tiap peristiwa sebagai kesengsaraan dan penderitaan ataukah sebagai tantangan dan la­dang amal shalih. Mereka yang menyiapkan dirinya untuk mengasuh banyak anak, lebih ringan hati tatkala Allah Ta’ala mengamanahkan kepadanya satu atau dua anak. Sebaliknya, mereka yang berusaha keras agar tak banyak urusan yang harus mereka selesaikan dalam mengasuh anak dengan berusaha keras agar tidak mempunyai banyak anak, akan lebih cepat merasakan be­ratnya persoalan hanya karena anak meminta perhatian lebih.

Karenanya, sebelum melangkah lebih jauh, marilah kita renungkan sejenak sabda Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:

“Menikah adalah sunnahku. Barangsiapa yang tidak mau melaksanakan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku. Menikahlah kalian. Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlah kalian diban­ding umat yang lain.” (HR. Ibnu Majah).

Hadis yang dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah ini jelas menunjukkan keutamaan mempunyai banyak anak dan menjadikannya sebagai cita-cita. Tak ada yang menghalangi mereka untuk mempunyai lebih banyak anak kecuali karena pertimbangan-pertimbangan syar’i. Tak ada yang menjadikan mereka gemetar hatinya untuk memperbanyak anak kecuali karena lemahnya keyakinan. Mereka mengaku bertuhan, tetapi tidak meyakini bahwa Allah Maha Pemurah. Mereka mengaku beriman, tetapi ragu terhadap janji tuhannya.

Di sisi lain, lemahnya cita-cita dan kurangnya tekad untuk berbanyak anak menyebabkan kita mu­dah berkeluh-kesah. Kita cepat sekali merasakan kerepotan yang tak teratasi. Suka atau tidak, ini akan mempengaruhi cara kita mengasuh anak. Mereka yang dibesarkan dengan keluh-kesah cenderung tidak memiliki daya juang tinggi. Mereka cepat merasa sulit bahkan sebelum berletih-letih dalam berusaha. Padahal bersama kesulitan pasti ada beberapa kemudahan yang pasti Allah Ta’ala berikan kepada kita. Se­baliknya, mereka yang dibesarkan dengan penuh penerimaan dan kasih-sayang, akan memiliki penerimaan diri yang baik sehingga mereka tumbuh sebagai manusia yang penuh percaya diri. Mereka mudah meng­hargai orang lain bukan karena orang lain memiliki kehebatan luar biasa. Mereka menghargai karena la­pangnya dada dan bersihnya hati sehingga mudah merasakan kebaikan orang lain.

Pelajaran apa yang bisa kita petik? Sebelum urusan bagaimana cara mengasuh anak, ada yang harus kita benahi dalam niat kita. Jika banyaknya anak menjadi cita-cita, maka kehadiran mereka akan kita sambut dengan penuh kerelaan dan rasa syukur. Ini merupakan hadiah pertama yang sangat berharga bagi anak. Jika mereka dibesarkan dengan penuh kesyukuran serta kehangatan, anak-anak itu akan lebih mudah untuk belajar menebar kebaikan dan kesantunan. Inilah pilar awal pembelajaran. Di berbagai se­kolah terbaik, akhlak mulia dan perilaku santun merupakan prioritas pertama sebelum melibatkan anak dalam kegiatan pembelajaran akademik. Inilah dasar berpengetahuan (the basic of knowing) yang sangat penting. Ini pula yang menjadi penanda apakah sebuah sekolah, ma’had atau sekolah berasrama (boarding school) memiliki iklim yang positif atau tidak. Secara lebih sempit, iklim belajar berkembang baik atau ti­dak di sebuah sekolah dapat dilihat dari kuat-lemahnya kesantunan dalam wicara maupun dalam perbu­atan lain.

Tentu saja sangat berbeda antara punya banyak anak karena memang menginginkan dengan penuh harap dengan berbanyak anak semata karena subur dan sering berhubungan. Yang tampak bisa sama, tetapi nilai keduanya sangat berbeda. Berbeda pula akibat yang muncul sesudahnya. Yang pertama terjadi karena besarnya harapan terhadap ridha Allah dan kehidupan yang penuh barakah. Sedangkan yang kedua muncul karena kurangnya kendali dan besarnya gairah berhubungan. Itu saja!

Wallahu a’lam bish-shawab.

Selebihnya, ada yang perlu kita perhatikan dalam mengasuh anak. Segala sesuatu ada ‘ilmunya. Tugas kita untuk membekali diri dengan ‘ilmu sebelum berbicara dan bertindak. Pada saat yang sama, kita memohon pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla agar apa yang ada dalam diri kita dapat menjadi jalan kebaikan. Jika kita termasuk orang yang keras, semoga Allah jadikan kerasnya sikap kita menjadi sebabnya tegaknya kebaikan dan kebenaran sebagaimana Allah Ta’ala telah baguskan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan keturunannya. Sebaliknya, semoga lunaknya sikap tidak menjadikan kita kehilangan ketegasan, tidak pula menyebabkan goyahnya pendirian kita atas perkara yang nyata kebenarannya.

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kalamuLlah; Al-Qur’an. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, yakni segala yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, termasuk yang beliau benarkan, diamkan dan larang.

Ada yang perlu kita pelajari lebih dalam lagi. Ada yang perlu kita kaji agar petunjuk Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam menjadi sumber untuk memperoleh kebenaran. Bukan untuk melakukan pem­benaran atas segala sesuatu yang datang belakangan dan tampak memukau.

Wallahu a’lam bish-shawab.
http://www.facebook.com/notes/mohammad-fauzil-adhim/dua-anak-lebih-baik/419863454729455

Selasa, Oktober 02, 2012

Wahai Anakku, Cintailah Al-Qur’an!

Mengajarkan Al-Qur’an kepada anak adalah hal yang paling pokok dalam Islam. Dengan hal tersebut, anak akan senantiasa dalam fitrahnya dan di dalam hatinya bersemayam cahaya-cahaya hikmah sebelum hawa nafsu dan maksiat mengeruhkan hati dan menyesatkannya dari jalan yang benar.
Para sahabat nabi benar-benar mengetahui pentingnya menghafal Al-Qur’an dan pengaruhnya yang nyata dalam diri anak. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anaknya sebagai pelaksanaan atas saran yang diberikan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam hadits yang diriwayatkan dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash,
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari).

Sebelum kita memberi tugas kepada anak-anak kita untuk menghafal Al-Qur’an, maka terlebih dahulu kita harus menanamkan rasa cinta terhadap Al-Qur’an. Sebab, menghafal Al-Qur’an tanpa disertai rasa cinta tidak akan memberi faedah dan manfaat. Bahkan, mungkin jika kita memaksa anak untuk menghafal Al-Qur’an tanpa menanamkan rasa cinta terlebih dahulu, justru akan memberi dampak negatif bagi anak. Sedangkan mencintai Al-Qur’an disertai menghafal akan dapat menumbuhkan perilaku, akhlak, dan sifat mulia.
Menanamkan rasa cinta anak terhadap Al-Qur’an pertama kali harus dilakukan di dalam keluarga, yaitu dengan metode keteladanan. Karena itu, jika kita menginginkan anak mencintai Al-Qur’an, maka jadikanlah keluarga kita sebagai suri teladan yang baik dengan cara berinteraksi secara baik dengan Al-Qur’an. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara memuliakan kesucian Al-Qur’an, misalnya memilih tempat paling mulia dan paling tinggi untuk meletakkan mushaf Al-Qur’an, tidak menaruh barang apapun di atasnya dan tidak meletakkannya di tempat yang tidak layak, bahkan membawanya dengan penuh kehormatan dan rasa cinta, sehingga hal tersebut akan merasuk ke dalam alam bawah sadarnya bahwa mushaf Al-Qur’an adalah sesuatu yang agung, suci, mulia, dan harus dihormati, dicintai, dan disucikan.
Sering memperdengarkan Al-Qur’an di rumah dengan suara merdu dan syahdu, tidak memperdengarkan dengan suara keras agar tidak mengganggu pendengarannya. Memperlihatkan pada anak kecintaan kita pada Al-Qur’an, misalnya dengan cara rutin membacanya.
Adapun metode-metode yang bisa digunakan anak mencintai Al-Qur’an diantaranya adalah:
1. Bercerita kepada anak dengan kisah-kisah yang diambil dari Al-Qur’an.
Mempersiapkan cerita untuk anak yang bisa menjadikannya mencintai Allah Ta’ala dan Al-Qur’an Al-Karim, akan lebih bagus jika kisah-kisah itu diambil dari Al-Qur’an secara langsung, seperti kisah tentang tentara gajah yang menghancurkan Ka’bah, kisah perjalanan nabi Musa dan nabi Khidir, kisah Qarun, kisah nabi Sulaiman bersama ratu Bilqis dan burung Hud-hud, kisah tentang Ashabul Kahfi, dan lain-lain.
Sebelum kita mulai bercerita kita katakan pada anak, “Mari Sayangku, bersama-sama kita dengarkan salah satu kisah Al-Qur’an.”
Sehingga rasa cinta anak terhadap cerita-cerita itu dengan sendirinya akan terikat dengan rasa cintanya pada Al-Qur’an. Namun, dalam menyuguhkan cerita pada anak harus diperhatikan pemilihan waktu yang tepat, pemilihan bahasa yang cocok, dan kalimat yang terkesan, sehingga ia akan memberi pengaruh yang kuat pada jiwa dan akal anak.
2. Sabar dalam menghadapi anak.
Misalnya ketika anak belum bersedia menghafal pada usia ini, maka kita harus menangguhkannya sampai anak benar-benar siap. Namun kita harus selalu memperdengarkan bacaan Al-Qur’an kepadanya.
3. Menggunakan metode pemberian penghargaan untuk memotivasi anak.
Misalnya jika anak telah menyelesaikan satu surat kita ajak ia untuk jalan-jalan/rekreasi, atau dengan menggunakan lembaran prestasi/piagam penghargaan, sehingga anak akan semakin terdorong untuk mengahafal Al-Qur’an.
4. Menggunakan semboyan untuk mengarahkan anak mencintai Al-Qur’an.
Misalnya :
Saya mencintai Al-Qur’an.
Al-Qur’an Kalamullah.
Allah mencintai anak yang cinta Al-Qur’an.
Saya suka menghafal Al-Qur’an.
Atau sebelum menyuruh anak memulai menghafal Al-Quran, kita katakan kepada mereka, “Al-Qur’an adalah kitab Allah yang mulia, orang yang mau menjaganya, maka Allah akan menjaga orang itu. Orang yang mau berpegang teguh kepadanya, maka akan mendapat pertolongan dari Allah. Kitab ini akan menjadikan hati seseorang baik dan berperilaku mulia.”
5. Menggunakan sarana menghafal yang inovatif.
Hal ini disesuaikan dengan kepribadian dan kecenderungan si anak (cara belajarnya), misalnya :
  • Bagi anak yang dapat berkonsentrasi dengan baik melalui pendengarannya, dapat menggunakan sarana berupa kaset, atau program penghafal Al-Qur’an digital, agar anak bisa mempergunakannya kapan saja, serta sering memperdengarkan kepadanya bacaan Al-Qur’an dengan lantunan yang merdu dan indah.
  • Bagi anak yang peka terhadap sentuhan, memberikannya Al-Qur’an yang cantik dan terlihat indah saat di bawanya, sehingga ia akan suka membacanya, karena ia ditulis dalam lembaran-lembaran yang indah dan rapi.
  • Bagi anak yang dapat dimasuki melalui celah visual, maka bisa mengajarkannya melalui video, komputer, layer proyektor, melalui papan tulis, dan lain-lain yang menarik perhatiannya.
6. Memilih waktu yang tepat untuk menghafal Al-Qur’an.
Hal ini sangat penting, karena kita tidak boleh menganggap anak seperti alat yang dapat dimainkan kapan saja, serta melupakan kebutuhan anak itu sendiri. Karena ketika kita terlalu memaksa anak dan sering menekannya dapat menimbulkan kebencian di hati anak, disebabkan dia menanggung kesulitan yang lebih besar. Oleh karena itu, jika kita ingin menanamkan rasa cinta terhadap Al-Qur’an di hati anak, maka kita harus memilih waktu yang tepat untuk menghafal dan berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Adapun waktu yang dimaksud bukan saat seperti di bawah ini:
Setelah lama begadang, dan baru tidur sebentar,
Setelah melakukan aktivitas fisik yang cukup berat,
Setelah makan dan kenyang,
Waktu yang direncanakan anak untuk bermain,
Ketika anak dalam kondisi psikologi yang kurang baik,
Ketika terjadi hubungan tidak harmonis anatara orangtua dan anak, supaya anak tidak membenci Al-Qur’an disebabkan perselisihan dengan orangtuanya.
Kemudian hal terakhir yang tidak kalah penting agar anak mencintai Al-Qur’an adalah dengan membuat anak-anak kita mencintai kita, karena ketika kita mencintai Al-Qur’an, maka anak-anak pun akan mencintai Al-Qur’an, karena mereka mengikuti orang yang dicintai. Adapun beberapa cara agar anak-anak kita semakin mencintai kita antara lain:
  • Senantiasa bergantung kepada Allah, selalu berdo’a kepada Allah untuk kebaikan anak-anak. Dengan demikian Allah akan memberikan taufikNya dan akan menyatukan hati kita dan anak-anak.
  • Bergaul dengan anak-anak sesuai dengan jenjang umurnya, yaitu sesuai dengan kaedah, “Perlakukan manusia menurut kadar akalnya.” Sehingga kita akan dengan mudah menembus hati anak-anak.
  • Dalam memberi pengarahan dan nasehat, hendaknya diterapkan metode beragam supaya anak tidak merasa jemu saat diberi pendidikan dan pengajaran.
  • Memberikan sangsi kepada anak dengan cara tidak memberikan bonus atau menundanya sampai waktu yang ditentukan adalah lebih baik daripada memberikan sangsi berupa sesuatu yang merendahkan diri anak. Tujuannya tidak lain supaya anak bisa menghormati dirinya sendiri sehingga dengan mudah ia akan menghormati kita.
  • Memahami skill dan hobi yang dimiliki anak-anak, supaya kita dapat memasukkan sesuatu pada anak dengan cara yang tepat.
  • Berusaha dengan sepenuh hati untuk bersahabat dengan anak-anak, selanjutnya memperlakukan mereka dengan bertolak pada dasar pendidikan, bukan dengan bertolak pada dasar bahwa kita lebih utama dari anak-anak, mengingat kita sudah memberi makan, minum, dan menyediakan tempat tinggal. Hal ini secara otomatis akan membuat mereka taat tanpa pernah membantah.
  • Membereskan hal-hal yang dapat menghalangi kebahagiaan dan ketenangan hubungan kita dengan anak-anak.
  • Mengungkapkan rasa cinta kepada anak, baik baik dengan lisan maupun perbuatan.
Itulah beberapa point cara untuk menumbuhkan rasa cinta anak kepada Al-Qur’an. Semoga kegiatan menghafal Al-Qur’an menjadi hal yang menyenangkan bagi anak-anak, sehingga kita akan mendapat hasil sesuai yang kita harapkan.
Diringkas dari Agar Anak Mencintai Al-Qur’an, Dr. Sa’ad Riyadh
http://muslimah.or.id/pendidikan-anak/wahai-anakku-cintailah-al-quran.html