Minggu, Agustus 23, 2009

Apakah Lutut Adalah Aurat?

Dari Abu Musa dia berkata, ”Sesungguhnya Nabi r pernah duduk di sebuah tempat yang padanya terdapat genangan air, maka beliau menyingkap kedua lututnya atau salah satu lututnya. Tatkala Utsman masuk, beliau segera menutupnya.”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (7/43), Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi (2/232) dari jalan Sulaiman bin Harb (dia berkata): Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami (dia berkata): Ali bin Al-Hakam dan Ashim Al-Ahwal menceritakan kepadaku, bahwa keduanya mendengar Abu Utsman bercerita dari Abu Musa.


Dalam permasalahan ini ada beberapa hadits lainnya:
Di antaranya adalah dari Abu Ad-Darda` dia berkata, ”Saya pernah duduk-duduk di sisi Nabi r lalu tiba-tiba Abu Bakar datang dalam keadaan memegang ujung pakaiannya hingga dia menampakkan kedua lututnya. Maka Nabi r bersabda, ”Adapun teman kalian ini, maka dia telah tergesa-gesa,” lalu dia mengucapkan salam dan berkata, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya telah terjadi sedikit perselisihan antara saya dan Ibnu Al-Khaththab, maka saya terlalu terburu-buru bersikap terhadapnya kemudian saya menyesal. Lalu aku memintanya untuk memaafkan aku akan tetapi dia tidak mau memaafkan aku, maka saya pun bersegera menemuimu,” maka beliau bersabda, ”Allah mengampuni kamu wahai Abu Bakar (tiga kali). Kemudian Umar juga menyesal lalu dia segera mendatangi rumah Abu Bakar dan bertanya, ”apakah Abu Bakar ada?” mereka menjawab, ”Tidak ada.” Maka dia mendatangi Nabi r lalu mengucapkan salam kepada beliau, dan ketika itu wajah Nabi r kelihatan marah sampai-sampai Abu Bakar merasa kasihan (kepada Umar), lalu Umar berlutut di atas kedua lututnya. Dia berkata, ”Wahai Rasulullah r, demi Allah sungguh saya telah menzhalimi (dua kali),” maka Nabi r bersabda, ”Sesungguhnya Allah mengutus aku kepada kalian akan tetapi kalian berkata, ”Kamu berdusta,” sedang Abu Bakar berkata, ”Dia berkata benar.” Dia membantu saya dengan diri dan hartanya. Karena itu bisakah kalian untuk tidak mengganggu sahabatku ini?!” (dua kali), maka setelah itu Abu Bakar tidak pernah lagi diganggu.”


Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (7/16-17) dan Ath-Thahawi dalam Al-Musykil (2/288) darinya.
Di antaranya adalah riwayat dari Amr bin Asy-Syarid dari ayahnya dia berkata, ”Sesungguhnya Nabi r pernah mengikuti seorang lelaki dari Tsaqif sampai-sampai beliau berlari-lari kecil di belakangnya sampai beliau memegang pakaiannya lalu bersabda, ”Angkat sarungmu,” maka lelaki itu menyingkap kedua lututnya dan berkata, ”Wahai Rasulullah, saya mengalami al-fanaf (al-hanaf adalah jari-jemari kaki yang satu mendekat dan mengarah ke kaki lainnya) dan kedua kedua lututku kecil.” Maka Rasulullah r bersabda, ”Semua ciptaan Allah -Azza wa Jalla- itu baik,” maka setelah itu lelaki itu tidak pernah terlihat kecuali sarungnya tinggi sampai ke pertengahan betis sampai dia mati.”
Diriwayatkan oleh Ahmad (4/390) dia berkata: Rauh menceritakan kepada kami (dia berkata): Zakariya bin Ishaq menceritakan kepada kami (dia berkata): Ibrahim bin Maisarah menceritakan kepada kami bahwa dia mendengar Amr bin Asy-Syarid dan seterusnya.
Ath-Thahawi juga meriwayatkannya dalam Al-Musykil (2/287) dia berkata: Abu Umayyah menceritakan kepada kami (dia berkata): Rauh bin Ubadah menceritakan kepada kami dan seterusnya.
Ini adalah sanad shahih yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim.

Faidah:
Nama lelaki pemilik sarung di atas adalah Amr bin Zurarah, sebagaimana dalam riwayat Ath-Thabarani dari hadits Abu Umayyah. Dia (Ath-Thabarani) meriwayatkan hadits ini dari beberapa jalan darinya (Abu Umayyah) dan perawi salah satu dari jalan-jalan itu semuanya tsiqah, sebagaimana dalam Al-Majma’ (5/124)
Ahmad juga meriwayatkannya (4/200) dari Amr yang sama, tapi dia menamakannya Amr bin Fulan Al-Anshari.
Sanadnya shahih dan semua perawinya adalah perawi Imam Enam kecuali Al-Walid bin Sulaiman, dan dia adalah rawi yang tsiqah sebagaimana dalam At-Taqrib, dan Al-Haitsami berkata, ”Semua perawinya tsiqah.”

Dalam permasalahan ini juga ada hadits dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Hamzah t memandang kedua lutut Nabi r kemudian memandang pusar beliau, dan selengkapnya akan datang sebentar lagi insya Allah Ta’ala.

Dalam hadits-hadits ini terdapat pendalilan bahwa lutut bukanlah aurat, dan ini bisa ditinjau dari dua sisi:
Pertama: Ar-Rasul r membukanya tanpa ada keperluan yang mendesak.
Sementara ucapan Asy-Syaukani (2/55), ”Sesungguhnya berhujjah dengan hadits ini bahwa lutut bukanlah aurat adalah hujjah yang tidak sempurna, karena beliau membuka lututnya karena adanya uzur, yaitu untuk memasukkan kakinya ke dalam air. Di tambah lagi beliau perbuatan beliau menutupinya dari Utsman memberikan kesan bahwa dia adalah aurat. Seandainya mungkin untuk memberikan alasan lain dari perbuatan beliau menutupinya dari Utsman dengan alasan selain itu, maka paling tidak hadits ini masih mengandung kemungkinan,” ini adalah ucapan yang tertolak (dengan dua alasan, pent.).
Adapun yang pertama: Karena hadits ini menegaskan bahwa beliau -alaihishshalatu wassalam- duduk pada sebuah tempat yang padanya ada air lalu beliau menyingkap kedua lututnya. Ini berarti bahwa Nabi r duduk sambil menjulurkan kedua kakinya ke dalam air. Kalau begitu apa uzur beliau untuk membukan kedua lutut kalau dia memang aurat? Bukankah Nabi r bisa dengan hanya memasukkan kedua betisnya ke dalam air tanpa membuka auratnya?!
Makna yang saya sebutkan ini didukung dengan keterangan bahwa Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini (4/407) dari jalan lain dari Abu Musa dia berkata, ”Sesungguhnya Rasulullah r pernah berada pada sebuah kebun di Madinah di qaff sumur (yakni: Tempat untuk duduk yang dibuat di sekeliling sumur) sambil menjulurkan kedua kaki beliau. Lalu Abu Bakar mengetuk pintu …,” sampai akhir hadits.
Hadits yang semakna dengannya diriwayatkan oleh Muslim (7/118) dari jalan ketiga dengan lafazh, ”Beliau duduk di tengah qaff sumur lalu membuka kedua betis beliau dan memasukkan keduanya ke dalam sumur.”
Riwayat ini tidak kontradiksi dengan riwayat Al-Bukhari yang tegas menyebutkan bahwa beliau menyingkap lututnya, karena riwayat Al-Bukhari mengandung tambahan lafazh dari rawi yang tsiqah dan tambahan seperti ini diterima berdasaran kesepakatan ulama. Sebagaimana pula tidak ada kontradiksi antara riwayat Al-Bukhari ini dengan riwayat Aisyah dan selainnya yang tegas menyebutkan tersingkapnya paha, dengan sebab dan alasan yang sama. Ini kalau dipandang kejadiannya sama, adapun kalau kejadian seperti ini (duduk di tepi sumur, pent.) berulang maka tidakada permasalahan.
Adapun yang kedua: Karena perbuatan beliau menutup lutut dari Utsman itu hanyalah sebagai perlakuan yang khusus dari beliau r kepada Utsman t karena beliau (Utsman) adalah orang yang sangat pemalu, sebagaimana beliau menutup paha beliau darinya -sebagaimana yang telah berlalu-. Hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa beliau menutupinya karena dia adalah aurat. Bagaimana tidak, sementara beliau -alaihissalam- telah membuka lututnya di hadapan orang selain Utsman, sebagaimana yang tegas disebutkan dalam hadits Aisyah dan selainnya dan sebagaimana yang nampak dari hadits Abu Musa ini. Karena dia (Abu Musa) meriwayatkan kisah ini yang dia menyaksikannya sendiri dengan mata kepalanya. Maksud saya beliau -alaihissalam- tidak menutup lututnya dari Abu Musa sebagaimana dia menutupinya dari Utsman. Inilah yang bisa saya sampaikan berkenaan kritikan terhadap ucapan Asy-Syaukani.
Seandainya pun kita menganggap bahwa ucapannya itu benar, maka yang menjadi dalil bahwa lutut bukanlah aurat adalah perkara yang kedua: Yaitu Abu Bakar menyingkap kedua lututnya -dan demikian pula Amr bin Zurarah- di hadapan beliau -alahissalam- dan beliau tidak mengingkari keduanya. Seandainya dia adalah aurat, niscaya beliau r akan mengingkari mereka berdua sebagaimana beliau mengingkari Jarhad Al-Aslami ketika beliau bertemu dengannya dan pahanya terlihat, maka beliau r bersabda, ”Tutuplah pahamu karena paha adalah aurat,” -seandainya haditsnya shahih-, akan tetapi hadits ini tidak shahih sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya secara terperinci. Maka diamnya beliau -alaihissalam- terhadap kejadiann tersebut menunjukkan bahwa lutut bukanlah aurat. Karenanya Al-Hafizh berkata (7/17) dalam syarah hadits Abu Ad-Darda`, ”Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa lutut bukanlah aurat.”
Di sina ada dalil yang ketiga: Yaitu kisah dimana Hamzah t memandang lutut Nabi r. Maka dalam kisah ini -dimana beliau -alaihissalam- menyingkap lututnya- ada kejadian orang lain memandang lutut beliau. Seandainya dia adalah aurat, niscaya Allah tidak akan membiarkan Hamzah dan tidak pula selainnya untuk melihat kepadanya, sebagaimana alasan semisal yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm dalam masalah pusar, dan ucapan beliau akan datang.

Maka yang benarnya adalah bahwa semua hadits ini adalah dalil yang tegas menunjukkan bahwa lutut bukanlah aurat, dan ini adalah pendapat Asy-Syafi’i. An-Nawawi berkata (3/169), ”Inilah yang masyhur dari mazhab kami, dan ini adalah pendapat Malik, sekelompok ulama dan salah satu riwayat dari Ahmad. Sementara Abu Hanifah dan Atha` berkata: Dia adalah aurat.”
Ini adalah pendapat yang lemah, bertentangan dengan semua hadits-hadits shahih yang telah berlalu.
Ath-Thahawi membawakan tandingan bagi hadits-hadits tersebut dengan hadits yang dia riwayatkan dalam Al-Musykil (2/288) dia berkata: Ali bin Syaibah menceritakan kepada kami (dia berkata): Yazid bin Harun menceritakan kepada kami (dia berkata): Hammad bin Salamah menceritakan kepada kami dari Hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi (dia berkata): Saya mendengar Abu Musa Al-Asy’ari berkata, ”Jangan sampai saya mengetahui ada orang yang melihat kepada seorang budak wanita kecuali dia kalau dia melihat bagian di atas pusarnya dan di bawah lututnya. Saya tidak mengetahui ada orang yang melakukannya kecuali saya akan menghukumnya. ”
Abu Ja’far (Ath-Thahawi) berkata, ”Dengan keterangan yang kami sebutkan, maka hadits ini bisa dipakai untuk menandingi semua hadits yang telah kami sebutkan sebelumnya, yang bertentangan dengan hadits ini.”
Yang dia maksudkan dengan ucapannya, ”Dengan keterangan yang kami sebutkan,” adalah ucapannya yang dia jadikan keterangan bagi hadits ini, yaitu ucapannya, ”Kami menemukan Abu Musa Al-Asy’ari, telah diriwayatkan darinya sebuah ucapan dimana dia mengikutkan dengan ancaman bagi siapa yang menyelisihinya, yang mana hal ini diucapkan oleh orang yang tidak mungkin mengucapkan ucapan seperti ini hanya semata-sama berlandaskan pada pendapatnya. Karena ancaman tidak boleh diucapkan pada sebuah perara yang ditetapkan berdasarkan pendapat, dimana boleh saja bagi orang lain untuk mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan makna ucapannya.”
Ucapannya ini -sebagaimana yang kamu lihat sendiri-, dia menyangka bahwa hadits ini walaupun dia mauquf (disandarkan pada sahabat) akan tetapi dia mempunyai hukum marfu’ karena di dalamnya berisi ancaman, yang mana ucapan ini tidak mungkin diucapkan -menurut sangkaannya- hanya berlandaskan pada pendapat semata. Hukum yang dia sebutkan ini tidak lazim terjadi pada permasalahan ahkam (hukum), bahkan boleh saja memberikan ancaman atas sebuah hukum yang seseorang tetapkan berdasarkan pendapatnya, walaupun ada kemungkinan orang itu melakukan kesalahan.

Kesimpulannya, berargumen dengan hadits ini untuk menetapkan bahwa lutut adalah aurat tidaklah benar. Hal ini karena beberapa sebab:
Pertama: Haditsnya mauquf.
Kedua: Hadits ini bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih shahih darinya.
Ketiga: Hadits ini hanya berlaku pada budak wanita, maka kandungannya lebih khusus daripada apa yang diklaim. Para ulama sendiri telah berbeda menjadi banyak pendapat dalam masalah aurat budak wanita, mungkin akan datang penyebutannya. Yang paling shahih dalilnya adalah yang berpendapat bahwa aurat budak wanita sama seperti wanita merdeka tanpa ada perbedaan antara keduanya.
Perbuatan Ath-Thahawi ini dalam mengkiaskan lelaki yang merdeka dan selainnya kepada budak wanita dalam hal lutut adalah aurat, sama persis dengan perbuatan An-Nawawi yang juga mengkiaskan lelaki kepada wanita dalam hal batalnya shalat orang yang terbuka auratnya. Dan bantahan lengkap atas kias An-Nawawi ini telah berlalu.

Mungkin penulis kitab Al-Hidayah dan selainnya dari kalangan fuqaha` tidak menjadikan hadits Abu Musa sebagai dalil karena ada sebab-sebab yang kami sebutkan di atas, akan tetapi mereka hanya berdalil dengan hadits, ”Lutut adalah aurat.” Hadits ini -seandainya shahih- maka dia adalah dalil yang tegas mendukung mereka, akan tetapi haditsnya tidak shahih bahkan disepakati bahwa dia adalah hadits yang lemah. Hadits ini diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni (85) dari jalan An-Nadhr bin Manshur Al-Fazari (dia berkata): Abu Al-Junub -yang bernama Uqbah bin Alqamah- mengabarkan kpada kami dia berkata: Saya mendengar Ali t berkata …, lalu dia menyebutkan haditsnya secara marfu’.
Az-Zailai berkata dalam Nashbur Rayah (1/297), ”Guru kami, Adz-Dzahabi berkata dalam kitabnya Al-Mizan, ”An-Nadhr bin Manshir adalah rawi yang sangat lemah,” Ibnu Hibban berkata, ”Dia tidak dipakai berhujjah.” Uqbah bin Alqamah bin dihukumi lemah oleh Ad-Daraquthni dan Abu Hatim Ar-Razi. Dia (Uqbah) disebutkan lagi oleh penulis (Al-Hidayah) –dalam kitab Al-Karahiah- meriwayatkan dari Abu Hurairah akan tetapi kami tidak mendapati dia meriwayatkan darinya. Abu Hatim Ar-Razi berkata dalam Al-Imam, ”Uqbah adalah rawi yang lemah haditsnya dan An-Nadhr bin Manshur adalah rawi yang majhul.”
Az-Zailai juga berkata dalam Takhrij Ahadits Al-Karahiah (4/242), ”Saya berkata: Gharib (lemah) dari hadits Abu Hurairah, dan lafazh ini telah berlalu dari hadits Ali riwayat Ad-Daraquthni tapi di dalamnya juga ada kelemahan.”
Kami sudah terlupakan untuk membahas sanad hadits Abu Musa, maka kami katakan: Semua perawinya adalah tsiqah dan perawi Ash-Shahih kecuali Ali bin Syaibah dan Hakim Al-Atsram.
Adapun rawi pertama, maka dia adalah Ali bin Syaibah bin Ash-Shalt bin Ushfur, Abu Al-Hasan maula As-Sadusi, dan dia adalah saudara dari Ya’qub bin Syaibah. Dia orang Bashrah, tinggal di Baghdad sebentar kemudian berpindah ke Mesir lalu menetap di situ. Abdul Aziz Al-Ghafiqi dan selainnya dari ulama Mesir meriwayatkan darinya hadits-hadits yang mustaqim (bagus), dan dia wafat pada tahun 272 H. Demikian disebutkan dalam Tarikh Baghdad (11/436-437) dengan perubahan.
Adapun yang lainnya (Hakim), maka An-Nasai berkata, ”Dia tidak mengapa,” Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats-Tsiqat, dan dalam At-Taqrib disebutkan, ”Padanya ada kelemahan.”

[Ats-Tsamar Al-Mustathab: 1/272-279 karya Al-Albani -rahimahullah-]

Jumat, Agustus 21, 2009

Bersiap Untuk Puasa

MAKAN SAHUR

Dari Amr bin Al-’Ash radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

“Pembeda antara puasa kita (orang Islam) dengan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim [1096]).

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata :
Membedakan diri antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir adalah perkara yang dituntut oleh syari’at. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyerupai (kekhususan) mereka. Beliau bersabda, “Selisihilah orang Majusi! Lebatkanlah jenggot dan cukurlah kumis!” (HR. Muslim [260] dengan lafazh, ‘Cukurlah kumis, biarkanlah jenggot, selisihilah orang Majusi’ dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Disahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ [3092], pen).

Maknanya biarkanlah jenggot tumbuh dan memanjang, jangan kamu potong ataupun kamu cukur habis. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud [3512] dari Ibnu Umar, disahihkan Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil [1269 dan 2384, Shahih Al-Jami' [2831] pen). Dan hendaknya makan sahur diakhirkan hingga menjelang terbitnya fajar (Syarh Riyadhush Shalihin, 3/397).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah, karena sesungguhnya dalam santap sahur itu terdapat barakah.” (HR. Bukhari [1923] dan Muslim [1095]).

An-Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk bersantap sahur. Para ulama sepakat bahwa santap sahur hukumnya sunnah, bukan wajib…” (Al-Minhaj, 4/430). Al-Hafizh mengatakan, “Ibnu Mundzir menukilkan adanya ijma’ mengenai disunnahkannya makan sahur.” (Fath Al-Bari, 4/163).

Yang dimaksud dengan barakah di dalam hadits ini lebih tepat untuk diartikan dari berbagai sisi kemanfaatan. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Yang lebih utama adalah menafsirkan keberkahan di situ dapat muncul dari berbagai sisi, yaitu : mengikuti sunnah, menyelisihi Ahli Kitab, memperkuat tubuh untuk beribadah, meningkatkan semangat, menolak munculnya perilaku yang jelek akibat perut yang lapar, dapat menjadi pintu sedekah bagi orang yang dimintai (santap sahur) kalau ada yang meminta, atau berkumpul makan sahur bersama dengannya, menjadi sebab dzikir dan do’a dipanjatkan di saat mustajab, dan untuk mengingatkan niat puasa bagi orang yang lalai atau lupa meniatkannya sebelum tidur.” (Fath Al-Bari, 4/164).

MENGAKHIRKAN MAKAN SAHUR

Mengakhirkan makan sahur merupakan salah satu amalan yang disunnahkan ketika hendak berpuasa (lihat Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, hal. 129).

Dari Anas dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu’anhuma dia berkata,

تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِينَ آيَةً

“Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam kemudian kami pun bangkit mengerjakan shalat (Subuh).” Aku (Anas) bertanya, “Berapa lama antara keduanya?”. Zaid menjawab, “Seukuran lima puluh ayat.” (HR. Bukhari [575 dan 1921] dan Muslim [1097]). Dalam lafazh Bukhari [1921] dengan ungkapan, “Berapa jarak antara adzan dengan makan sahur?” Namun yang dimaksud dengan adzan di sini adalah iqamah (Taisir Al-’Allam, 1/359).

Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili mengatakan : Berdasarkan dalil ini Al-Baghawi berargumentasi bahwa mengakhirkan makan sahur adalah amalan yang diutamakan. Al-Baghawi mengatakan, “Para ulama menganjurkan untuk mengakhirkan makan sahur…” (Syarh As-Sunnah, 3/468. dinukil dari Tajrid Al-Ittiba’, hal. 68). Ibnu Abdil Barr juga mengatakan, “Termasuk sunnah yaitu melakukan buka puasa di awal waktu berbuka dan mengakhirkan makan sahur.” (At-Tamhid, 21/97. Dinukil dari Tajrid Al-Ittiba’, hal. 68).

An-Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk mengakhirkan santap sahur mendekati terbitnya fajar (adzan Subuh).” (Al-Minhaj, 4/430). Oleh sebab itu Bukhari meletakkan hadits ini di bawah judul bab ‘Berapa jarak antara makan sahur dan shalat Fajar’. Al-Hafizh menerangkan bahwa maksud Bukhari adalah menjelaskan rentang waktu antara selesainya makan sahur dengan dimulainya shalat, sebab yang dimaksudkan adalah ukuran waktu sehabis makan. Yang dimaksud ‘melakukan shalat’ di sini adalah permulaan mengerjakannya. Demikian keterangan Az-Zain bin Al-Munayyir (Fath Al-Bari, 4/162).

Syaikh Abdullah Al-Bassam mengatakan, “Maka dengan demikian kita mengetahui bersama bahwa pembedaan dua waktu yaitu antara waktu imsak (menahan tidak makan dan minum, pen) dan waktu terbitnya fajar adalah sebuah kebid’ahan yang sama sekali tidak ada dalilnya dari Allah. Itu hanyalah waswas yang dibisikkan oleh syaitan dalam rangka menyamarkan agama mereka. Sebab ajaran Nabi Muhammad menunjukkan bahwa imsak itu dilakukan ketika awal terbitnya fajar.” (Taisir Al-’Allam, 1/359).

Ketika menjawab pertanyaan Anas, Zaid mengungkapkan lamanya rentang waktu antara selesainya makan sahur dengan didirikannya shalat ialah seukuran bacaan lima puluh ayat. Hal ini mengindikasikan bahwa waktu tersebut biasa digunakan (para sahabat) untuk beribadah yaitu dengan tilawah (membaca Al-Qur’an). Ibnu Abi Jamrah mengatakan, “Di dalam ungkapan itu terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa waktu-waktu mereka (para sahabat) senantiasa dipenuhi dengan kegiatan ibadah, dan di dalam hadits ini juga terdapat (anjuran) untuk mengakhirkan makan sahur…”, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits di atas (Fath Al-Bari, 4/163).

Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang tawadhu’ dan suka menyenangkan hati sahabat-sahabatnya. Beliau mau makan bersama orang-orang yang kedudukannya berada di bawah beliau. Selain itu hadits itu juga menunjukkan dianjurkannya makan sahur bersama-sama dan bolehnya berjalan di waktu malam karena adanya keperluan, sebab ketika itu Zaid bin Tsabit tidaklah bermalam di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Fath Al-Bari, 4/163).

Dianjurkannya mengakhirkan makan sahur juga semakin jelas dengan adanya hadits berikut ini.

أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ قَالَ الْقَاسِمُ وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَ أَذَانِهِمَا إِلَّا أَنْ يَرْقَى ذَا وَيَنْزِلَ ذَا

Bilal biasanya mengumandangkan adzan sewaktu malam masih menyelimuti (sebelum waktu subuh, pen). Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, “Makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan (yaitu adzan subuh, pen). Sebab dia tidaklah mengumandangkan adzan kecuali ketika fajar sudah terbit.”
Al-Qasim (salah satu periwayat hadits ini) mengatakan, “Jarak antara kedua adzan mereka tidak lama hanya sekitar beberapa saat, yaitu seukuran lamanya waktu antara naiknya yang ini dan turunnya yang itu.” (HR. Bukhari [1918 dan 1919] dan Muslim [1092] dari Ibnu Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu’anhuma]).

An-Nawawi mengatakan bahwa di dalam hadits ini terdapat dalil dibolehkannya mengumandangkan adzan subuh sebelum terbitnya fajar. Selain itu, hadits ini juga menunjukkan bolehnya makan, minum, dan berjima’ serta melakukan apa saja hingga terbitnya fajar (Al-Minhaj, 4/426). Beliau juga mengatakan, “Di dalam hadits ini juga terdapat dasar hukum mengenai sunnahnya makan sahur dan mengakhirkannya.” (Al-Minhaj, 4/426).

Syaikh Ibnu Utsaimin mengomentari ucapan perawi “Jarak antara kedua adzan mereka tidak lama hanya sekitar beberapa saat, yaitu seukuran lamanya waktu antara naiknya yang ini dan turunnya yang itu.” adalah ucapan yang tersisipkan dalam hadits (mudraj), bukan sabda Nabi. Sisipan ini menyimpang/syadz dan tidak sahih. Karena ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar tetap makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Hal ini menunjukkan bahwa jarak antara kedua adzan itu cukup lama sehingga memungkinkan untuk makan, minum, dan menikmati santap sahur. Kalimat ini adalah kalimat yang lemah/dha’if dan menyimpang, tidak ada artinya sama sekali. Tatkala Zaid bin Tsabit radhiyallahu’anhu menceritakan dirinya pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mereka bangkit untuk melakukan shalat (Subuh), dia menerangkan bahwa jarak antara adzan keduanya seukuran lima puluh ayat. Untuk membaca lima puluh ayat itu membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit sampai seperempat jam, yaitu apabila seseorang membaca ayat Al-Qur’an dengan tartil atau sedikit lebih cepat. Hal ini menunjukkan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan makan sahur hingga waktunya mepet sekali, padahal beliau itu selalu mengerjakan shalat Fajar (Subuh) di awal waktu dan tidak mengakhirkannya… Demikian keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, 3/397-398).

KAPAN WAKTU SAHUR HABIS?

Dalil lain yang menunjukkan bolehnya mengakhirkan makan sahur hingga adzan subuh berkumandang adalah firman Alah ta’ala,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Makan dan minumlah sampai jelas bagi kalian benang yang putih dari benang yang hitam yaitu terbitnya fajar…” (QS. Al-Baqarah : 187).

Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ta’ala membolehkan makan, minum serta perbuatan yang telah disebutkan sebelumnya yaitu berjima’ di bagian waktu malam yang mana saja yang diinginkan oleh orang yang sedang menjalani puasa (Ramadhan) hingga jelas terangnya sinar waktu subuh dari gelapnya malam…” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 1/288).

Syaikh As-Sa’di juga menegaskan, “Di dalam ayat ini terdapat penunjukan bahwa apabila seseorang makan atau yang semacamnya dalam kondisi ragu-ragu (apakah) fajar sudah terbit maka tidak mengapa.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 87).

Hal itu semakin jelas apabila kita mencermati hadits berikut ini. Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu beliau mengatakan,

أُنْزِلَتْ { وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ } وَلَمْ يَنْزِلْ { مِنْ الْفَجْرِ } فَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ الْخَيْطَ الْأَبْيَضَ وَالْخَيْطَ الْأَسْوَدَ وَلَمْ يَزَلْ يَأْكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتُهُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ { مِنْ الْفَجْرِ } فَعَلِمُوا أَنَّهُ إِنَّمَا يَعْنِي اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Dahulu diturunkan ayat, ‘Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang yang putih dari benang yang hitam.’ Namun saat itu belum turun (kelanjutannya), ‘Yaitu terbitnya fajar’. Maka orang-orang apabila ingin berpuasa, di antara mereka ada yang mengikatkan tali di kakinya benang putih dan benang hitam. Dia akan terus makan (sahur) sampai melihat (membedakan) kedua benang itu dengan jelas. Maka sesudah itu Allah pun menurunkan (kelanjutan ayat), ‘Yaitu terbitnya fajar’. Sehingga akhirnya mereka mengetahui bahwa yang dimaksud oleh ayat itu adalah (sampai jelas perbedaan antara) malam dan siang.” (HR. Bukhari [1917 dan 4511]).

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Berdasarkan ayat dan hadits tersebut ditetapkan bahwasanya kesempatan terakhir untuk makan dan minum adalah terbitnya fajar. Seandainya ketika fajar terbit ada orang yang masih makan atau minum lantas berhenti maka puasanya tetap sempurna, meskipun dalam hal ini ada perselisihan di antara para ulama. Dan kalau dia masih makan karena mengira bahwa fajar belum terbit maka puasanya tidak batal menurut jumhur ulama, sebab ayat tersebut menunjukkan kebolehan hal itu hingga terwujud kejelasan terbitnya fajar. Abdurrazzaq meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Allah menghalalkan bagimu makan dan minum selama kamu masih dalam kondisi ragu-ragu.” (Fath Al-Bari, 4/160).

BOLEHKAH MEMASUKI WAKTU SUBUH DALAM KEADAAN JUNUB?

Konsekuensi dibolehkannya makan, minum, dan berjima’ hingga terbitnya fajar bagi orang yang hendak berpuasa menunjukkan bahwa dia boleh berada dalam kondisi junub ketika subuh. Oleh sebab itu Al-Bukhari membuat bab khusus di dalam Kitab Ash-Shaum dengan judul Bab Ash-Shaa’im yushbihu junuban (Orang yang berpuasa berada dalam kondisi junub di waktu subuh) dan membawakan hadits yang menunjukkan kebolehannya. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa orang yang berpuasa boleh menjumpai waktu subuh dalam kondisi junub, baik sengaja ataupun tidak. Kesimpulan serupa juga dikatakan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied berdalil dengan ayat di atas (lihat Fath Al-Bari, 4/168 dan 173, lihat juga Al-Minhaj, 4/443).

Hal ini sebagaimana terbukti dalam hadits berikut ini. Dari dua orang isteri Nabi yaitu Ummu Salamah dan ‘Aisyah radhiyallahu’anhuma, mereka berdua menuturkan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah menjumpai waktu fajar dalam keadaan junub karena berhubungan dengan isterinya kemudian beliau pun mandi dan berpuasa.” (HR. Bukhari [1925, 1926] dan Muslim [1109] dengan keterangan tambahan ‘bukan karena bermimpi basah’ sebagaimana terdapat dalam riwayat Bukhari yang lain [1931 dan 1932] juga dari Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu’anhuma. Lihat Fath Al-Bari, 4/180).

Oleh sebab itu An-Nawawi mengatakan, “Adapun mengenai hukum masalah ini, maka segenap ulama dari berbagai penjuru telah menyepakati keabsahan puasa orang yang junub. Sama saja apakah dia junub karena mimpi basah atau jima’ (pada malam harinya, pen). Itulah pendapat yang dipegang oleh jumhur para sahabat dan tabi’in.” (Al-Minhaj, 4/444).

Untuk lebih memperjelas asal-usul munculnya keterangan Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu’anhuma di atas maka perlu kiranya kami sebutkan kisahnya secara lengkap sebagaimana tercantum dalam riwayat Muslim berikut ini.

عَنْ أَبِي بَكْرٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُصُّ يَقُولُ فِي قَصَصِهِ مَنْ أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ جُنُبًا فَلَا يَصُمْ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ لِأَبِيهِ فَأَنْكَرَ ذَلِكَ فَانْطَلَقَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ وَانْطَلَقْتُ مَعَهُ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَسَأَلَهُمَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ ذَلِكَ قَالَ فَكِلْتَاهُمَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ ثُمَّ يَصُومُ قَالَ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى مَرْوَانَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَقَالَ مَرْوَانُ عَزَمْتُ عَلَيْكَ إِلَّا مَا ذَهَبْتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَرَدَدْتَ عَلَيْهِ مَا يَقُولُ قَالَ فَجِئْنَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَأَبُو بَكْرٍ حَاضِرُ ذَلِكَ كُلِّهِ قَالَ فَذَكَرَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَهُمَا قَالَتَاهُ لَكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ هُمَا أَعْلَمُ ثُمَّ رَدَّ أَبُو هُرَيْرَةَ مَا كَانَ يَقُولُ فِي ذَلِكَ إِلَى الْفَضْلِ بْنِ الْعَبَّاسِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ سَمِعْتُ ذَلِكَ مِنْ الْفَضْلِ وَلَمْ أَسْمَعْهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَرَجَعَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَمَّا كَانَ يَقُولُ فِي ذَلِكَ قُلْتُ لِعَبْدِ الْمَلِكِ أَقَالَتَا فِي رَمَضَانَ قَالَ كَذَلِكَ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ ثُمَّ يَصُومُ

Dari Abu Bakr, dia menuturkan : Aku mendengar Abu Hurairah radhiyallahu’anhu suatu saat bercerita dan mengatakan di dalam ceritanya itu bahwa “Barangsiapa yang menemui waktu fajar dalam keadaan junub maka hendaknya dia tidak berpuasa.” Aku (Abu Bakr) menceritakan hal itu kepada Abdurrahman bin Al-Harits (yaitu ayahnya sendiri). Ternyata beliau mengingkari hal itu. Lantas Abdurrahman pun berangkat menemui ‘Aisyah dan Ummu Salamah dan aku juga ikut pergi bersamanya.

Ketika kami bertemu dengan mereka berdua, beliau (Abdurrahman) menanyakan kepada mereka berdua tentang hal itu. Abdurrahman berkata : Mereka berdua mengatakan bahwa “Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu subuh dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah kemudian beliau tetap berpuasa.”

Kemudian kami beranjak pergi menemui Marwan (bin Al-Hakam, gubernur kota Madinah di saat itu, pen). Lantas Abdurrahman pun menceritakan kisah itu kepadanya. Lalu Marwan mengatakan, “Aku bersumpah kepadamu, tetaplah pada pendirianmu dan temuilah Abu Hurairah untuk membantah apa yang pernah dia katakan.” Dia berkata, “Kami pun datang menemui Abu Hurairah dan saat itu Abu Bakr juga hadir di sana menyaksikan semuanya.”

Abu Bakr menceritakan : kemudian Abdurrahman pun menyampaikan masalah itu kepadanya (Abu Hurairah). Lantas Abu Hurairah berkata, “Apakah mereka berdua benar-benar telah menceritakan hal itu kepadamu?”. Abdurrahman menjawab, “Iya.” Maka Abu Hurairah mengatakan, “Mereka berdua tentu lebih mengetahui.”

Kemudian Abu Hurairah menyandarkan pendapat yang dulu pernah diucapkannya dalam masalah itu kepada (penuturan) Al-Fadhl bin Al-Abbas. Abu Hurairah berkata, “Aku hanya mendengarnya dari Al-Fadhl, dan aku tidak mendengarnya langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Abu Hurairah pun rujuk dari pendapatnya yang dulu dalam masalah itu.

Aku (Ibnu Juraij, salah seorang periwayat hadits ini, pen) berkata kepada Abdul Malik (anak dari Abu Bakr, pen), “Apakah mereka berdua (Aisyah dan Ummu Salamah) juga mengatakan bahwa hal itu terjadi di bulan Ramadhan?”. Dia menjawab, “Memang begitu, ketika itu beliau junub (tapi) bukan karena mimpi basah, kemudian beliau tetap berpuasa.” (HR. Muslim [1109]).

Kisah ini menyimpan banyak pelajaran berharga. Di antaranya telah disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab syarahnya, yaitu :

  1. Para ulama juga menemui umara’/pemerintah dalam rangka mengingatkan mereka dalam masalah ilmu
  2. Kisah ini juga menunjukkan keutamaan Marwan bin Al-Hakam yang memiliki perhatian besar terhadap ilmu dan persoalan-persoalan agama
  3. Di dalamnya juga terdapat pelajaran penting yaitu hendaknya meneliti kebenaran kandungan informasi yang disampaikan orang kepada orang lain yang lebih mengetahuinya
  4. Keterangan periwayat perempuan lebih diunggulkan daripada keterangan periwayat lelaki dalam masalah-masalah tertentu yang memang lebih mereka mengerti dibandingkan kaum lelaki, demikian pula sebaliknya
  5. Orang yang secara langsung terlibat suatu kejadian jauh lebih mengerti daripada orang yang hanya mendapatkan kabar beritanya
  6. Keharusan untuk tetap meneladani Nabi dalam perbuatan-perbuatan beliau selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan kekhususan hal itu pada diri beliau
  7. Apabila seseorang mendengar informasi yang berbeda dari orang lain yang lebih utama darinya maka hendaknya dia membahasnya hingga jelas baginya sikap yang seharusnya dia ambil
  8. Kisah ini juga menunjukkan kepada kita bahwa hujjah yang digunakan ketika menyelesaikan perselisihan adalah dengan merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah
  9. Di dalam kisah ini juga terdapat dalil yang menegaskan diterimanya khabar/hadits Ahad, baik dari sumber lelaki ataupun perempuan
  10. Kisah ini juga menunjukkan keutamaan Abu Hurairah yang mau mengakui kebenaran (meskipun hal itu bertentangan dengan pendapatnya) dan kemauan beliau untuk rujuk kepadanya
  11. Dan pelajaran-pelajaran berharga yang lainnya. Untuk lebih lengkap silakan baca Fath Al-Bari, 4/174
sumber: http://abu0mushlih.wordpress.com/2009/08/12/bersiap-untuk-puasa/

Tuntunan Puasa bagi Wanita

Oleh: Asy-Syaikh Shâlih bin Fauzân Al-Fauzân hafizhahullâh
(Anggota Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)

Berpuasa di bulan Ramadhan adalah wajib atas setiap muslim dan muslimah. Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam dan salah satu kerangka bangunan Islam. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ. [البقرة: ١٨٣]

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” (Al-Baqarah: 183)

Arti kutiba adalah furidha (diwajibkan).

Apabila seorang gadis telah baligh, yang diketahui dari salah satu tanda-tandanya, di antaranya adalah haidh, maka dia telah wajib berpuasa. Kadang-kadang seorang gadis telah haidh padahal usianya baru 9 tahun. Sebagian orang tidak tahu, bahwa hal itu telah mewajibkannya berpuasa. Untuk itu, janganlah menganggap bahwa dia masih kecil, sehingga keluarga dia tidak menyuruhnya berpuasa. Ketahuilah, bahwa ini pelanggaran besar, karena meninggalkan salah satu rukun Islâm yang ada. Bagi siapapun (seorang gadis) yang telah mengalami haidh, wajib mengqadha (mengulangi) puasa yang telah ditinggalkannya ketika permulaan haidh, walaupun kejadiannya telah lama berlalu. Karena hal itu tetap merupakan tanggung jawabnya.[1]

A. Siapa yang Diwajibkan Puasa Ramadhan

Apabila telah masuk bulan Ramadhan diwajibkan berpuasa atas setiap muslim dan muslimah yang sudah baligh, sehat dan dalam keadaan mukim atau menetap di suatu tempat. Sedangkan bagi orang yang sakit dan yang berada dalam perjalanan (safar) kemudian mereka berbuka, maka wajib bagi mereka menggantinya di hari lain di luar bulan Ramadhan, sejumlah hari berbukanya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ.ۗ [البقرة: ١٨٥]

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 185)

Orang yang mendapati bulan Ramadhan sedangkan dia sudah lanjut usia sehingga tidak mampu lagi menjalankan puasa, atau bagi orang yang sakit menahun yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, maka boleh baginya tidak berpuasa dan sebagai gantinya dia harus memberi makan kepada seorang miskin setiap hari setengah sha’ makanan pokok di daerahnya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيْقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ.ۗ [البقرة: ١٨٤]

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin).” (Al-Baqarah: 184)

((قَالَ عَبْدُ اللهِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما: هِيَ لِلْكَبِيْرِ الَّذِي لاَ يُرْجَى بُرُؤُهُ)) رواه البخاري

‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata: “Yaitu bagi orang yang telah lanjut usia yang tidak ada harapan kesembuhan (kembali kuat).” (HR. Al-Bukhari)

Bagi orang yang sakit yang tidak ada lagi harapan kesembuhan termasuk dalam hukum orang lanjut usia. Sehingga tidak ada kewajiban qadha baginya. Sebab baginya tidak ada kemungkinan untuk melaksanakan hal itu. Arti يُطِيْقُوْنَهُ adalah menempuh kesusahan.

Khusus bagi wanita yang terkena udzur (halangan), diperbolehkan berbuka di bulan Ramadhan, kemudian mengqadha sejumlah hari yang ia tinggalkan (berbuka) karena udzur tersebut pada hari-hari di luar Ramadhân. Adapun udzur (halangan) tersebut adalah:

1. Haidh dan Nifas

Diharamkan bagi wanita yang haidh dan nifas untuk berpuasa, dan wajib menggantinya (qadha) di hari-hari lain di luar bulan Ramadhan. Sebagaimana hadits dari ‘Aisyah, ia berkata:

((كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ)) رواه البخاري ومسلم

“Kami diperintah untuk mengqadha (mengganti) puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal ini sesuai dengan apa yang ditanyakan seorang perempuan kepada ‘Aisyah: “Mengapa wanita haidh mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?” Beliau menjelaskan bahwa ini termasuk keputusan yang disertai nash.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/251) berkaitan dengan hikmah yang dapat diambil dari perkara di atas: “Ketika darah haidh keluar terdapat darah lain yang juga ikut keluar. Bagi wanita haidh dimungkinkan berpuasa di luar waktu-waktu keluarnya darah haidh dan darah lain yang keluar pada masa haidh. Maka, wanita yang berpuasa dalam keadaan tidak haidh atau tidak keluar darah lainnya bersama haidh, adalah puasa yang adil. Karena tidak ada sesuatu darah pun -yang merupakan kekuatan badan- yang keluar dari tubuhnya. Apabila dia berpuasa di saat haidh, maka hal ini akan menyebabkan tenaganya menjadi berkurang dan akan lemah. Oleh karena itu, yang adil adalah meninggalkan puasa dan diperintahkan untuk berpuasa selain waktu-waktu haidh.”

2. Hamil dan Menyusui

Bagi wanita hamil dan menyusui apabila berpuasa akan membahayakan dirinya atau bayinya atau bahkan bagi keduanya, maka wanita tersebut boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.

Apabila dia berbuka karena hal itu membahayakan bayinya saja bukan bagi ibunya, maka ia mengqadha puasa sejumlah hari yang ia tinggalkan dan memberi makan orang miskin setiap hari. Sedangkan apabila hal itu membahayakan bagi dirinya (ibunya), maka cukup baginya mengqadha saja. Hal tersebut dikarenakan masuknya wanita tersebut dan wanita menyusui ada pada umumnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيْقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ.ۗ [البقرة: ١٨٤]

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin).” (Al-Baqarah: 184)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaah berkata di dalam Tafsir-nya (1/379): “Dan masuk dalam pengertian ayat ini adalah wanita hamil dan menyusui, apabila keduanya takut atas dirinya atau anaknya.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah berkata: “Jika seorang wanita hamil takut atas janinnya, maka boleh baginya tidak berpuasa dan mengqadhanya sebanyak puasa yang ditinggalkannya serta memberi makan seorang miskin setiap hari (yang ditinggalkannya) satu kali (8 ons) roti.” (25/318)

B. Peringatan:

1. Wanita istihadhah, yaitu wanita yang keluar darah pada waktu selain waktu-waktu haidh -sebagaimana penjelasan yang lalu-, wajib baginya berpuasa dan tidak boleh berbuka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah berkata sebagaimana beliau sebutkan tentang ‘berbukanya wanita yang haidh’: “Istihadhah berbeda (dengan haidh), waktunya umum dan tidak menentu. Tidak mungkin menghindar dari hal-hal seperti: muntah, keluar darah karena luka, bisul, mimpi basah dan lain sebagainya. Kejadian-kejadian tersebut tidaklah menjadi penghalang untuk tidak berpuasa seperti halnya darah haidh.” (25/251)

2. Wanita haidh, hamil dan menyusui, wajib bagi mereka mengqadha puasa sejumlah hari yang ditinggalkan antara bulan Ramadhan yang bersangkutan hingga bulan Ramadhân berikutnya, dan mempercepatnya adalah lebih baik. Sedangkan apabila tidak tersisa sampai bulan Ramadhan yang akan datang kecuali sejumlah hari yang ditinggalkan, maka sesungguhnya mereka wajib melaksanakan qadha sampai sebelum masuk bulan Ramadhân yang baru (berikutnya), sebagai kewajiban puasa mereka dari Ramadhan yang sebelumnya. Jika mereka tidak melaksanakan dan sudah masuk bulan Ramadhân (yang baru) sedang mereka tidak memiliki halangan di dalam mengakhirkannya, maka kewajiban mereka beserta qadhâ adalah memberi makan seorang miskin setiap harinya. Dan apabila mereka menjumpai halangan, maka tidak wajib atas mereka kecuali hanya mengqadha. Begitu juga bagi wanita yang berkewajiban mengqadha yang disebabkan sakit atau melakukan perjalanan, maka hukumnya seperti hukum wanita yang berbuka karena haidh, sebagaimana penjelasan yang lalu.

3. Tidak boleh bagi seorang istri berpuasa sunnah di saat suaminya ada di rumah kecuali dengan seizinnya, sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda

((لاَ يَحِلُّ لإِمْرَأَةٍ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ)) رواه البخاري ومسلم وغيرهما

“Tidak dihalalkan bagi seorang istri berpuasa sedangkan suaminya ada di rumah kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhari-Muslim dan lainnya)

Dalam sebagian riwayat:

((إِلاَّ رَمَضَانَ)) رواه أحمد وأبو داود

“Kecuali Ramadhan.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Adapun apabila diizinkan oleh suami untuk melaksanakan puasa sunnah, baik suaminya tidak ada di sisinya atau mungkin ia tidak bersuami, maka ia disunnahkan berpuasa untuk hari-hari yang disunnahkan seperti: Senin-Kamis, tiga hari dari setiap bulan, 6 hari di bulan Syawwâl, 10 Dzulhijjah, hari Arafah, hari Asyura serta sebelum dan sesudah Asyura. Di luar hari-hari yang diperbolehkan puasa sunnah tersebut, maka kewajibannya adalah puasa qadha dari bulan Ramadhan sebelumnya. Wallaahu a’lam.

4. Bagi wanita haidh, apabila telah suci di pertengahan (siang) hari dari Ramadhan, maka sesungguhnya ia memegang sisa harinya (yakni berpuasa) dan mengqadha hari-hari yang ia berbuka karena haidh. Pemegangan sisa hari di mana ia telah suci adalah wajib atasnya sebagai sikap menghormati terhadap waktu.

Footnote:

[1] Selain mengqadha puasanya, ia berkewajiban memberi makan orang miskin setiap harinya setengah sha’.

(Dinukil dari تنبهات على أحكام تختص بالمؤمنات (Panduan Fiqih Praktis bagi Wanita) karya Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan, hal. 81-88, penerjemah: Muhtadin Abrori, editor: Ayip Syafrudin & Abu Ziyad ‘Abdullah Majid, penerbit: Pustaka Sumayyah Pekalongan, cet. ke-3 Jumadil Awwal 1428H/Juni 2007M. Dicopy dari http://akhwat.web.id)

Kamis, Agustus 20, 2009

Jangan Terpikat oleh Dunia

Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًا وَفِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 20)

Bacalah berulang kalam dari Rabb yang mulia di atas berikut maknanya… Setelahnya, apa yang kamu pahami dari kehidupan dunia? Masihkah dunia membuaimu? Masihkah angan-anganmu melambung tuk meraih gemerlapnya? Masihkah engkau tertipu dengan kesenangannya?

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu dalam Tafsir-nya, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan akhir kesudahannya dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia [1]. Engkau dapati mereka menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan melengahkan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun janji (pahala dan surga, –pent.) dan ancaman (adzab dan neraka, –pent.) yang ada di hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah, mengenali dan mencintai-Nya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”

Asy-Syaikh rahimahullahu melanjutkan, “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di atas bumi. Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya, dan para penanamnya, yang cita-cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia, pun terkagum-kagum karenanya. Datanglah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada keadaannya semula, seakan-akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa saja yang ia inginkan dari tuntutan dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang dibawanya kecuali kain kafan….” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 841)

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkisah, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati pasar sementara orang-orang ada di sekitar beliau. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil atau terputus telinganya (cacat). Beliau memegang telinga bangkai tersebut seraya berkata:

أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: أَتُحِبُّوْنَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا: وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيْهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ

“Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah lagi ia telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka. Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda:

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 686)

Tatkala orang-orang yang utama, mulia lagi berakal mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan dunia, mereka pun enggan untuk tenggelam dalam kesenangannya. Apatah lagi mereka mengetahui bahwa Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia penuh kezuhudan dan memperingatkan para shahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebanyak-banyaknya. Mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang melalaikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang pundak iparnya ini:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ

“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416)

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun memegang teguh wasiat Nabinya baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau berkata setelah menyampaikan hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.”

Adapun dalam perbuatan, beliau radhiyallahu ‘anhuma merupakan shahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup walau dengan yang sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.” (Siyar A’lamin Nubala`, hal. 3/211)

Ibnu Baththal rahimahullahu menjelaskan berkenaan dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas, “Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil perbekalan secukupnya. Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari apa yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin di dunia ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke tempat akhirnya.” (Fathul Bari, 11/282)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata memberikan penjelasan terhadap hadits ini, “Janganlah engkau condong kepada dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap), dan jangan pula pernah terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang asing pada selain tanah airnya, di mana ia ingin segera meninggalkan negeri asing tersebut guna kembali kepada keluarganya.” (Syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah, hal. 105)

Suatu ketika Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para shahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau menjawab:

مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)

Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau hanya tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi apapun. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:

فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْحَصِيْرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيْكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيْمَا هُمَا فِيْهِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا اْلآخِرَةُ؟

Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia, –pent.) dan Kaisar (raja Romawi –pent.) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah [2].” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)

Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabinya:

ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّوْمَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لاَ يَعْبُدُوْنَ اللهَ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki yang baik-baik) mereka di dalam kehidupan dunia [3] ?” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679)

Demikianlah nilai dunia, wahai saudariku. Dan tergambar bagimu bagaimana orang-orang yang bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia mereka. Mereka enggan untuk tenggelam di dalamnya, karena dunia hanyalah tempat penyeberangan… Di ujung sana menanti negeri keabadian yang keutamaannya tiada terbandingi dengan dunia.

Al-Mustaurid bin Syaddad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ

“Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” (HR. Muslim no. 7126)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Makna hadits di atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang masih tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)

Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain orang yang pandir, karena dunia takkan dapat menipu orang yang cerdas dan berakal. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Footnote :

[1] Mereka yang tertipu dengan dunia.

[2] Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 3675) disebutkan ucapan Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu:

فَابْتَدَرَتْ عَيْنَايَ. قَالَ: مَا يُبْكِيْكَ، يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ وَمَا لِي لاَ أَبْكِي وَهَذَا الْحَصِيْرُ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِكَ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ لاَ أَرَى فِيْهَا إِلاَّ مَا أَرَى، وَذَاكَ قَيْصَرُ وَكِسْرَى فِي الثِّمَارِ وَاْلأَنْهَارِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ وَصَفْوَتُهُ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ

“Maka bercucuranlah air mataku.” Melihat hal itu beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai putra Al-Khaththab?” Aku menjawab, “Wahai Nabiyullah, bagaimana aku tidak menangis, aku menyaksikan tikar ini membekas pada rusukmu. Aku melihat lemarimu tidak ada isinya kecuali sekedar yang aku lihat. Sementara Kaisar dan Kisra dalam limpahan kemewahan dengan buah-buahan dan sungai-sungai yang mengalir. Padahal engkau (jauh lebih mulia daripada mereka, –pent.) adalah utusan Allah dan manusia pilihan-Nya, dalam keadaan lemarimu hanya begini.”

[3] Adapun di akhirat kelak, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُوْنِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ فِي اْلأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُوْنَ

“Dan ingatlah hari ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka, kepada mereka dikatakan, ‘Kalian telah menghabiskan kesenangan hidup (rezeki yang baik-baik) kalian dalam kehidupan duniawi saja dan kalian telah bersenang-senang dengannya. Maka pada hari ini kalian dibalas dengan adzab yang menghinakan karena kalian telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa haq dan karena kalian berbuat kefasikan’.” (Al-Ahqaf: 20)

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=587

Jumat, Agustus 07, 2009

Proses Syar’i Sebuah Pernikahan

Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim

Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:

1. Mengenal calon pasangan hidup

Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.

Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.

Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah.

Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab,

“Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا

“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)

Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan

Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:

- Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

- Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ

“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)

- Wanita tersebut masih gadis[1], yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟

“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”

Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya, “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ

“Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623)

2. Nazhar (melihat calon pasangan hidup)

Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:

ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ

“Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)

Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)

Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya:

انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ

“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

“Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 96)

Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata,

“Dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhar ternyata ia tidak menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)

Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)

Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا

“Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ

‘Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)

Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.

Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)

Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar

Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)

Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)

Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)

Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita

Ketika nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ

“Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)

Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib. Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan2.

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)

Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama3.

3. Khithbah (peminangan)

Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.

Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ

“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)

Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:

الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ

“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”

Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)

Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)

Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu apa jawaban Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata berfatwa,

“Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)

Yang perlu diperhatikan oleh wali

Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:

- Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ

“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)

- Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.

Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)

4. Akad nikah

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.

Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”

- abul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”

Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai berikut:

إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: 102)

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: 1)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71)

5. Walimatul ‘urs

Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah:

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan:

مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ

“Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)

Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)

Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)

Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ

“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)

Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha yang mengisahkan kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)

Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.

Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ

“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

6. Setelah akad

Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini:

Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim no. 590).

Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)

Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ

“Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan Jabir radhiyallahu ‘anhu memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah x.

3 Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullahu sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:

Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.

Kedua: Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.

Ketiga: Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal keduanya.

Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.

Kelima: Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.

PERHATIAN: Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “Ada pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”

Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”

Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)

Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:

Keenam: Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya.

Ketujuh: Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)

4 Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no. 5169).

Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.

Sumber: http://www.darussalaf.org/stories.php?id=1218