Minggu, Agustus 23, 2009

Apakah Lutut Adalah Aurat?

Dari Abu Musa dia berkata, ”Sesungguhnya Nabi r pernah duduk di sebuah tempat yang padanya terdapat genangan air, maka beliau menyingkap kedua lututnya atau salah satu lututnya. Tatkala Utsman masuk, beliau segera menutupnya.”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (7/43), Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi (2/232) dari jalan Sulaiman bin Harb (dia berkata): Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami (dia berkata): Ali bin Al-Hakam dan Ashim Al-Ahwal menceritakan kepadaku, bahwa keduanya mendengar Abu Utsman bercerita dari Abu Musa.


Dalam permasalahan ini ada beberapa hadits lainnya:
Di antaranya adalah dari Abu Ad-Darda` dia berkata, ”Saya pernah duduk-duduk di sisi Nabi r lalu tiba-tiba Abu Bakar datang dalam keadaan memegang ujung pakaiannya hingga dia menampakkan kedua lututnya. Maka Nabi r bersabda, ”Adapun teman kalian ini, maka dia telah tergesa-gesa,” lalu dia mengucapkan salam dan berkata, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya telah terjadi sedikit perselisihan antara saya dan Ibnu Al-Khaththab, maka saya terlalu terburu-buru bersikap terhadapnya kemudian saya menyesal. Lalu aku memintanya untuk memaafkan aku akan tetapi dia tidak mau memaafkan aku, maka saya pun bersegera menemuimu,” maka beliau bersabda, ”Allah mengampuni kamu wahai Abu Bakar (tiga kali). Kemudian Umar juga menyesal lalu dia segera mendatangi rumah Abu Bakar dan bertanya, ”apakah Abu Bakar ada?” mereka menjawab, ”Tidak ada.” Maka dia mendatangi Nabi r lalu mengucapkan salam kepada beliau, dan ketika itu wajah Nabi r kelihatan marah sampai-sampai Abu Bakar merasa kasihan (kepada Umar), lalu Umar berlutut di atas kedua lututnya. Dia berkata, ”Wahai Rasulullah r, demi Allah sungguh saya telah menzhalimi (dua kali),” maka Nabi r bersabda, ”Sesungguhnya Allah mengutus aku kepada kalian akan tetapi kalian berkata, ”Kamu berdusta,” sedang Abu Bakar berkata, ”Dia berkata benar.” Dia membantu saya dengan diri dan hartanya. Karena itu bisakah kalian untuk tidak mengganggu sahabatku ini?!” (dua kali), maka setelah itu Abu Bakar tidak pernah lagi diganggu.”


Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (7/16-17) dan Ath-Thahawi dalam Al-Musykil (2/288) darinya.
Di antaranya adalah riwayat dari Amr bin Asy-Syarid dari ayahnya dia berkata, ”Sesungguhnya Nabi r pernah mengikuti seorang lelaki dari Tsaqif sampai-sampai beliau berlari-lari kecil di belakangnya sampai beliau memegang pakaiannya lalu bersabda, ”Angkat sarungmu,” maka lelaki itu menyingkap kedua lututnya dan berkata, ”Wahai Rasulullah, saya mengalami al-fanaf (al-hanaf adalah jari-jemari kaki yang satu mendekat dan mengarah ke kaki lainnya) dan kedua kedua lututku kecil.” Maka Rasulullah r bersabda, ”Semua ciptaan Allah -Azza wa Jalla- itu baik,” maka setelah itu lelaki itu tidak pernah terlihat kecuali sarungnya tinggi sampai ke pertengahan betis sampai dia mati.”
Diriwayatkan oleh Ahmad (4/390) dia berkata: Rauh menceritakan kepada kami (dia berkata): Zakariya bin Ishaq menceritakan kepada kami (dia berkata): Ibrahim bin Maisarah menceritakan kepada kami bahwa dia mendengar Amr bin Asy-Syarid dan seterusnya.
Ath-Thahawi juga meriwayatkannya dalam Al-Musykil (2/287) dia berkata: Abu Umayyah menceritakan kepada kami (dia berkata): Rauh bin Ubadah menceritakan kepada kami dan seterusnya.
Ini adalah sanad shahih yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim.

Faidah:
Nama lelaki pemilik sarung di atas adalah Amr bin Zurarah, sebagaimana dalam riwayat Ath-Thabarani dari hadits Abu Umayyah. Dia (Ath-Thabarani) meriwayatkan hadits ini dari beberapa jalan darinya (Abu Umayyah) dan perawi salah satu dari jalan-jalan itu semuanya tsiqah, sebagaimana dalam Al-Majma’ (5/124)
Ahmad juga meriwayatkannya (4/200) dari Amr yang sama, tapi dia menamakannya Amr bin Fulan Al-Anshari.
Sanadnya shahih dan semua perawinya adalah perawi Imam Enam kecuali Al-Walid bin Sulaiman, dan dia adalah rawi yang tsiqah sebagaimana dalam At-Taqrib, dan Al-Haitsami berkata, ”Semua perawinya tsiqah.”

Dalam permasalahan ini juga ada hadits dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Hamzah t memandang kedua lutut Nabi r kemudian memandang pusar beliau, dan selengkapnya akan datang sebentar lagi insya Allah Ta’ala.

Dalam hadits-hadits ini terdapat pendalilan bahwa lutut bukanlah aurat, dan ini bisa ditinjau dari dua sisi:
Pertama: Ar-Rasul r membukanya tanpa ada keperluan yang mendesak.
Sementara ucapan Asy-Syaukani (2/55), ”Sesungguhnya berhujjah dengan hadits ini bahwa lutut bukanlah aurat adalah hujjah yang tidak sempurna, karena beliau membuka lututnya karena adanya uzur, yaitu untuk memasukkan kakinya ke dalam air. Di tambah lagi beliau perbuatan beliau menutupinya dari Utsman memberikan kesan bahwa dia adalah aurat. Seandainya mungkin untuk memberikan alasan lain dari perbuatan beliau menutupinya dari Utsman dengan alasan selain itu, maka paling tidak hadits ini masih mengandung kemungkinan,” ini adalah ucapan yang tertolak (dengan dua alasan, pent.).
Adapun yang pertama: Karena hadits ini menegaskan bahwa beliau -alaihishshalatu wassalam- duduk pada sebuah tempat yang padanya ada air lalu beliau menyingkap kedua lututnya. Ini berarti bahwa Nabi r duduk sambil menjulurkan kedua kakinya ke dalam air. Kalau begitu apa uzur beliau untuk membukan kedua lutut kalau dia memang aurat? Bukankah Nabi r bisa dengan hanya memasukkan kedua betisnya ke dalam air tanpa membuka auratnya?!
Makna yang saya sebutkan ini didukung dengan keterangan bahwa Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini (4/407) dari jalan lain dari Abu Musa dia berkata, ”Sesungguhnya Rasulullah r pernah berada pada sebuah kebun di Madinah di qaff sumur (yakni: Tempat untuk duduk yang dibuat di sekeliling sumur) sambil menjulurkan kedua kaki beliau. Lalu Abu Bakar mengetuk pintu …,” sampai akhir hadits.
Hadits yang semakna dengannya diriwayatkan oleh Muslim (7/118) dari jalan ketiga dengan lafazh, ”Beliau duduk di tengah qaff sumur lalu membuka kedua betis beliau dan memasukkan keduanya ke dalam sumur.”
Riwayat ini tidak kontradiksi dengan riwayat Al-Bukhari yang tegas menyebutkan bahwa beliau menyingkap lututnya, karena riwayat Al-Bukhari mengandung tambahan lafazh dari rawi yang tsiqah dan tambahan seperti ini diterima berdasaran kesepakatan ulama. Sebagaimana pula tidak ada kontradiksi antara riwayat Al-Bukhari ini dengan riwayat Aisyah dan selainnya yang tegas menyebutkan tersingkapnya paha, dengan sebab dan alasan yang sama. Ini kalau dipandang kejadiannya sama, adapun kalau kejadian seperti ini (duduk di tepi sumur, pent.) berulang maka tidakada permasalahan.
Adapun yang kedua: Karena perbuatan beliau menutup lutut dari Utsman itu hanyalah sebagai perlakuan yang khusus dari beliau r kepada Utsman t karena beliau (Utsman) adalah orang yang sangat pemalu, sebagaimana beliau menutup paha beliau darinya -sebagaimana yang telah berlalu-. Hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa beliau menutupinya karena dia adalah aurat. Bagaimana tidak, sementara beliau -alaihissalam- telah membuka lututnya di hadapan orang selain Utsman, sebagaimana yang tegas disebutkan dalam hadits Aisyah dan selainnya dan sebagaimana yang nampak dari hadits Abu Musa ini. Karena dia (Abu Musa) meriwayatkan kisah ini yang dia menyaksikannya sendiri dengan mata kepalanya. Maksud saya beliau -alaihissalam- tidak menutup lututnya dari Abu Musa sebagaimana dia menutupinya dari Utsman. Inilah yang bisa saya sampaikan berkenaan kritikan terhadap ucapan Asy-Syaukani.
Seandainya pun kita menganggap bahwa ucapannya itu benar, maka yang menjadi dalil bahwa lutut bukanlah aurat adalah perkara yang kedua: Yaitu Abu Bakar menyingkap kedua lututnya -dan demikian pula Amr bin Zurarah- di hadapan beliau -alahissalam- dan beliau tidak mengingkari keduanya. Seandainya dia adalah aurat, niscaya beliau r akan mengingkari mereka berdua sebagaimana beliau mengingkari Jarhad Al-Aslami ketika beliau bertemu dengannya dan pahanya terlihat, maka beliau r bersabda, ”Tutuplah pahamu karena paha adalah aurat,” -seandainya haditsnya shahih-, akan tetapi hadits ini tidak shahih sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya secara terperinci. Maka diamnya beliau -alaihissalam- terhadap kejadiann tersebut menunjukkan bahwa lutut bukanlah aurat. Karenanya Al-Hafizh berkata (7/17) dalam syarah hadits Abu Ad-Darda`, ”Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa lutut bukanlah aurat.”
Di sina ada dalil yang ketiga: Yaitu kisah dimana Hamzah t memandang lutut Nabi r. Maka dalam kisah ini -dimana beliau -alaihissalam- menyingkap lututnya- ada kejadian orang lain memandang lutut beliau. Seandainya dia adalah aurat, niscaya Allah tidak akan membiarkan Hamzah dan tidak pula selainnya untuk melihat kepadanya, sebagaimana alasan semisal yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm dalam masalah pusar, dan ucapan beliau akan datang.

Maka yang benarnya adalah bahwa semua hadits ini adalah dalil yang tegas menunjukkan bahwa lutut bukanlah aurat, dan ini adalah pendapat Asy-Syafi’i. An-Nawawi berkata (3/169), ”Inilah yang masyhur dari mazhab kami, dan ini adalah pendapat Malik, sekelompok ulama dan salah satu riwayat dari Ahmad. Sementara Abu Hanifah dan Atha` berkata: Dia adalah aurat.”
Ini adalah pendapat yang lemah, bertentangan dengan semua hadits-hadits shahih yang telah berlalu.
Ath-Thahawi membawakan tandingan bagi hadits-hadits tersebut dengan hadits yang dia riwayatkan dalam Al-Musykil (2/288) dia berkata: Ali bin Syaibah menceritakan kepada kami (dia berkata): Yazid bin Harun menceritakan kepada kami (dia berkata): Hammad bin Salamah menceritakan kepada kami dari Hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi (dia berkata): Saya mendengar Abu Musa Al-Asy’ari berkata, ”Jangan sampai saya mengetahui ada orang yang melihat kepada seorang budak wanita kecuali dia kalau dia melihat bagian di atas pusarnya dan di bawah lututnya. Saya tidak mengetahui ada orang yang melakukannya kecuali saya akan menghukumnya. ”
Abu Ja’far (Ath-Thahawi) berkata, ”Dengan keterangan yang kami sebutkan, maka hadits ini bisa dipakai untuk menandingi semua hadits yang telah kami sebutkan sebelumnya, yang bertentangan dengan hadits ini.”
Yang dia maksudkan dengan ucapannya, ”Dengan keterangan yang kami sebutkan,” adalah ucapannya yang dia jadikan keterangan bagi hadits ini, yaitu ucapannya, ”Kami menemukan Abu Musa Al-Asy’ari, telah diriwayatkan darinya sebuah ucapan dimana dia mengikutkan dengan ancaman bagi siapa yang menyelisihinya, yang mana hal ini diucapkan oleh orang yang tidak mungkin mengucapkan ucapan seperti ini hanya semata-sama berlandaskan pada pendapatnya. Karena ancaman tidak boleh diucapkan pada sebuah perara yang ditetapkan berdasarkan pendapat, dimana boleh saja bagi orang lain untuk mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan makna ucapannya.”
Ucapannya ini -sebagaimana yang kamu lihat sendiri-, dia menyangka bahwa hadits ini walaupun dia mauquf (disandarkan pada sahabat) akan tetapi dia mempunyai hukum marfu’ karena di dalamnya berisi ancaman, yang mana ucapan ini tidak mungkin diucapkan -menurut sangkaannya- hanya berlandaskan pada pendapat semata. Hukum yang dia sebutkan ini tidak lazim terjadi pada permasalahan ahkam (hukum), bahkan boleh saja memberikan ancaman atas sebuah hukum yang seseorang tetapkan berdasarkan pendapatnya, walaupun ada kemungkinan orang itu melakukan kesalahan.

Kesimpulannya, berargumen dengan hadits ini untuk menetapkan bahwa lutut adalah aurat tidaklah benar. Hal ini karena beberapa sebab:
Pertama: Haditsnya mauquf.
Kedua: Hadits ini bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih shahih darinya.
Ketiga: Hadits ini hanya berlaku pada budak wanita, maka kandungannya lebih khusus daripada apa yang diklaim. Para ulama sendiri telah berbeda menjadi banyak pendapat dalam masalah aurat budak wanita, mungkin akan datang penyebutannya. Yang paling shahih dalilnya adalah yang berpendapat bahwa aurat budak wanita sama seperti wanita merdeka tanpa ada perbedaan antara keduanya.
Perbuatan Ath-Thahawi ini dalam mengkiaskan lelaki yang merdeka dan selainnya kepada budak wanita dalam hal lutut adalah aurat, sama persis dengan perbuatan An-Nawawi yang juga mengkiaskan lelaki kepada wanita dalam hal batalnya shalat orang yang terbuka auratnya. Dan bantahan lengkap atas kias An-Nawawi ini telah berlalu.

Mungkin penulis kitab Al-Hidayah dan selainnya dari kalangan fuqaha` tidak menjadikan hadits Abu Musa sebagai dalil karena ada sebab-sebab yang kami sebutkan di atas, akan tetapi mereka hanya berdalil dengan hadits, ”Lutut adalah aurat.” Hadits ini -seandainya shahih- maka dia adalah dalil yang tegas mendukung mereka, akan tetapi haditsnya tidak shahih bahkan disepakati bahwa dia adalah hadits yang lemah. Hadits ini diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni (85) dari jalan An-Nadhr bin Manshur Al-Fazari (dia berkata): Abu Al-Junub -yang bernama Uqbah bin Alqamah- mengabarkan kpada kami dia berkata: Saya mendengar Ali t berkata …, lalu dia menyebutkan haditsnya secara marfu’.
Az-Zailai berkata dalam Nashbur Rayah (1/297), ”Guru kami, Adz-Dzahabi berkata dalam kitabnya Al-Mizan, ”An-Nadhr bin Manshir adalah rawi yang sangat lemah,” Ibnu Hibban berkata, ”Dia tidak dipakai berhujjah.” Uqbah bin Alqamah bin dihukumi lemah oleh Ad-Daraquthni dan Abu Hatim Ar-Razi. Dia (Uqbah) disebutkan lagi oleh penulis (Al-Hidayah) –dalam kitab Al-Karahiah- meriwayatkan dari Abu Hurairah akan tetapi kami tidak mendapati dia meriwayatkan darinya. Abu Hatim Ar-Razi berkata dalam Al-Imam, ”Uqbah adalah rawi yang lemah haditsnya dan An-Nadhr bin Manshur adalah rawi yang majhul.”
Az-Zailai juga berkata dalam Takhrij Ahadits Al-Karahiah (4/242), ”Saya berkata: Gharib (lemah) dari hadits Abu Hurairah, dan lafazh ini telah berlalu dari hadits Ali riwayat Ad-Daraquthni tapi di dalamnya juga ada kelemahan.”
Kami sudah terlupakan untuk membahas sanad hadits Abu Musa, maka kami katakan: Semua perawinya adalah tsiqah dan perawi Ash-Shahih kecuali Ali bin Syaibah dan Hakim Al-Atsram.
Adapun rawi pertama, maka dia adalah Ali bin Syaibah bin Ash-Shalt bin Ushfur, Abu Al-Hasan maula As-Sadusi, dan dia adalah saudara dari Ya’qub bin Syaibah. Dia orang Bashrah, tinggal di Baghdad sebentar kemudian berpindah ke Mesir lalu menetap di situ. Abdul Aziz Al-Ghafiqi dan selainnya dari ulama Mesir meriwayatkan darinya hadits-hadits yang mustaqim (bagus), dan dia wafat pada tahun 272 H. Demikian disebutkan dalam Tarikh Baghdad (11/436-437) dengan perubahan.
Adapun yang lainnya (Hakim), maka An-Nasai berkata, ”Dia tidak mengapa,” Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats-Tsiqat, dan dalam At-Taqrib disebutkan, ”Padanya ada kelemahan.”

[Ats-Tsamar Al-Mustathab: 1/272-279 karya Al-Albani -rahimahullah-]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar