Kamis, Januari 06, 2011

Beriman Pada Takdir Allah, Tanpa Pasrah dan Tetap Berupaya

Sebagian kaum muslimin cenderung salah memahami makna takdir, mereka hanya pasrah terhadap takdir yang telah ditentukan Allah hingga akhirnya malas untuk berusaha/berupaya. Jika kaum muslimin memahami dengan benar masalah takdir ini, niscaya mereka akan mengetahui kekuasaan Allah yang Maha Besar dan Mutlak. Dan bahwasanya segala daya upaya dan kekuatan kita ada di bawah kekuasaan Allah.

Dalil-dalil tentang Takdir

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghendaki segala sesuatu yang akan terjadi, sedang terjadi dan telah terjadi di alam ini. Dan Ia juga telah mencatatnya di lauhul mahfudh jauh sebelum diciptakannya langit dan bumi.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:

“Allah telah mencatat takdir para mahluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi”. (HR. Muslim)

Takdir juga merupakan salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim. Maka seluruh kaum muslimin harus beriman bahwa segala sesuatu sudah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang baik ataupun yang buruknya; yang manis maupun yang pahitnya; sengsara atau bahagia. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam ketika menjawab pertanyaan dari Jibril tentang iman bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat dan beriman kepada takdir baik dan buruknya”. (HR. Muslim)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran yang sudah ditentukan.” (al-Qamar: 49)

“Dan Allah menciptakan kalian dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kalian berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seseorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah. “(Fathir: 11)

Masalah Takdir adalah Kekuasaan Allah

Yang dimaksud adalah bahwa Allah Maha Berkuasa untuk mentakdirkan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya dalam keadaan manusia tetap memiliki ikhtiar, usaha dan kehendak. Namun semua kehendak, ikhtiar dan usaha manusia tidak akan lepas dari apa yang telah Allah tentukan.

“Dan tidaklah kalian berkehendak, kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (al-Insaan: 30)

Maka semua yang diamalkan oleh manusia adalah apa yang telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

”Dan Allah menciptakan kalian dan apa-apa yang kalian kerjakan. “(ash-Shaafaat: 96)

Sehingga dengan keyakinan mereka terhadap takdir ini, Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak pernah putus asa dalam berusaha. Hanya saja mereka mengiringi usahanya dengan do’a dan berharap kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar mendapatkan taufik dan keberhasilan, karena mereka mengetahui dan meyakini bahwa Allahlah yang menentukan dan menakdirkan. Tidak ada kekuatan dan daya upaya kecuali dengan bantuan Allah.

Dengan demikian, kaum muslimin yang beriman kepada takdir akan menjadi manusia yang besar hati, kuat, semangat dan tabah dalam menghadapi ujian-ujian dan musibah. Karena mereka tahu apa yang terjadi dari keberhasilan, kegembiraan, dan kesuksesan adalah dari Allah, sehingga mereka bersyukur kepada Allah. Demikian pula sebaliknya ketika mereka ditimpa kegagalan, kesedihan, dan musibah-musibah, maka mereka tahu bahwa itu adalah dengan takdir dari Allah, hingga mereka pun bersabar atas apa yang menimpanya dan mengucapkan: “Sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali kepada-Nya”. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

“..(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. (al-Baqarah: 156)

Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang beriman bertawakal.” (at-Taubah: 51)

Hikmah Beriman Kepada Takdir

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang hikmah diberitakannya masalah takdir kepada manusia:

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakan-nya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan putus asa terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. “(al-Hadiid: 22-23)

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:

“Sungguh mengagumkan keadaan seorang mukmin, seluruh perkaranya adalah baik; dan tidaklah demikian bagi seseorang pun kecuali mukmin. Jika ia diberikan kesenangan ia bersyukur, maka itu baik bagi-nya; dan jika ia ditimpa kesusahan ia sabar, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim)

Adab Manusia Dalam Menyikapi Takdir Allah

Dengan keimanan kita kepada takdir Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kita menyatakan ketika kita mendapati kebaikan, keberhasilan, kegembiraan dan kesuksesan: “Ini dari Allah”. Kemudian mensyukurinya dengan ucapan ‘alhamdulillah’ dan menggunakan kenikmatan dan kebaikan tersebut untuk apa yang diridlai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Namun ketika kita mendapatkan musibah, kejelekan, kesedihan, dan kegagalan, maka yang kita nyatakan adalah sebab terjadinya musibah tersebut, walaupun kita mengetahui semuanya adalah takdir dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Namun Allah menciptakan segala sesuatu dengan sebab-sebabnya. Maka kita ucapkan: “Ini akibat kelalaian kita”, “Ini karena disebabkan dosa-dosa kita”, “Ini akibat kecerobohan dan kelemahan kita” dan seterusnya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri… “(an-Nisaa’: 79)

Yakni kita menyatakan bahwa Allah mentakdirkan kejelekan-kejelekan tersebut adalah karena dosa-dosa kita. Sehingga pernyataan ini tidak bertentangan dengan ayat lain yang menyatakan semua adalah dari Allah.

“…dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”. Dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan : ‘Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)’. Katakanlah: ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah’… “(an-Nisaa’: 78)

Hal ini sama seperti ketika kita memanggil Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang baik. Kita tidak boleh memanggil Allah dengan kalimat: “Wahai pencipta setan”, “Wahai pencipta kejelekan”, karena hal ini mengandung celaan, walaupun kita meyakini bahwa setan dan seluruh kejelekan adalah ciptaan Allah. Berbeda halnya ketika kita mengatakan: “Wahai pencipta segala mahluk” atau “Wahai pencipta segala kebaikan dan kejelekan”. Walaupun sesungguhnya setan, monyet, babi dan seluruh makhluk-makhluk lain adalah ciptaan Allah, namun kita wajib menjaga adab ketika berbicara tentang Allah.

Hal ini seperti ucapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang mengkisahkan ucapan Ibrahim ‘alahi salam: “dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku.” (asy-Syu’araa: 80)

Dalam ayat ini, Ibrahim ‘alahi salam menisbatkan sakitnya kepada dirinya “aku sakit”, tetapi menisbahkan kesembuhannya kepada Allah “Dialah yang menyembuhkanku”. Walaupun Ibrahim tentu meyakini bahwa penyakit dan kesembuhan seluruhnya dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Atau seperti ayat Allah yang mengkisahkan ucapan jin: “Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Rabb mereka menghendaki kebaikan bagi mereka. “ (al-Jin: 10)

Dalam ayat ini, ketika membicarakan tentang kejelekan disebut dengan kata “dikehendaki” tanpa disebutkan siapa yang menghendakinya “apakah kejelekan yang dikehendaki?” Namun ketika berbicara tentang kebaikan disebutkan dengan jelas pelakunya: “Atau Rabb-mu menghendaki kebaikan”.

(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 54/Th. II , 14 Shafar 1426 H/25 Maret 2005 M, penulis Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli “Beriman kepada Taqdir, tidak menafikan adanya usaha”. (Ada sedikit mengalami penyaduran dan peringkasan, untuk melihat naskah aslinya silahkan lihat di http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=966

Tidak ada komentar:

Posting Komentar