Sahabat yang dirahmati Allah,
Betapa nikmatnya manakala kita
telah mampu istiqomah berinteraksi dengan Al Qu'ran. Nikmat membaca
kalam - kalam NYA , nikmatnya merasakan seakan-akan kita berbicara
dengan NYA, nikmat merasakan Al Qur'an mampu memberikan ruh dan petunjuk
dalam tiap langkah kehidupan kita , nikmatnya Al Qur'an menjadi
petunjuk pembeda antara yang haq dan yang batil, serta nikmat syafaat
kelak bagi sesiapa yang ikhlas senantiasa membaca & bersahabat
dengan AL Qur'an. (Insya Allah)
Untuk memulai langkah mencintai Al Qur'an . Berikut upaya-upaya jiwa untuk mampu senantiasa bersahabat dengan nya :
I MENDAMBAKAN AL QUR'AN SEBAGAI KENIKMATAN SEPERTI KITA MENDAMBAKAN HARTA
“Tidak boleh iri kecuali dalam dua kenikmatan: seseorang yang diberi
Al-Qur’an oleh Allah kemudian ia membacanya sepanjang malam dan siang,
dan orang yang diberi harta oleh Allah lalu ia membelanjakannya di jalan
Allah sepanjang malam dan siang.” (Muttafaqun ‘alaih)
Melihat orang yang hartanya berlimpah tentu membuat kitapun
mendambakannya. Hal itu lumrah dan fitrah sekaligus fitnah bagi manusia.
Tetapi percayalah bahwa keimanan yang baik tidak saja menjadikan
manusia memimpikan kepemilikan dunia tetapi juga memimpikan dan
menginginkan akhirat. Dengan iman, ketika melihat orang lain yang
memiliki kelebihan dalam urusan akhiratnya - misalnya sangat baik
interaksinya dengan Al-Qur’an, hafalannya banyak, rajin beribadah, serta
banyak kontribusinya dalam dakwah - maka kita pun sangat
mendambakannya.
Itulah ghibthah, menginginkan kenikmatan orang lain tanpa membenci dan mengharapkan hilangnya nikmat dari orang tersebut.
Berikut ini beberapa perasaan yang harus menjadi pertanyaan dan perhatian kita:
1. Adakah perasaan iri (ghibthah) dalam diri kita ketika melihat
saudara kita memiliki kemampuan berinteraksi dengan Al-Qur’an yang lebih
baik? Ataukah hanya iri dan menginginkan sesuatu yang terkait dengan
harta yang dimiliki saudara kita, tapi untuk Al-Qur’an hati kita adem
ayem saja?
Jika demikian adanya, itulah bukti lemahnya
syu’ur Qur’ani (perasaan ingin membangkitkan diri dengan Al-Qur’an).
Para salafush shalih selalu berkompetisi dalam hal interaksi dengan
Al-Qur’an dan hal ukhrawi. Telah menjadi tabiat manusia untuk
berkompetisi, dan jika tidak diarahkan maka kompetisi tersebut akan
cenderung ke hal-hal duniawi seperti harta, jabatan dan lawan jenis.
2. Rasulullah Saw menjanjikan bahwa setiap orang beriman yang
bersahabat akrab dengan Al-Qur’an dijamin akan mendapat syafa’at dari
Al-Qur’an: “Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada hari
kiamat menjadi pemberi syafa’at bagi orang-orang yang bersahabat
dengannya.” (HR. Muslim).
Tanyakan pada diri kita
masing-masing, sudahkan kita menjadi sahabat akrab Al-Qur’an? Benarkah
di akhirat nanti kita berharap akan mendapat syafa’at dari Al-Qur’an?
Alangkah sengsaranya kita bila di akhirat tanpa syafa’at, karena “…Tidak
ada yang dapat memberi syafa’at kecuali atas seizin Allah…” (QS
Al-Baqarah [2]:255)
3. Kualitas iman kita diukur dengan
sejauh mana kualitas dan kuantitas interaksi kita dengan Al-Qur’an.
Apakah kita masa bodoh dan tidak merasa sedih jika dalam sebulan tidak
khatam Al-Qur’an? Adakah perasaan sedih jika kita tidak punya hafalan
ayat-ayat Al-Qur’an? Sedihkah kita karena awam dengan kandungan dan
makna Al-Qur’an? Jika belum, dikhawatirkan bahwa kitalah yang disebut
Rasulullah yang menjadikan Al-Qur’an sebagai mahjuran.
“Berkatalah Rasul: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan
Al-Qur’an itu sesuatu yang diabaikan.’ “ (QS Al-Furqan [25]:30)
4. Pernahkah kita menghitung tentang berapa banyak informasi tentang
hal-hal yang bersifat duniawi yang ada di kepala kita dibandingkan
dengan hal-hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an? Jika tentang Al-Qur’an
lebih banyak maka bersyukurlah, jika tidak maka bertaubatlah kepada
Allah Swt dan segera upayakan untuk kembali kepada Al-Qur’an agar tidak
dikecam Allah Swt:
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai.”
5. Sabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa yang belajar Al-Qur’an dan
mengamalkannya akan diberikan kepada orang tuanya pada hari kiamat
mahkota yang cahanya lebih indah daripada cahaya matahari. Kedua orang
tua itu akan berkata, ‘Mengapa kami diberi ini?’ Maka dijawab, ‘Karena
anakmu yang telah mempelajari Al-Qur’an’ “ (HR Abu Dawud, Ahmad dan
Hakim)
Tidakkah hadits tersebut menggugah kita sebagai
orang tua untuk memberi perhatian yang lebih pada anak dalam hal
pendidikan Al-Qur’annya? Bagaimana mungkin seorang anak dapat mencintai
Allah Swt kalau tidak dapat menikmati shalat dengan baik?
Bagaimana mungkin dapat shalat dengan baik kalau kemampuannya dalam
berinteraksi dengan Al-Qur’an, khususnya hafalan, lemah dan terbatas?
Jangan sampai kita hanya kecewa bila anak tak mampu berbahasa Inggris
atau menggunakan komputer tetapi santai saja dengan keterbatasannya
dengan Al-Qur’an.
Isi Al-Qur’an sesungguhnya menjelaskan
bagaimana semua urusan dunia itu bisa mengantarkan manusia kepada
suksesnya urusan akhirat. Kita, memang tidak ingin menjadi orang yang
dekat dengan Al-Qur’an hanya secara huruf-hurufnya saja tetapi jauh dari
dari ruh Al-Qur’an itu sendiri, Insya Allah
II. MERAYU ( MEMOTIVASI) DIRI/JIWA SENDIRI AGAR MENCINTAI AL QUR'AN
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku.
Masuklah ke dalam surga-Ku” (QS Al-Fajr [89]:27-30)
Ungkapan lembut tersebut adalah rayuan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang
juga disertai ajakan yang provokatif. Bagaimana mungkin kita tidak
tergiur dengan rayuan semacam itu?
Kita bisa bekerja
dengan keras saat jiwa kita sedang asyik dengan Al-Qur’an. Tetapi di
saat yang lain, kita mungkin mengalami kondisi keengganan yang besar,
jangankan disuruh menghafal, sekedar melihat mushaf pun sangat tidak
siap. Untuk kondisi seperti itu, kita perlu merayu diri sendiri,
merenungi kehidupan diri kita sendiri sambil mencari bahasa apa yang
dapat membangkitkan energi kita untuk kembali bekerja: meraih cita-cita
hidup bersama Al-Qur’an.
Berbagai permasalahan umum pada diri kita saat berinteraksi dengan Al-Qur’an antara lain:
1. Kita sadar sepenuhnya bahwa tilawah setiap hari adalah keharusan,
tetapi jiwa kita belum siap untuk komitmen secara rutin sehingga dalam
sebulan, begitu banyak hari-hari yang terlewatkan tanpa tilawah
Al-Qur’an.
2. Kita paham bahwa menghafal Al-Qur’an adalah
kemuliaan yang besar manfaatnya, tetapi jiwa kita belum siap untuk
meraihnya dengan mujahadah.
3. Kita sadar bahwa masih
banyak ayat yang belum kita pahami, namun jiwa kita tidak siap untuk
melakukan berbagai langkah standar minimal untuk dapat memahami isi
Al-Qur’an.
4. Kita sadar bahwa mengajarkan Al-Qur’an
sangat besar fadhillahnya, tetapi karena minimnya apresiasi dan
penghargaan ummat terhadap para pengajar Al-Qur’an maka sangat sedikit
yang siap menjadi pengajar Al-Qur’an.
5. Kita paham bahwa
shalat yang baik - khususnya shalat malam - adalah shalat yang panjang
dan sebenarnya kita mampu membaca sekian banyak ayat, namun jiwa kita
kadang tidak tertarik terhadap besarnya fadhillah membaca Al-Qur’an di
dalam shalat.
6. Kita sadar bahwa dakwah dijamin oleh nash
Al-Qur’an dan Allah Swt akan memberikan kemenangan, namun jiwa kita
tidak sabar dengan prosesnya yang panjang sehingga cenderung
meninggalkan atau lari dari medan dakwah.
7. Kita paham
betul bahwa banyak keutamaan di dunia dan akhirat bagi manusia yang
berinteraksi dengan Al-Qur’an, tetapi fadhillah tersebut hanya menjadi
pengetahuan, tidak mampu menghasilkan energi yang besar untuk
beristiqamah dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an.
8. Kita
paham dengan sangat jelas bahwa semua tokoh Islam di atas bumi ini
adalah orang-orang yang telah berhasil dengan ilmu Al-Qur’an dan
merekapun menguasai kehidupan dunia, namun jiwa kita enggan
mempersiapkan generasi mendatang yang hidupnya berada di bawah naungan
Al-Qur’an.
Jangan pernah berhenti untuk merayu diri agar segera bangkit. Tanyakanlah pada diri kita:
1. Wahai diri, tidakkah kamu malu kepada Allah Swt? Mengaku cinta
kepada Allah Swt tetapi tidak merasa senang berinteraksi dengan
Kalam-Nya. Bukankah ketika manusia cinta dengan manusia lain, ia menjadi
senang membaca suratnya bahkan berulang-ulang? Mengapa kamu begitu
berat dan enggan untuk hidup dengan wahyu Allah Swt?
Adakah
jaminan bahwa kamu mendapat pahala gratis tanpa beramal shalih? Dengan
apa lagi kamu mampu meraih pahala Allah Swt? Infak cuma sedikit, jihad
belum siap, kalau tidak dengan Al-Qur’an, dengan apa lagi?
2. Wahai jiwaku, siapa yang menjamin keamanan dirimu saat gentingnya
suasana akhirat? Padahal Rasulullah Saw menjamin bahwa Allah Swt akan
memberikan keamanan bagi manusia yang rajin berinteraksi dengan
Al-Qur’an, mulai dari sakaratul maut hingga saat melewati shirat.
3. Wahai jiwaku, tidakkah kamu malu kepada Allah Swt? Dengan nikmat-Nya
yang demikian banyak, yang diminta maupun tidak, tidakkah kamu
bersyukur kepada-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya dengan memperbanyak
membaca Al-Qur’an?
4. Wahai jiwaku, sadarkah kamu ketika
Allah Swt dan Rasulnya mengajak dirimu memperbanyak hidup bersama
Al-Qur’an? Untuk siapakah manfaat amal tersebut? Apakah kamu mengira
bahwa dengan banyak membaca Al-Qur’an maka kemuliaan Allah dan Rasul-Nya
menjadi bertambah? Dan sebaliknya, jika kamu tidak membaca Al-Qur’an,
kemuliaan itu berkurang? Sekali-kali tidak. Semua yang kita baca dan
lakukan, kitalah yang paling banyak mendapatkan manfaatnya.
5. Wahai jiwa, tidakkah kamu merasa khawatir dengan dirimu sendiri?
Selama ini hidup tanpa al-Qur’an, jatah usia makin sedikit, tabungan
amal shalih masih sedikit, jaminan masuk surga tak ada di tangan. Sampai
saat ini belum mampu tilawah rutin satu juz per hari, jangan-jangan
Al-Qur’anlah yang tidak mau bersama dirimu karena begitu kotornya dirimu
sehingga Al-Qur’an selalu menjauh dari dirimu.
6. Wahai
jiwa, tidakkah engkau tergiur untuk mengikuti kehidupan Rasulullah Saw
dan para sahabat serta tabiin yang menjadi kenangan sejarah sepanjang
zaman dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an? Jika hari ini kamu masih
enggan berinteraksi dengan Al-Qur’an apa yang akan dikenang oleh
generasi yang akan datang tentang dirimu?
Ungkapan di atas adalah perenungan bagi setiap jiwa, agar hidup kita tidak berlalu begitu saja tanpa makna...
“….Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-nya kepadamu supaya kamu
berpikir. Tentang dunia dan akhirat…” (QS Al-Baqarah [2]: 219-220)
Semoga Allah memberi kemampuan bagi kita semua ...
Aamiin yaa Robbal Alamiin,,
oleh : Ust. Abdul Aziz Abdul Rauf, Lc, Al-Hafidz
Wallahu'alam
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=265426910190675&set=a.265426080190758.62637.153300751403292&type=3&theater
Tidak ada komentar:
Posting Komentar