Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
Bismillaahirrohmaanirrohiim .......
Seorang
penuntut ilmu tidak boleh futur dalam usahanya untuk memperoleh dan
mengamalkan ilmu. Futur yaitu rasa malas, enggan, dan lamban dimana
sebelumnya ia rajin, bersungguh-sungguh, dan penuh semangat.
Futur
adalah satu penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para
da’i, dan penuntut ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan malas,
bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan aktivitas kebaikan.
Orang yang terkena penyakit futur ini berada pada tiga golongan, yaitu:
1). Golongan yang berhenti sama sekali dari aktivitasnya dengan sebab futur, dan golongan ini banyak sekali.
2).
Golongan yang terus dalam kemalasan dan patah semangat, namun tidak
sampai berhenti sama sekali dari aktivitasnya, dan golongan ini lebih
banyak lagi.
3). Golongan yang kembali pada keadaan semula, dan golongan ini sangat sedikit. [1]
Futur
memiliki banyak dan bermacam-macam sebab. Apabila seorang muslim
selamat dari sebagiannya, maka sedikit sekali kemungkinan selamat dari
yang lainnya. Sebab-sebab ini sebagiannya ada yang bersifat umum dan ada
yang bersifat khusus.
Di antara sebab-sebab itu adalah.
1). Hilangnya keikhlasan.
2). Lemahnya ilmu syar’i.
3). Ketergantungan hati kepada dunia dan melupakan akhirat.
4). Fitnah (cobaan) berupa isteri dan anak.
5). Hidup di tengah masyarakat yang rusak.
6). Berteman dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang lemah dan cita-cita duniawi.
7). Melakukan dosa dan maksiyat serta memakan yang haram.
8). Tidak mempunyai tujuan yang jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun berdakwah).
9). Lemahnya iman.
10). Menyendiri (tidak mau berjama’ah).
11). Lemahnya pendidikan. [2]
Futur
adalah penyakit yang sangat ganas, namun tidaklah Allah menurunkan
penyakit melainkan Dia pun menurunkan obatnya. Akan mengetahuinya
orang-orang yang mau mengetahuinya, dan tidak akan mengetahuinya
orang-orang yang enggan mengetahuinya.
Di antara obat penyakit futur adalah.
1). Memperbaharui keimanan.
Yaitu
dengan mentauhidkan Allah dan memohon kepada-Nya agar ditambah
keimanan, serta memperbanyak ibadah, menjaga shalat wajib yang lima
waktu dengan berjama’ah, mengerjakan shalat-shalat sunnah rawatib,
melakukan shalat Tahajjud dan Witir. Begitu juga dengan bersedekah,
silaturahmi, birrul walidain, dan selainnya dari amal-amal ketaatan.
2). Merasa selalu diawasi Allah Ta’ala dan banyak berdzikir kepada-Nya.
3). Ikhlas dan takwa.
4). Mensucikan hati (dari kotoran syirik, bid’ah dan maksiyat).
5). Menuntut ilmu, tekun menghadiri pelajaran, majelis taklim, muhadharah ilmiyyah, dan daurah-daurah syar’iyyah.
6). Mengatur waktu dan mengintrospeksi diri.
7). Mencari teman yang baik (shalih).
8). Memperbanyak mengingat kematian dan takut terhadap suul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).
9). Sabar dan belajar untuk sabar.
10). Berdo’a dan memohon pertologan Allah. [3]
PENUNTUT ILMU TIDAK BOLEH PUTUS ASA DALAM MENUNTUT ILMU DAN WASPADA TERHADAP BOSAN
Sebab,
bosan adalah penyakit yang mematikan, membunuh cita-cita seseorang
sebesar sifat bosan yang ada pada dirinya. Setiap kali orang itu
menyerah terhadap kebosanan, maka ilmunya akan semakin berkurang.
Terkadang sebagian kita berkata dengan tingkah lakunya, bahkan dengan
lisannya, “Saya telah pergi ke banyak majelis ilmu, namun saya tidak
bisa mengambil manfaat kecuali sedikit.”
Ingatlah wahai
saudaraku, kehadiran Anda dalam majelis ilmu cukup membuat Anda
mendapatkan pahala. Bagaimana jika Anda mengumpulkan antara pahala dan
manfaat? Oleh karena itu, janganlah putus asa. Ketahuilah, ada beberapa
orang yang jika saya ceritakan kisah mereka, maka Anda akan
terheran-heran. Di antaranya, pengarang kitab Dzail Thabaqaat
al-Hanabilah. Ketika menulis biografi, ia menyebutkan banyak cerita unik
beberapa orang ketika mereka menuntut ilmu.
‘Abdurrahman bin
an-Nafis -salah seorang ulama madzhab Hanbali- dulunya adalah seorang
penyanyi. Ia mempunyai suara yang bagus, lalu ia bertaubat dari
kemunkaran ini. Ia pun menuntut ilmu dan ia menghafal kitab al-Haraqi,
salah satu kitab madzhab Hanbali yang terkenal. Lihatlah bagaimana
keadaannya semula. Ketika ia jujur dalam taubatnya, apa yang ia
dapatkan?
Demikian pula dengan ‘Abdullah bin Abil Hasan
al-Jubba’i. Dahulunya ia seorang Nashrani. Kelurganya juga Nashrani
bahkan ayahnya pendeta orang-orang Nashrani sangat mengagungkan mereka.
Akhirnya ia masuk Islam, menghafal Al-Qur-an dan menuntut ilmu. Sebagian
orang yang sempat melihatnya berkata, “Ia mempunyai pengaruh dan
kemuliaan di kota Baghdad.”
Demikian juga dengan Nashiruddin
Ahmad bin ‘Abdis Salam. Dahulu ia adalah seorang penyamun (perampok). Ia
menceritakan tentang kisah taubatnya dirinya: Suatu hari ketika tengah
menghadang orang yang lewat, ia duduk di bawah pohon kurma atau di bawah
pagar kurma. Lalu melihat burung berpindah dari pohon kurma dengan
teratur. Ia merasa heran lalu memanjat ke salah satu pohon kurma itu. Ia
melihat ular yang sudah buta dan burung tersebut melemparkan makanan
untuknya. Ia merasa heran dengan apa yang dilihat, lalu ia pun taubat
dari dosanya. Kemudian ia menuntut ilmu dan banyak mendengar dari para
ulama. Banyak juga dari mereka yang mendengar pelajarannya.
Inilah
sosok-sosok yang dahulunya adalah seorang penyamun, penyanyi dan ada
pula yang Nashrani. Walau demikian, mereka menjadi pemuka ulama, sosok
mereka diacungi jempol dan amal mereka disebut-sebut setelah mereka
meninggal.
Jangan putus asa, berusahalah dengan sungguh-sungguh,
mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah. Walaupun Anda pada
hari ini belum mendapatkan ilmu, maka curahkanlah terus usahamu di hari
kedua, ketiga, keempat,.... setahun, dua tahun, dan seterusnya...[4]
Seorang
penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu syar’i.
Menuntut ilmu syar’i tidak bisa kilat atau dikursuskan dalam waktu
singkat. Harus diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah
panjang dan lama, oleh karena itu wajib sabar dan selalu memohon
pertolongan kepada Allah agar tetap istiqamah dalam kebenaran.
[Disalin
dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”,
Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX
264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani
1428H/April 2007M]
__________
Foote Notes
[1]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 22).
[2]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 43-71).
[3]. Ibid (hal. 88-119) dengan diringkas.
[4]. Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 278-279
http://assunnah-qatar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=467&Itemid=196
Tidak ada komentar:
Posting Komentar